Setidaknya 10 Warga Australia Dipenjara di Kamp ‘Pendidikan Ulang’ Tiongkok

Setidaknya 10 warga Australia mungkin termasuk di antara ratusan ribu warga Uighur yang dipenjara di “kamp pendidikan ulang” rezim Tiongkok di provinsi Xinjiang, sedang menimbulkan kekhawatiran tentang masalah keamanan dari anggota keluarga di Australia.

Nurmuhammad Majid, presiden Asosiasi Australia Turkistan Timur, East Turkistan Australian Association (ETAA), mengatakan bahwa ia mengetahui sembilan warga pendatang yang bermukim di Australia dan satu warga negara Australia, belum melakukan kontak dengan anggota keluarga sejak bepergian ke Tiongkok.

“Kebanyakan dari kepergiannya terjadi pada akhir tahun 2016 atau 2017. Kemudian setelah periode itu, keluarga tidak mendengar kabar dari mereka,” kata Majid kepada The Epoch Times.

Majid mengatakan para warga pendatang di Australia yang saat ini ditahan telah pergi ke Tiongkok hanya untuk mengunjungi keluarga, tetapi paspor mereka disita dan kemudian dikirim ke “kursus-kursus studi politik” di Tiongkok.

“Beberapa dari mereka telah dikonfirmasi oleh mereka yang tinggal di Australia yang menyatakan bahwa mereka dikurung dan paspor mereka disita oleh pihak berwenang.

“Studi politik ini sekarang diidentifikasi oleh masyarakat internasional sebagai kamp-kamp penahanan yang merampas hak asasi manusia yang paling dasar dari masyarakat Uighur,” tambah Majid.

‘KAMP PENDIDIKAN ULANG’ SEBAGAI KEDOK PENYALAHGUNAAN YANG MELUAS

Kesaksian-kesaksian dari mantan tahanan Uighur telah mengungkapkan pelanggaran HAM yang meluas di dalam “kamp-kamp pendidikan ulang” yang dibangun secara khusus ini, di mana lebih dari satu juta warga Uighur ditahan.

Mihrigul Tursun, seorang wanita Uighur yang berusia 29 tahun, berbicara tentang riwayatnya ketika ditahan tiga kali.

“Saya menghabiskan 10 bulan di kamp-kamp itu secara keseluruhan, dan mengalami penyiksaan fisik dan psikologis di tangan pejabat-pejabat pemerintah,” kata Tursun pada Sidang Kongres AS (pdf) pada 28 November 2018.

Tursun pertama kali ditahan oleh otoritas Tiongkok pada Mei 2015, ketika ia tiba di Tiongkok dari Mesir dengan tiga anak kembarnya yang berusia dua bulan. Setelah tiba, pihak berwenang membawa anak-anaknya pergi dan menginterogasinya. Paspor, kartu identitas dan ponselnya telah disita.

“Kemudian, mereka memborgol saya, memakaikan karung hitam di kepala saya, dan membawa saya ke pusat penahanan,” kata Tursun.

Setelah tiga bulan, ia “dibebaskan” karena anak-anaknya dianggap “sakit,” yang mencurigakan karena anak-anaknya sehat sebelum tiba di Tiongkok. Sayangnya, putra sulungnya meninggal pada hari berikutnya.

Selama penahanannya, teman satu selnya, yang kebanyakan adalah para profesional berpendidikan tinggi seperti guru dan dokter, dipaksa untuk menghafal peraturan-peraturan kamp konsentrasi, meneriakkan slogan-slogan yang memuji Partai Komunis Tiongkok (PKT), dan disuruh meninggalkan bahasa dan agama mereka. Banyak yang disiksa, dipukuli, diracun, dan dibunuh dengan cara disuntik. Tursun secara pribadi menyaksikan sembilan kematian selama penahanannya yang ketiga.

Tursun akhirnya tiba di Amerika Serikat pada September 2018, melalui bantuan dari pemerintah AS.

Pada 26 November 2018, para cendekiawan dari 26 negara telah menandatangani pernyataan terbuka yang menuntut rezim Tiongkok menghapuskan kamp-kamp “pendidikan ulang” penahanan massal di Xinjiang.

“Sebagai cendekiawan yang prihatin yang mempelajari Tiongkok, Daerah Otonomi Xinjiang Uighur (XUAR), Asia Tengah, dan wilayah-wilayah terkait lainnya di dunia, kami mengeluarkan pernyataan ini untuk menyoroti kekhawatiran kami dan menyerukan masyarakat internasional untuk bertindak dalam kaitannya dengan pelanggaran hak asasi manusia secara massal dan serangan-serangan yang disengaja pada budaya asli yang sedang terjadi di XUAR Tiongkok. Para penandatangan pernyataan ini telah bersatu dalam melihat situasi saat ini di wilayah Tiongkok sebagai salah satu perhatian internasional yang signifikan,” kata pernyataan tersebut.

