Mengapa Tiongkok Ingin Meningkatkan Perdagangan dengan Nepal

Nepal, negara yang terkurung daratan di antara India dan Tiongkok, secara tradisional bergantung pada pelabuhan India untuk perdagangan dengan negara lain, ketika Nepal dan India telah menikmati hubungan persahabatan sejak tahun 1950-an.

Namun sekarang, hubungan India-Nepal tersebut tampaknya akan dilemahkan oleh Tiongkok, setelah baru-baru ini mengumumkan perjanjian perdagangan baru dengan Nepal.

Perjanjian Transit dan Transportasi (TTA), yang telah ditandatangani setelah pertemuan di ibukota Nepal, Kathmandu, pekan lalu antara pejabat Nepal dan Tiongkok, akan memungkinkan Nepal menggunakan empat pelabuhan laut dan tiga pelabuhan darat Tiongkok untuk perdagangan, menurut artikel 7 September oleh surat kabar Nepal versi bahasa Inggris, The Himalayan Times.

Nepal sekarang dapat menggunakan pelabuhan laut di kota-kota Tiongkok di Shenzhen, Lianyungang, Zhanjiang, dan Tianjin. Baik Shenzhen maupun Zhanjiang terletak di Provinsi Guangdong, Tiongkok selatan, sedangkan Lianyungang terletak di Provinsi Jiangsu, di sepanjang pantai timur Tiongkok. Tianjin menawarkan jarak terpendek untuk keempatnya, sekitar 2.050 mil (3.300 km) dari perbatasan Nepal.

Tiga pelabuhan darat terletak di kota-kota Tiongkok untuk Lanzhou, Lhasa, dan Shigatse. Dua yang terakhir adalah kota-kota di Tibet dan yang pertama terletak di Provinsi Gansu di Tiongkok barat laut.

Berdasarkan perjanjian tersebut, pedagang-pedagang Nepal akan diizinkan untuk melakukan perjalanan dengan cara transportasi apa pun, seperti jalur kereta api dan jalan, untuk mengakses pelabuhan-pelabuhan ini. Untuk pelabuhan darat di Shigatse, pihak berwenang Tiongkok akan memberikan izin bagi operator truk dan kontainer untuk membawa kargo ke dan dari kota Tiongkok ke Nepal. Artikel Himalayan Times tidak memberikan penjelasan mengapa izin semacam itu diperlukan untuk Shigatse, tetapi tidak untuk pelabuhan yang lain.

Motif Tiongkok di balik penandatanganan TTA sejak itu telah dipertanyakan oleh media India. Menurut situs berita India Opindia, biaya transportasi akan lebih tinggi dengan menggunakan pelabuhan Tiongkok, dibandingkan dengan pelabuhan India, mengingat jarak yang lebih jauh dari perbatasan Nepal. Sebagai contoh, jarak ke Kolkata, ibukota negara bagian Bengal Barat, India, adalah sekitar 480 mil (774 km), dan jarak ke Visakhapatnam, sebuah kota pelabuhan di negara bagian India Andhra Pradesh, kira-kira 741 mil (1.194 km).

Perjanjian perdagangan tersebut hanyalah salah satu dari serangkaian investasi dan proyek-proyek Tiongkok yang telah mangkrak dengan negara Himalaya tersebut, karena dianggap sebagai negara strategis dalam inisiatif One Belt, One Road (OBOR, juga dikenal sebagai Belt and Road).

OBOR

Beijing pertama kali mengumumkan OBOR pada tahun 2013, sebuah proyek untuk membangun jalur perdagangan yang menghubungkan Tiongkok, Asia Tenggara, Afrika, Eropa, dan Amerika Latin. Beijing bertujuan untuk membiayai proyek-rpoyek infrastruktur di lebih dari 60 negara.

Pada Maret 2015, Beijing telah merinci rencana-rencana OBOR-nya dengan mengumumkan serangkaian tindakan dan target untuk dilakukan untuk berbagai wilayah di Tiongkok. Menurut media pemerintah yang dikelola Xinhua, tujuan untuk Tiongkok barat daya adalah untuk “mendorong kerjasama perdagangan dan pariwisata antara Tibet dengan Nepal dan negara-negara tetangga lain di sekitarnya.”

Sejak saat itu, uang dan turis-turis Tiongkok mengalir ke Nepal. Selama tiga bulan pertama tahun ini, jumlah wisatawan Tiongkok yang berkunjung ke Nepal mencapai 40.976, melampaui wisatawan India untuk pertama kalinya, menurut harian Nepal, The Kathmandu Post.

Dalam hal proyek-proyek infrastruktur OBOR, pada bulan April 2016, pembangunan Bandara Internasional Pokhara di Nepal tengah dimulai setelah Kementerian Kebudayaan, Pariwisata, dan Penerbangan Sipil Nepal menyerahkan kontrak tersebut kepada CAMC Engineering milik pemerintah Tiongkok. Menurut Xinhua, pendanaan untuk konstruksi tersebut disediakan oleh Export-Import Bank of China yang dikelola oleh negara, yang memberikan pinjaman sebesar $215,96 juta. Pembangunan bandara diperkirakan akan selesai pada tahun 2021.

