Uskup Dilaporkan Hilang di Tengah Rekonsiliasi Beijing-Vatikan

BEIJING – Seorang uskup yang menolak permintaan untuk bergabung dengan badan gereja yang dikuasai Partai Komunis Tiongkok telah ditahan, layanan berita Katolik telah melaporkan, meskipun langkah baru-baru ini oleh Beijing dan Takhta Suci menuju rekonsiliasi.

Asia News melaporkan bahwa Peter Shao Zhumin tidak terlihat beberapa hari yang lalu, tetapi tidak memberikan rincian selain mengatakan bahwa dia telah menjadi sasaran “puluhan hari untuk indoktrinasi seperti pada zaman Revolusi Kebudayaan,” sebuah tindakan yang mengacu pada tindakan radikal Mao Zedong tahun 1966-1976 yang menyerang budaya tradisional Tiongkok, agama dan kaum intelektual.

Shao diangkat oleh paus pada tahun 2016 dan ditempatkan di tenggara kota Wenzhou, yang memiliki komunitas Kristen yang besar. Pada 16 November, para pejabat telah dihubungi melalui telepon di biro urusan agama setempat, departemennya yang mengatur gereja Katolik dan markas-markas polisi, mengatakan mereka tidak mengetahui situasi Shao dan menolak menyebutkan nama mereka.

Ketika ditanya tentang masalah ini, juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok Hua Chunying tidak memberikan informasi tentang hilangnya Shao.

Hilangnya Shao menyusul sebuah kesepakatan terobosan untuk memberi Tiongkok beberapa hak dalam membuat keputusan mengenai penunjukan uskup yang para kritikus menyebutnya sebagai sebuah tindakan menghentikan perlawanan terhadap Partai Komunis yang berkuasa hanya karena ia sedang melakukan tindakan keras terhadap agama.

Vatikan telah lama berharap untuk menyatukan 12 juta umat Katolik Tiongkok yang terbagi antara mereka yang beribadah di gereja-gereja yang direstui negara dan para imam bawah tanah serta umat paroki yang setia kepada paus, yang sering ditahan dan dilecehkan.

Rincian tentang perjanjian bulan September belum dirilis, meskipun para analis mengatakan Vatikan akan mempertahankan kekuasaan untuk mengajukan kandidat sementara Beijing kemungkinan akan memiliki hak untuk menolak, kata Anthony Lam, seorang ahli gereja Tiongkok di Pusat Studi Roh Kudus di Hong Kong.

“Saya sendiri percaya bahwa di dalam prosesnya, Takhta Suci akan setuju untuk memberikan hak veto kepada pemerintah Beijing,” kata Lam, seraya menambahkan bahwa Vatikan tidak punya banyak pilihan selain menerima syarat-syarat Tiongkok.

Perjanjian tersebut menyerukan kepada Vatikan untuk mengakui tujuh uskup yang telah ditunjuk oleh Beijing tanpa persetujuan kepausan sementara juga mengatur dua uskup yang sah yang tetap setia kepada Roma untuk mengundurkan diri.

Langkah tersebut dipandang sebagai konsesi di pihak Vatikan dalam menghadapi pernyataan Beijing bahwa ia tidak akan mengizinkan “kekuatan asing” untuk mengatur kelompok agama negara.

Di bawah pemimpin Tiongkok Xi Jinping, pihak berwenang dalam beberapa bulan terakhir telah menindak keras terhadap orang-orang Protestan, Katolik, Muslim dan Budha atas nama keamanan nasional dan “Sinosisasi (Sinosization)” agama.

Pihak-pihak berwenang telah memindahkan atau menghancurkan salib-salib bahkan dari gereja-gereja yang secara resmi telah disetujui, telah menutup gereja-gereja, dan setidaknya di satu kotapraja, telah mengganti poster-poster Yesus Kristus dengan potret-potret Xi Jinping.

Tiongkok memutuskan hubungan dengan Takhta Suci pada tahun 1951, setelah Partai Komunis yang ateis mengambil alih kekuasaan dan mendirikan gereja sendiri. Semua agama telah dianiaya secara kejam selama pemerintahan mantan pemimpin Mao Zedong, tetapi mengalami kebangunan rohani setelah kematiannya pada tahun 1976 dan terus bertumbuh dalam beberapa tahun terakhir mengabaikan upaya-upaya partai dalam mengendalikan mereka. (ran)

Rekomendasi video:

Pastor ‘Dihilangkan’, Gereja Dipaksa Menyanyikan Lagu Pujian Terhadap Komunis Tiongkok

https://www.youtube.com/watch?v=pzsZi5xqVO8