Penganiayaan Terhadap Orang-orang Kristen di Timur Tengah

Oleh Ronald J. Rychlak

KOMENTAR

Selama musim liburan, banyak orang menghabiskan waktu memikirkan Nazareth, Bethlehem, dan Timur Tengah. Tentu saja, sebagian besar pemikiran itu tentang perdamaian, cinta, dan peristiwa lebih dari 2.000 tahun yang lalu.

Peristiwa terkini di wilayah itu tidak begitu baik.

Pada awal Desember, Uskup Agung Canterbury Justin Welby telah memperingatkan bahwa orang-orang Kristen di Timur Tengah menghadapi “kepunahan yang mungkin segera terjadi.” Dia mencatat bahwa para pengikut Kristus “setiap hari menghadapi ancaman kekerasan, pembunuhan, intimidasi, prasangka, dan kemiskinan.” Hal itu mungkin datang sebagai kejutan bagi banyak pengamat yang mengira ancaman signifikan tersebut telah berlalu.

Belum lama berselang, kelompok teroris ISIS (juga dikenal sebagai Negara Islam, ISIL, dan dengan akronim bahasa Arabnya Daesh) menyebar ke seluruh bagian penting Timur Tengah yang dikenal sebagai Levant. Pada 4 Juli 2014, Abu Bakar al-Baghdadi berdiri di mimbar di Masjid Agung al-Nuri di kota Mosul Irak dan mendeklarasikan negara Islam (kekhalifahan) di bawah kepemimpinan seorang khalifah (penerus nabi Muhammad yang beriman). Dengan segera parade militer yang dipimpin ISIS berbaris di jalan-jalan Raqqa, Suriah.

ISIS adalah ancaman militer yang signifikan bagi dunia, tentu saja bukan “kelompok mahasiswa yunior” seperti yang disampaikan oleh Presiden Barack Obama. Ia memiliki sekitar setengah lebih banyak tentara dibanding tentara Inggris, menguasai wilayah yang lebih besar dari Inggris, dan memiliki akses persenjataan canggih yang telah disita dari pasukan Irak.

Baik Tentara Arab Suriah maupun Angkatan Bersenjata Irak tidak dapat membendung ekspansinya, dan pemerintahan Obama tidak tertarik untuk terlibat dalam perang Timur Tengah yang baru. Karena itu, sangat sulit untuk melihat bagaimana ISIS akan dihentikan ketika kekhalifahan tersebut telah meluas.

Selain itu, para pejuang ISIS yakin akan kemenangan akhir mereka. Dari saat mereka muncul di Suriah dan menyebar ke Irak, mereka percaya bahwa mereka menjalankan rencana ilahi. Nabi Muhammad telah meramalkan masa depan di mana kekhalifahan yang dihidupkan kembali akan menaklukkan dunia sesaat sebelum akhir zaman, dan para pejuang dan pemimpin ISIS ini melaksanakan ramalan tersebut.

GENOSIDA

Dengan kekuatan militer dan keyakinan akan keberhasilan, muncul kemampuan dan kecenderungan untuk memperlakukan secara kejam mereka yang menentang gerakannya. Para pemimpin ISIS menggunakan kebrutalan untuk menyebarkan kepercayaan di antara para pengikut mereka dan teror di antara yang lainnya. Terlalu sering, non-Muslim dilecehkan, secara paksa diubah berganti agama, diusir, dan kadang-kadang dipenggal atau disalibkan.

Beberapa perempuan dan anak perempuan diculik menjadi perbudakan seksual (dan kadang-kadang dibunuh). Karena kombinasi dari pengusiran mereka dan telah diubah berganti agama atau dibunuh, jumlah orang Kristen di Irak sekarang di bawah 200.000, turun dari sekitar 1,4 juta pada tahun 2002.

Pada tahun 2015, Paus Francis menyebut sebagai genosida umat Kristen di bawah ISIS. Pada tahun 2016, Senat AS mengeluarkan resolusi yang menyebut kekejaman yang dilakukan oleh ISIS terhadap agama dan etnis minoritas sebagai “kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan genosida.” Pada tahun yang sama, Sekretaris Negara John Kerry menggunakan istilah genosida untuk menggambarkan apa yang terjadi pada non-Muslim di bawah ISIS.

Penyebutan itu penting, karena kelompok-kelompok yang disebut sebagai korban genosida lebih mungkin menerima perlindungan militer dan perlakuan istimewa sebagai pengungsi di bawah protokol AS. Sayangnya, pemerintahan Obama, seperti kebanyakan pemerintah lain di seluruh dunia, menolak label genosida.