Kemudian, pada Maret 2017, Tiongkok telah menjanjikan $8,2 milyar dalam investasi asing langsung ke Nepal, menurut China Daily yang dikelola pemerintah.

Pada bulan Juni, kedua negara tersebut telah menandatangani delapan perjanjian investasi senilai $2,4 milyar selama kunjungan Perdana Menteri Nepal K.P. Sharma Oli ke Beijing, menurut surat kabar berbahasa Inggris India, Hindustan Times. Di antara perjanjian tersebut adalah rencana oleh perusahaan-perusahaan Tiongkok untuk membangun pabrik-pabrik semen dan beberapa proyek pembangkit listrik tenaga air di Nepal.

Ada juga pembicaraan tentang pembangunan rel kereta api yang menghubungkan Kathmandu dan Gyirong, sebuah wilayah di Tibet, menurut artikel 9 September oleh surat kabar resmi Tiongkok Global Times. Perusahaan-perusahaan Tiongkok juga telah mengusulkan untuk membangun jaringan kereta api di Nepal, termasuk rel kereta api antara kota Kerung dan Kathmandu di Nepal timur laut. Biaya konstruksi diperkirakan setidaknya $2,2 miliar, menurut artikel 26 Agustus oleh harian Nepal berbahasa Inggris, Kathmandu Tribune.

Jebakan Utang

Dengan meningkatnya investasi Tiongkok, ada kekhawatiran di Nepal bahwa negara tersebut mungkin jatuh ke dalam jebakan utang, seperti apa yang terjadi di Sri Lanka, menurut sebuah artikel opini 20 Juni yang diterbitkan di situs berita Nepal berbahasa Inggris, My Republica. Pada bulan Desember 2017, Sri Lanka telah menyerahkan kendali atas pelabuhan utama di selatan yang terletak di Hambantota ke Tiongkok, setelah gagal membayar kembali pinjaman $6 miliar dan mengubah utang tersebut menjadi ekuitas. Pelabuhan tersebut adalah proyek OBOR.

Artikel itu juga menunjukkan bagaimana Bandara Internasional Mattala Rajapaksa Sri Lanka, sebuah proyek di bawah OBOR, sekarang menjadi bandara paling kosong di dunia dan telah menimbulkan kerugian finansial yang besar. Bandara Internasional Pokhara Nepal mungkin akan berakhir dalam situasi yang sama, artikel tersebut memperingatkan.

“Sebelum memulai proyek-proyek besar di bawah [OBOR], Nepal perlu hati-hati menilai dampak yang mungkin terjadi pada perekonomian kita,” artikel menyimpulkan.

Jagdish Chandra Pokharel, mantan wakil ketua Komisi Perencanaan Nasional pemerintah Nepal, juga memperingatkan bahwa investasi Tiongkok tidak menguntungkan Nepal. Dia membuat komentar dalam sebuah artikel opini yang diterbitkan di koran Nepal, Annapurna Post. Investasi Tiongkok adalah “bahaya” dan “terinspirasi oleh keputusan politik”, yang berbeda dibandingkan meminjam uang dari Bank Dunia atau Dana Moneter Internasional (IMF), Pokharel menulis.

Masalah Tibet

Dalam 14 Agustus 2017, artikel di Global Times, motif yang mendasari Tiongkok di balik kemitraan dengan Nepal dinyatakan dengan berani: “Nepal, yang berbatasan dengan Daerah Otonomi Tibet Barat Daya, telah memainkan peran penting dalam penjagaan melawan ‘para separatis’ Tibet.”

Partai Komunis Tiongkok (PKT) menginvasi Tibet pada tahun 1949, menyatakannya sebagai bagian dari wilayah Tiongkok. Sejak itu Partai memberlakukan kontrol yang keras atas cara hidup orang-orang Tibet dan telah memberi label “separatis” terhadap orang-orang Tibet yang menganggap Dalai Lama sebagai pemimpin spiritual mereka. Di tengah meningkatnya penindasan dari pihak berwenang Tiongkok, beberapa orang Tibet telah melarikan diri melintasi perbatasan ke Nepal untuk kebebasan beragama mereka.

Menurut International Campaign for Tibet, kelompok advokasi nirlaba yang bermarkas di Washington, Tiongkok telah mendanai pembangunan akademi pelatihan Angkatan Bersenjata Kepolisian Nepal. Para petugas dari akademi tersebut ditugasi untuk “menghentikan penyusupan warga Tibet ke Nepal.”

Kelompok advokasi tersebut menulis, “Ada korelasi langsung antara investasi mendalam dan bantuan dari Tiongkok dengan kerentanan warga Tibet di Nepal.” (ran)