Skandal Vaksin di Tiongkok Soroti Parahnya Kelalaian Pemerintah

Penarikan kembali vaksin besar-besaran telah diperintahkan di Tiongkok, menggarisbawahi nasib orang-orang Tiongkok yang jatuh sakit akibat dari vaksin-vaksin cacat.

Pada 15 Juli, Administrasi Obat dan Makanan Tiongkok (CFDA) mengumumkan bahwa Changchun Changsheng Bio-teknologi, produsen vaksin yang berbasis di Kota Changchun, ibukota Provinsi Jilin di Tiongkok timur laut, telah menemukan bukti data palsu dalam produksi vaksin rabies sel Vero-nya, menurut surat kabar Securities Daily yang dikelola negara. Pihak berwenang tidak memberikan rincian lebih lanjut.

Ketika rabies jarang terjadi di Amerika Serikat, dengan hanya satu hingga tiga kasus dilaporkan setiap tahun, ia masih merupakan masalah kesehatan yang signifikan di beberapa negara, seperti India dan Tiongkok. Platform sel Vero adalah teknologi berbasis sel canggih untuk produksi vaksin.

CFDA mengumumkan bahwa Changchun Changsheng sama sekali tidak menyingkirkan batch (produksi partaian) vaksin rabies yang bermasalah tetapi, sebagai tindakan pencegahan, akan menarik kembali semua produk yang baru-baru ini diproduksi.

Lisensi GMP (Good Manufacturing Practice) Changchun Changsheng telah dicabut oleh administrasi makanan dan obat-obatan Provinsi Jilin.

Changchun Changsheng adalah pembuat vaksin rabies terbesar kedua di Tiongkok. Vaksin rabies sel Vero dari perusahaan tersebut pertama memukul pasar pada tahun 2012. Pada tahun 2017, perusahaan menjual 3,04 juta batch, dengan pendapatan penjualan 734 juta yuan (sekitar $109 juta), hampir 50 persen dari total pendapatan operasionalnya, menurut harian yang dikelola negara Tiongkok, The Paper.

Dalam sebuah wawancara dengan The Paper, Tao Lina, seorang ahli vaksin dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Shanghai, menjelaskan bahwa data manufaktur palsu dapat berarti bahwa perusahaan tersebut telah berbohong tentang jumlah bahan aktif yang terkandung dalam vaksin dan kemungkinan bisa kurang dari 2,5 unit internasional per mililiter, jumlah terendah yang dapat diterima per dosis imunisasi tunggal menurut World Health Organization.

Tao menjelaskan bahwa untuk menghemat biaya produksi, beberapa perusahaan ditemukan telah menggunakan kurang dari bahan aktif yang diperlukan untuk memproduksi vaksin rabies mereka.

Pada tahun 2008, Dalian Jingang, produsen obat di Tiongkok timur laut, telah dicabut GMP-nya setelah pihak berwenang menemukan bahwa ia telah menambahkan bentuk asam nukleat ke vaksin rabies. Vaksin yang dihasilkan dengan demikian akan terdaftar sebagai memiliki tingkat potensi yang diperlukan sementara mengandung kurang dari jumlah yang diperlukan untuk bahan-bahan aktif.

Dalian Jingang akhirnya mengeluarkan perintah penarikan besar-besaran vaksinnya, lebih dari 320.000 dosis, pada awal tahun 2009, menurut laporan Mei 2009 oleh portal berita Tiongkok, Sohu. Masalah vaksin ternaungi oleh tidak adanya tindakan yang dilakukan oleh pihak berwenang Tiongkok: Mereka telah mengetahui tentang vaksin yang cacat tersebut sejak tahun 2004, tetapi tidak mengeluarkan investigasi atau menarik kembali produk-produk tersebut hingga tahun 2009.

Menurut Sohu, Pusat Pengawasan Reaksi Balik Obat Nasional, sebuah lembaga di bawah yurisdiksi CFDA, mencatat reaksi yang parah, ensefalitis (peradangan otak), ruam purpura (peradangan pembuluh darah kulit), dan syok anafilaktik (reaksi alergi yang mengancam jiwa), dalam tiga orang yang diimunisasi dengan vaksin rabies Dalian Jingang.

Setelah skandal di Dalian Jingang, media Tiongkok menggali sejarah perusahaan tersebut dan menemukan bahwa pusat pengendalian dan pencegahan penyakit di Provinsi Liaoning tersebut pernah menjadi pemegang saham utama di perusahaan tersebut. Pada satu titik, para eksekutif puncak perusahaan tersebut juga pejabat di pusat pengendalian penyakit. Namun, pusat itu tidak pernah diselidiki atau diimplikasikan.

Banyak skandal vaksin telah meletus di Tiongkok selama bertahun-tahun, tetapi rezim Tiongkok secara konsisten telah gagal mengendalikan perusahaan farmasi untuk menghentikan malpraktik dan meningkatkan keamanan obat. Pada saat yang sama, ketidakpedulian rezim terhadap korban vaksin di bawah standar telah terdokumentasi dengan baik.

Pada awal Juli, 40 orangtua mencari keadilan untuk anak-anak mereka yang menderita sakit karena mendapat vaksin yang cacat telah mengirim surat permohonan ke pengadilan tertinggi Tiongkok. Mereka belum menerima tanggapan dari pihak-pihak berwenang.

Wang Hailan, seorang penduduk di Kabupaten Yuncheng di Provinsi Shandong, Tiongkok timur, telah ditahan berulang kali sejak dia mulai mengajukan petisi kepada pemerintah pusat tentang putranya, yang menjadi sakit setelah mendapatkan vaksin flu yang diproduksi oleh Changchun Changsheng pada Oktober 2010, menurut laporan Juli 16 oleh Radio Free Asia (RFA).

“Dalam dua hari setelah dia mendapat vaksin, dia mengalami ruam serius. Dia bisa berjalan sekarang, tetapi dia cacat,” kata Wang kepada RFA.

Wang menjelaskan bahwa ia telah menghabiskan lebih dari 170.000 yuan (sekitar $25.690) untuk perawatan medis untuk putranya. Beban biaya medis putranya telah mendorongnya untuk melakukan perjalanan ke Beijing untuk mengajukan banding pejabat-pejabat dari pemerintah pusat.

Pada 2015, ketika membawa putranya ke Beijing untuk perawatan medis, Wang mengatakan polisi di Kabupaten Yuncheng mengikutinya ke Beijing, menghentikannya, dan secara paksa mengawal dia dan putranya kembali ke rumah. Polisi menuduhnya menyebabkan gangguan sosial.

Dalam beberapa kasus, petugas keamanan obat lokal berkolusi dengan perusahaan farmasi. Pada 6 Juni, Cai Ming, mantan direktur sebuah kantor yang bertanggung jawab atas keamanan obat di Administrasi Makanan dan Obat-obatan Provinsi Guangdong, dijatuhi hukuman delapan tahun penjara setelah ia dinyatakan bersalah menerima suap, termasuk dari perusahaan-perusahaan obat, sebesar 6,23 miliar yuan (sekitar US$973,725). (ran)

ErabaruNews