Kita Tidak Harus Keluar dari Suriah, dan Itu Bukan Karena ISIS

Oleh Ian Henderson

Dalam langkah mengejutkan pada 19 Desember, Presiden Donald Trump telah mengumumkan penarikan penuh 2.000 tentara AS yang saat ini dikerahkan di Suriah. Dia telah menyatakan bahwa sejak ISIS dikalahkan, tidak ada lagi alasan untuk berada di sana.

Ketika ISIS sebagian besar telah dikalahkan dan kemampuan mereka untuk memproyeksikan kekuasaan telah dihentikan, Amerika Serikat masih memiliki alasan untuk menyokong kehadiran militer yang kecil namun penting di negara tersebut.

Mayoritas pasukan tersebut ditempatkan di Kurdi Rojava di sepanjang perbatasan Turki, dengan sebuah kesatuan kecil di perbatasan al-Tanf yang berseberangan dengan Irak. Pasukan yang diposisikan di kedua wilayah negara ini sangat penting untuk memastikan stabilitas di kawasan tersebut dan untuk menangkis dua musuh yang berupaya mengganggu keseimbangan kekuatan tersebut: Iran dan Turki.

Keputusan Trump untuk menarik sejumlah kecil pasukan kita dari zona non-tempur adalah kesalahan besar, dan konsekuensinya bisa mengerikan.

Keputusan Trump untuk menarik diri dari Suriah telah mengikuti percakapan telepon yang terjadi antara dia dengan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan. Apa yang didiskusikan adalah subyek spekulasi, namun tanpa sadar mengatakan apa yang dikatakan dari orang kuat Turki yang berpandangan Neo-Ottoman itu sangat bodoh, terutama ketika aliansi NATO kita dengan Turki tidak lain hanyalah penampilan semu untuk menciptakan kesan menguntungkan pada saat ini.

Neo-Ottomanisme adalah ideologi politik Turki yang, dalam arti luasnya, mempromosikan keterlibatan politik yang lebih besar dari Republik Turki di wilayah-wilayah yang sebelumnya di bawah kekuasaan Kekaisaran Ottoman, negara pendahulunya.

Keputusan Trump bahkan telah menyebabkan pengunduran diri salah satu sekretaris kabinet terbaiknya, Sekretaris Pertahanan James Mattis.

Penarikan keluar dari Kurdi Rojava akan membuat salah satu sekutu kita yang paling dapat diandalkan di wilayah tersebut tunduk pada keinginan-keinginan Turki, yang telah membuktikan bahwa mereka akan melakukan tindakan militer penuh untuk memberantas apa yang mereka lihat sebagai ancaman terhadap kekuasaan mereka. Ini terlihat pada bulan Januari pada invasi Afrin yang ironisnya dijuluki Operasi Tanda Damai (Operation Olive Branch).

Kehadiran militer kecil kita di wilayah perbatasan tersebut adalah sebuah tripwire (pasukan militer kecil yang keterlibatannya dalam permusuhan akan memicu penggunaan kekuatan yang lebih besar) untuk memastikan bahwa Turki tidak menyerang Suriah Kurdistan. Tidak ada pasukan AS dalam bahaya, karena orang-orang Turki tidak akan cukup bodoh untuk menyerang “sekutu NATO.” Menjaga mereka di Manbij, Raqqa, dan wilayah-wilayah perbatasan utara telah memastikan bahwa tidak ada tindakan yang akan diambil terhadap Kurdi.

Sekarang hal ini tidak lagi menjadi kendala, Turki sangat mungkin untuk melancarkan operasi militer untuk merebut kendali atas wilayah tersebut, yang selanjutnya akan menguatkan hasrat neo-Ottoman Erdogan terhadap wilayah tersebut. Percikan api di dalam konflik juga bisa mengakibatkan kekosongan kekuasaan, yang dapat memberikan kesempatan pada sisa-sisa ISIS untuk kembali.

Pangkalan AS di perbatasan al-Tanf dengan Irak dinyatakan berada di tempat untuk melatih “oposisi Suriah yang telah menjalani pemeriksaan” untuk melawan ISIS. Sementara ini tidak lagi menjadi masalah, karena para pejuang ISIS yang tersisa tidak berada di dekat al-Tanf, dalam posisi strategis untuk memastikan bahwa Iran tidak membuat rute koridor Syiah melalui Irak dan Suriah ke perbatasan Israel. Kontingen pasukan kecil kita berdiri tepat di jalan tujuan Iran tersebut. Sekarang kita akan memindahkan pasukan kita, itu akan memberi Republik Islam tersebut lampu hijau untuk memperluas kekhalifahan Syiahnya.

Keputusan tergesa-gesa Presiden Trump tidak perlu. Pasukan AS di Suriah tidak akan menghadapi pertempuran dan kematian dalam skala besar karena pernah berada di bawah Perang Irak Bush. Tidak ada perbandingan. Dalam enam bulan terakhir, perang di Suriah sebagian besar melambat mendekati akhir, bersama pasukan Assad, didukung oleh Rusia dan Iran, pemberontak yang didukung Turki, dan orang-orang Kurdi memperkuat kontrol di bagian masing-masing negara. 2.000 pasukan AS di wilayah Kurdi dan al-Tanf adalah kunci dalam stabilitas yang sedang berkembang tersebut.

Kehadiran pasukan kecil kita bertindak sebagai benteng melawan dua aktor regional, Iran dan Turki, yang ambisi-ambisi imperialistiknya untuk bersaing dapat mengganggu keseimbangan rapuh tersebut yang telah dicapai sampai keputusan Trump yang tiba-tiba. Waktu akan memberi tahu seberapa banyak kerusakan yang akan ditimbulkan sebagai akibat dari ini, bagaimanapun segala sesuatunya tidak terlihat baik. (ran)

Ian Henderson adalah kontributor Shield Society, mantan direktur penjangkauan masyarakat untuk The Millennial Review, dan mantan koordinator pengembangan untuk PragerU.

Rekomendasi video:

Misi Rahasia Penyelundupan Senjata Tiongkok di Afrika

https://www.youtube.com/watch?v=FlRR9JlP-sc