Penjelasan yang diberikan oleh Departemen Luar Negeri untuk menolak penyebutan genosida adalah bahwa ISIS memberi orang-orang Kristen pilihan untuk membayar pajak keagamaan (jizya) untuk menghindari menghadapi pemaksaan pindah agama, penggusuran, atau eksekusi. Namun pada kenyataannya, pajak itu meningkat sampai orang-orang non-Muslim kehabisan uang; kemudian penganiayaan dipercepat. Pilihan jizya tidak pernah merupakan solusi jangka panjang yang layak.

Donald Trump berbicara tentang genosida umat Kristen oleh ISIS ketika dia menjadi kandidat. Ketika menjadi presiden, ia menggunakan kekuatan militer untuk mengalahkan ISIS agar takhluk. Kekhalifahan tersebut akhirnya menghilang. Selain itu, pada bulan Desember 2018, ia menandatangani “Undang-Undang Bantuan dan Pertanggungjawaban Genosida Irak dan Suriah” menjadi hukum. Anggota Partai Republik dan Partai Demokrat mendukung undang-undang dengan suara bulat di Senat dan DPR.

Undang-undang baru ini menjamin bantuan keuangan dan teknis AS untuk orang-orang Kristen dan penduduk minoritas agama lainnya di Irak dan Suriah yang dianiaya oleh teroris-teroris Islam. Selain itu, undang-undang ini memungkinkan Departemen Luar Negeri AS, bersama dengan lembaga-lembaga lain, untuk melakukan investigasi kriminal terkait dengan dugaan komplotan-komplotan teroris, untuk menangkap yang telah dinyatakan sebagai anggota dari kelompok-kelompok teroris, dan untuk mengidentifikasi tanda-tanda peringatan genosida dan penganiayaan untuk mencegah kekejaman-kekejaman di masa depan.

AKHIR DARI ISIS?

Dengan mundurnya ISIS dan kekhalifahan tidak lagi ada, orang mungkin bertanya-tanya tentang perlunya undang-undang baru ini dan alasan pernyataan oleh Uskup Agung Canterbury tersebut. Kebenaran yang disayangkan adalah bahwa ISIS tidak hilang. Ia telah mundur dari kota-kota besar, tetapi diyakini akan berkumpul kembali di kota-kota kecil di sepanjang perbatasan Suriah-Irak, di mana ISIS masih mengusir, menganiaya, dan bahkan mengeksekusi orang-orang Kristen.

Ketika al-Qaeda di Irak dinyatakan telah dikalahkan oleh pejabat-pejabat AS pada tahun 2007, keanggotaannya diyakini mencapai ratusan. Ia tumbuh kembali dan menjadi kelompok teror yang sekarang kita kenal sebagai ISIS. Menurut perkiraan PBB, ISIS hari ini memiliki 20.000 hingga 30.000 anggota. Sangat mungkin bahwa ada banyak pejuang yang setia pada ISIS hari ini seperti sebelumnya. Mereka baru saja kehilangan pusat geografis mereka. Mereka jelas bisa tumbuh kembali menjadi ancaman yang signifikan.

Pertanyaan yang harus diajukan berkaitan dengan dampak penarikan pasukan AS dari Suriah. Amerika Serikat tidak perlu bertindak sebagai pasukan polisi dunia, dan kami senang tentara kami pulang, tetapi penarikan dari Suriah mungkin akan memudahkan ISIS untuk berkumpul kembali dan membangun kembali. Untungnya, anggota parlemen tampaknya berniat mengawasi situasi tersebut.

Presiden Trump mengunjungi pangkalan udara Al Asad di Irak pada hari setelah Natal untuk bertemu dengan pasukan AS. Ketika di sana, dia mengatakan dia “tidak punya rencana sama sekali” untuk memindahkan sekitar 5.200 tentara AS yang saat ini bertugas di Irak. Semoga, mereka (dan kehadiran signifikan Rusia yang tetap di Suriah) akan memberikan pencegah yang cukup untuk ISIS.

Pemerintah AS juga tampaknya serius tentang janji untuk memberikan dukungan kepada para korban penganiayaan ISIS. Hal itu kemungkinan akan mencakup bantuan kemanusiaan dan mempersenjatai serta melatih milisi untuk pertahanan diri. Mari kita berharap milisi tidak menjadi perlu dan bahwa tahun 2019 membawa umat Kristen dan agama-agama minoritas lainnya di Timur Tengah masa depan yang lebih cerah. (ran)

Penulis opini, Ronald J. Rychlak adalah ketua Jamie L. Whitten dalam bidang hukum dan pemerintahan di Universitas Mississippi. Dia adalah penulis beberapa buku, termasuk “Hitler, the War, and the Pope”, “Disinformation” (ikut menulis bersama Ion Mihai Pacepa), dan “The Persecution and Genocide of Christians in the Middle East” (disunting bersama Jane Adolphe).

Tonton yang berikut:

Pastor ‘Dihilangkan’, Gereja Dipaksa Menyanyikan Lagu Pujian Terhadap Komunis Tiongkok

https://www.youtube.com/watch?v=pzsZi5xqVO8