KEKHAWATIRAN DARI UIGHUR AUSTRALIA

Zulfiye Hiwilla, seorang Uighur yang berbasis di Sydney, mengatakan kepada berita SBS bahwa saudara perempuan dan saudara iparnya, yang keduanya adalah warga Australia, belum kembali sejak bepergian ke Tiongkok pada tahun 2017 dan dia percaya bahwa mereka berada di “kamp-kamp pendidikan ulang” tersebut.

“Putri dan putra mereka masih di Australia … Mereka sangat marah, terkejut, anak-anak menangis dan [mereka] sangat stres,” kata Hiwilla kepada berita SBS.

Pada tahun 2017, Almas Nizamidin, seorang warga negara Australia, pergi ke Urumqi, ibukota Xinjiang untuk mencari istrinya yang ditahan oleh otoritas Tiongkok. Nizamidin terbang kembali ke Xinjiang segera setelah mendengar berita bahwa dia telah diambil dari rumahnya oleh beberapa polisi berpakaian sipil tanpa tuduhan resmi.

Kekhawatiran-kekhawatiran tentang keselamatan dari orang-orang Uighur di Australia juga telah diangkat.

Nurmuhammad Majid dari ETAA mengetahui sebuah insiden di mana seorang warga Australia dipanggil oleh polisi Tiongkok melalui FaceTime (aplikasi percakapan tatap muka) di WeChat. Polisi Tiongkok telah mengintimidasi anggota keluarga mereka di Tiongkok dan menuntut kerjasama serta informasi dari kerabat di Australia.

“[Kami] dapat mengonfirmasi bahwa keluarga Uighur Australia yang tinggal di Australia … sangat membutuhkan bantuan dan perlindungan dari pemerintah Australia.”

Magid mengatakan mungkin ada lebih dari 10 kasus orang-orang Uighur Australia yang dipenjara di Xinjiang, mengingat bahwa orang-orang Uighur Australia lainnya kemungkinan mengisolasi diri mereka dari komunitas karena takut pada PKT.

“Tidak ada jaminan bahwa pemerintah Tiongkok bisa mencampuri kehidupan-kehidupan normal dan tidak bisa mengganggu orang-orang Uighur Australia ketika mereka bertindak atau pergi atau tinggal di Australia,” tambah Majid.

AUSTRALIA MENANGGAPI, TETAPI APAKAH CUKUP?

Seorang juru bicara Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia (DFAT) mengatakan dalam sebuah email bahwa meskipun tidak dapat menentukan jumlah pasti warga Australia yang ditahan di Xinjiang, Australia telah “mendesak Tiongkok untuk menghentikan penahanan sewenang-wenang terhadap warga Uighur.”

Omer Kanat, Ketua Komite Eksekutif Kongres Uighur Dunia mengatakan kepada The Epoch Times bahwa Australia bisa berbuat lebih banyak.

“Kami ingin Australia berbuat lebih banyak. Pertama-tama meminta Tiongkok untuk menghentikan penindasan yang sedang berlangsung di Turkistan Timur. Kedua, kami ingin Australia melindungi warganya sendiri. Karena ada banyak orang Uighur Australia, orang-orang Uighur yang merupakan warga negara Australia.”

Pada 3 Desember 2018, anggota parlemen dari Partai Buruh Australia Michael Danby, memperkenalkan Undang-Undang Magnitsky Australia yang akan menyaksikan para pelanggar HAM menghadapi sanksi-sanksi berat setelah disahkan.

“Ketua Partai Komunis wilayah, Chen Quanguo, dengan rencananya yang mengerikan untuk memenjarakan satu juta Uighur di kamp-kamp konsentrasi, tidak akan dilupakan oleh undang-undang seperti ini jika disahkan dan pemerintah federal di masa mendatang memiliki kesempatan untuk memanggilnya,” kata Danby di Parlemen. .

Nurmuhammad Majid berharap bahwa tekanan internasional akan mengakhiri penahanan orang-orang Uighur dan kelompok-kelompok lain di Tiongkok namun menyadari: “Ini adalah masalah yang mengkhawatirkan bahwa pemerintah Tiongkok tidak akan mendengarkan arahan-arahan dari negara-negara tersebut, dalam hal hak asasi manusia atau kebebasan beragama terhadap kelompok-kelompok lain, termasuk Uighur, Tibet atau praktisi Falun Gong di Tiongkok.”

Majid menambahkan bahwa negara-negara seperti Australia, Amerika Serikat, dan negara-negara Eropa: “harus cukup berani untuk berbicara menentang pemerintah Tiongkok dan menuntut peningkatan situasi hak asasi manusia dan juga menuntut pembebasan orang-orang yang tidak bersalah yang ditahan oleh otoritas Tiongkok.” (ran)

Video pilihan:

Dokter Ungkap Kejahatan Pengambilan Organ Tubuh di Tiongkok