Dosen Amerika Dibatalkan karena Kritiknya Tentang Rejim Tiongkok

Sebuah universitas Tiongkok membatalkan kuliah dari profesor Amerika yang sedang berkunjung setelah akun media sosial sekolah dibanjiri dengan komentar-komentas kritis tentang profesor tersebut.

Profesor Ma Haiyun, seorang profesor sejarah di Frostburg State University di Maryland, dijadwalkan untuk memberikan ceramah di Universitas Jinan, yang terletak di kota Tiongkok selatan Guangzhou.

Ma, yang penelitiannya berfokus pada Islam dan populasi Muslim di Tiongkok, telah mengkritik tindakan-tindakan keras pemerintah Tiongkok baru-baru ini terhadap Muslim di Prefektur Linxia, ​​sebuah wilayah di Provinsi Gansu yang merupakan rumah bagi sekitar 1 juta orang Hui, mereka adalah suku Han Tiongkok yang memeluk keyakinan Muslim.

Pada bulan Januari, pemerintah setempat di Kabupaten Guanghe, Prefektur Linxia mengeluarkan pengumuman yang melarang semua siswa di taman kanak-kanak, sekolah dasar, dan sekolah menengah pertama berpartisipasi dalam kegiatan keagamaan selama liburan musim dingin.

Ma mengatakan selama wawancara Radio Free Asia (RFA) bahwa larangan kegiatan keagamaan telah melanggar konstitusi Tiongkok, yang, di atas kertas, menjamin kebebasan beragama. Ma juga mengatakan bahwa “Peraturan Urusan Agama” Tiongkok, yang mulai berlaku pada tanggal 1 Februari, telah melanggar prinsip pemisahan untuk gereja dan negara. Peraturan tersebut menetapkan bahwa semua orang Tiongkok Islam yang ingin melakukan perjalanan ke luar negeri untuk ziarah keagamaan mereka harus pergi dengan tur yang diselenggarakan oleh asosiasi Islam tingkat nasional, organisasi yang disetujui dan diawasi oleh Partai Komunis Tiongkok.

Netizen yang mengetahui tentang kritik-kritik Ma terhadap rezim Tiongkok tersebut  dengan segera mengambil untuk akun Weibo resmi sekolah, platform media sosial yang mirip dengan Twitter, yang mendesak otoritas sekolah untuk membatalkan kuliah tersebut, menurut surat kabar yang dikelola pemerintah Tiongkok, Global Times.

“Sekolah Anda begitu kurang ajar, untuk secara terbuka menantang otoritas Partai sambil mendukung ekstremis agama. Apakah sekolah bersiap-siap untuk sebuah pemberontakan?” tanya seorang netizen dengan moniker BarbaraDabrowska dari Chengdu, ibu kota Provinsi Sichuan di Tiongkok barat daya.

Rezim Tiongkok telah menggunakan label “ekstremis agama” untuk membenarkan penindasannya terhadap kelompok agama minoritas seperti orang Hui dan orang-orang etnis Uighur, yang mayoritas juga mempraktikkan Islam dan tinggal di wilayah barat laut Xinjiang (yang berbatasan dengan Gansu).

Seorang netizen dengan nama “Nigel1234” dari Nanjing, ibukota Provinsi Jiangsu pesisir, menulis, “Kita harus memboikot ceramah oleh Ma Haiyun.”

“Ma Haiyun adalah orang bermuka dua yang menentang Partai Komunis Tiongkok (PKT). Ia menyerang kebijakan agama Tiongkok saat ia berada di luar [Tiongkok],” tulis seorang netizen dengan nama “pancaker” dari Beijing.

Pengumuman untuk membatalkan kuliah Ma diposkan pada tanggal 18 Juni di situs web Universitas Bahasa dan Sastra Tiongkok, tetapi tidak memberikan penjelasan mengapa kuliah tersebut dibatalkan.

Tidak biasa bagi netizen untuk mengetahui tentang wawancara Ma dengan RFA, karena situs web RFA, yang didanai oleh pemerintah AS, diblokir di Tiongkok. Pada Maret 2017, Meng Juntao, penduduk Xinjiang, ditempatkan di bawah penahanan administratif 15 hari karena menggunakan aplikasi jaringan pribadi virtual (VPN) yang memungkinkannya mengakses internet melalui server di luar Tiongkok untuk mengakses RFA dan situs-situs yang diblokir lainnya, laporkan RFA.

Karena rezim Tiongkok memiliki pembatasan ketat di bawah aparat sensor internetnya, kemungkinan bahwa pengguna Weibo yang kritis terhadap Ma dan sekolah bukanlah mahasiswa sebenarnya dari Universitas Jinan, namun troll-troll online yang dibayar atau yang dikenal dengan nama “partai 50 sen,” orang-orang yang dibayar oleh rejim Tiongkok untuk berpatroli di dunia maya, mereka bertugas untuk memutar opini publik yang mendukung Partai Komunis Tiongkok dan memfitnah mereka yang gagal mengikuti garis Partai komunis. (ran)

ErabaruNews