Kapal Mata-mata Tiongkok Berlabuh di Dekat Kapal Perang Terbesar Australia

Sebuah kapal Tiongkok diduga memata-matai kapal perang terbesar Australia ketika sedang mengunjungi negara kepulauan di Pasifik Selatan, Fiji, menurut angkatan laut Australia.

Berita tersebut muncul ketika Tiongkok terus-menerus memperluas kehadirannya di Pasifik Selatan.

Ketika kapal induk HMAS Adelaide tiba di pelabuhan Fiji Suva pada tanggal 9 Juni, pasukan angkatan laut Australia mendeteksi sebuah kapal Tiongkok yang dilengkapi dengan peralatan-peralatan komunikasi yang berlabuh di dekat kapal induk terseut, menurut laporan 9 Juni oleh Australian Broadcasting Corp. (ABC).

Kapten Jim Hutton mengatakan HMAS Adelaide dan kapal-kapal perang lainnya mengambil “tindakan-tindakan pencegah pengamanan yang tepat.”

ABC juga melaporkan bahwa kapal tersebut memiliki kemampuan untuk melacak peluncuran-peluncuran satelit dari lautan dan mengumpulkan intelijen di kapal angkatan laut lainnya.

Jenis pengawasan yang terang-terangan ini tidak biasa. “Jika Anda berada di angkatan laut, Anda mengasumsikan bahwa kapan saja kapal penangkap ikan atau bahkan armada-armada pedagang dari negara-negara seperti Tiongkok ada di sekitar bahwa mereka kemungkinan memiliki tujuan ganda,” peneliti Australian National University dan pensiunan Commodore Naval Australia Richard Menhinick mengatakan kepada ABC.

Juli lalu, Departemen Pertahanan Australia menegaskan bahwa kapal mata-mata Tiongkok telah berkeliaran di perairan internasional ketika Australia dan Amerika Serikat sedang melakukan latihan militer bersama di Laut Koral di lepas pantai Queensland.

Model kapal Tiongkok tersebut adalah salah satu yang paling canggih di dunia, dan ia telah “memantau dan merekam komunikasi-komunikasi, sinyal-sinyal radar, dan gerakan-gerakan,” melaporkan ABC. Kapal tersebut masuk ke Zona Ekonomi Eksklusif Australia, tetapi tidak masuk ke perairan teritorial. Namun, langkah tersebut dianggap provokasi karena kedekatannya dengan latihan bersama terbesar di Australia, yang disebut Talisman Saber.

“Pada saat ini, apa yang kita lihat adalah standar ganda di mana Tiongkok mengambil bagian-bagian dari Hukum Kelautan yang ia suka dan menolak untuk menerapkan yang tidak ia suka,” kata Euan Graham dari lembaga think tank Lowy Institute, ketika insiden tersebut terjadi.

Salah satu contohnya adalah peningkatan militerisasi Tiongkok di Laut China Selatan, di mana ia telah membangun pulau buatan yang dilengkapi dengan pangkalan udara dan angkatan laut, pusat intelijen, benteng-benteng pertahanan, dan yang paling baru, pengebom.

Pada tanggal 8 Juni, selama kunjungan ke Australia, komandan Marinir AS di Pasifik, Letnan Jenderal David Berger, mengatakan bahwa Amerika Serikat akan menyambut penggabungan kekuatan dengan Australia untuk mengadakan operasi-operasi Freedom of Navigation (bagian dari pengecualian yang diatur dalam prinsip hukum internasional, kapal yang mengibarkan bendera negara manapun tidak akan mengalami gangguan dari negara lain) di Laut Tiongkok Selatan, menurut Sydney Morning Herald. Operasi-operasi angkatan laut seperti itu menantang upaya Beijing untuk mengklaim wilayah-wilayah dari negara-negara lain di area tersebut.

Baru-baru ini, Tiongkok juga berusaha memperluas pengaruh geopolitiknya di Pasifik Selatan, khususnya dengan investasi-investasi ekonomi. Perusahaan telekomunikasi yang bersahabat karib dengan rezim Tiongkok, Huawei, dijadwalkan untuk membangun kabel internet bawah laut untuk Kepulauan Solomon, namun para pejabat Australia menekan negara tersebut untuk membatalkan kesepakatan itu.

Pada bulan April, media Australia melaporkan bahwa Tiongkok memiliki rencana untuk membangun pangkalan militer permanen di negara kepulauan di Pasifik Selatan, Vanuatu, yang telah ditolak oleh pemerintah Vanuatu.

Menurut Herald, sebuah dermaga yang didanai oleh rezim Tiongkok telah dibangun di pulau tersebut dan cukup besar untuk memungkinkan kapal perang untuk berlabuh.

Tiongkok telah menyediakan Vanuatu ratusan juta dolar untuk membangun infrastrukturnya. Akibatnya, Tiongkok membukukan hampir setengah utang luar negeri Vanuatu sebesar $440 juta, menurut Herald.

Awal tahun lalu, Beijing juga menyumbang 14 kendaraan militer ke Vanuatu. (ran)

ErabaruNews