Pasar Tiongkok dalam Masalah Sejak Sengketa Perdagangan dengan Kekuatan Penuh AS

Setelah Tiongkok dan tarif pembalasan Amerika resmi berlaku pada 6 Juli, investor Tiongkok tidak optimis.

Kontrak berjangka (futures) bungkil kedelai Tiongkok turun lebih dari 2 persen pada sore hari 6 Juli, meskipun sebagian besar kerugian itu ditemukan kembali di tengah kebingungan pasar awal mengenai apakah Beijing telah benar-benar menerapkan tarif, yang kemudian menegaskan hal itu. Tarif Tiongkok menargetkan barang-barang pertanian Amerika seperti kedelai, gandum, sorgum, dan buah-buahan, mengancam para petani AS di negara-negara yang mendukung Trump dalam pemilihan AS 2016, seperti Texas dan Iowa.

Sementara itu, yuan Tiongkok terus jatuh terhadap dolar AS, ditutup pada 6,648 pada akhir 6 Juli.

Para investor telah menjual untuk sektor-sektor tertentu dan saham yang mereka yakini lebih berisiko kerugian oleh tarif dan membeli yang lain.

Sejak tarif pertama kali diumumkan oleh pemerintahan Donald Trump pada bulan Januari, enam bulan perdebatan tentang negosiasi perdagangan telah menghapus sekitar seperlima dari nilai pasar saham Tiongkok.

Indeks SSE50, yang melacak saham blue-chip, mencapai terendah 13 bulan pada 5 Juli dan telah merosot sekitar 12 persen dalam dua minggu terakhir.

Meskipun Indeks Gabungan Shanghai ditutup lebih tinggi pada 6 Juli sebesar 0,5 persen, untuk minggu ini, titik acuan Indeks Gabungan Shanghai telah jatuh 3,5 persen, kerugian tujuh minggu berturut-turut.

Indikator-indikator teknis, dari pinjaman margin untuk saham, hingga indeks saham berjangka, semuanya mengarah ke kemerosotan yang lebih dalam di pasar saham Tiongkok.

Para ahli meramalkan pertengkaran perdagangan tersebut lebih banyak melukai Tiongkok daripada Amerika Serikat. “Dampak sengketa perdagangan Tiongkok-AS akan lebih besar di Tiongkok karena struktur ekonomi dan tingginya ketergantungan pada ekspor,” kata Cheng Gong, kepala peneliti di Anbound Consulting, sebuah lembaga think tank yang berbasis di Beijing.

Ekonom dan profesor yang berbasis di Beijing Hu Xingdou sependapat, dalam wawancara 6 Juli dengan Radio Free Asia. “Amerika Serikat terutama mendapatkan barang-barang murah [dari Tiongkok], dan ini dapat diperoleh dari Meksiko, Vietnam, India, dan negara-negara lain.”

Dia menambahkan bahwa kemungkinan untuk inflasi mata uang yang serius yang sedang membayangi telah menimbulkan bahaya nyata bagi ekonomi Tiongkok. “Di satu sisi, karena sirkulasi mata uang yang sangat besar, ini tidak diragukan lagi akan menjadi akar penyebab kenaikan-kenaikan harga. Di sisi lain, biaya hidup untuk warga juga meningkat, termasuk air, listrik, dan gas. Ekspor sekarang juga menghadapi rintangan, sehingga ekonomi Tiongkok secara keseluruhan mengalami penurunan.”

Presiden Donald Trump sudah mengancam putaran tambahan tarif, kemungkinan menargetkan lebih dari $500 miliar barang Tiongkok, yang kira-kira jumlah total impor AS dari Tiongkok tahun lalu.

Scott Kennedy, kepala studi Tiongkok di Pusat Studi Strategis dan Internasional di Washington, DC, memperkirakan bahwa skala tarif semacam itu akan “memiliki dampak besar bagi kedua negara.”

Dia menambahkan bahwa perkelahian yang semakin meningkat antara dua ekonomi terbesar dunia tersebut menandakan ia bisa “membawa ke penderitaan ekonomi dan politik untuk membuat kedua belah pihak ini masuk ke meja (negosiasi).”

Media pemerintah Tiongkok melakukan semua putaran untuk mengkritik Amerika Serikat, dengan satu editorial 6 Juli di media corong negara tersebut, People’s Daily, mengabaikan tuduhan-tuduhan Amerika Serikat tentang praktik-praktik perdagangan Tiongkok yang tidak adil. “Sebuah negara maju yang paling kuat di dunia dapat dengan berani mengklaim bahwa ia telah ditindas dan dimanfaatkan dalam perdagangan internasional, itu adalah hal yang paling tidak masuk akal dan tak terbayangkan,” tulisnya.

Beberapa netizen Tiongkok, di sisi lain, menyatakan bahwa mereka mendukung tarif perdagangan AS, berharap bahwa sengketa perdagangan berpotensi membawa perubahan pada kebijakan perdagangan Tiongkok. “Trump membantu negaranya dan rakyat Tiongkok,” satu netizen memposting di Sina Weibo, platform media sosial yang mirip dengan Twitter. (ran)

ErabaruNews