Terungkap Skema Tiongkok Melindungi Investasi di Afrika dengan Memperluas Kehadiran Militer

Tiongkok mendukung proyek-proyek infrastruktur yang telah dibiayai di Afrika dengan kehadiran militer yang terus meningkat di benua tersebut, dan penduduk setempat merasa tidak nyaman dengan situasi ini, menurut sebuah laporan baru-baru ini.

Pusat Studi Strategis Afrika, African Center for Strategic Studies (ACSS), sebuah lembaga yang didukung Pentagon yang didanai oleh Kongres AS, menerbitkan sebuah laporan berjudul “Chinese Hard Power Supports Its Growing Strategic Interests in Africa” (Kekuatan Keras Tiongkok Mendukung Pertumbuhan Kepentingan Strategisnya di Afrika) pada 17 Januari. Merinci bagaimana Tiongkok telah secara signifikan memperluas kehadiran militernya di Afrika sejak tahun 2015. Pada saat itu, Tiongkok baru saja mengeluarkan undang-undang keamanan nasional yang baru yang memberikan dasar hukum bagi rezim Tiongkok untuk mengerahkan pasukan keamanan di luar negeri untuk melindungi kepentingan-kepentingan asingnya.

Laporan tersebut menemukan bahwa alasan utama di balik penyebaran militer Tiongkok adalah untuk melindungi proyek-proyek infrastruktur Tiongkok dan ekspatriat (perantau) Tiongkok yang bekerja di proyek-proyek ini di Afrika di bawah inisiatif “One Belt, One Road” Tiongkok (OBOR, juga dikenal sebagai inisiatif Belt and Road).

Tiongkok meluncurkan inisiatif OBOR pada tahun 2013 untuk membangun pengaruh geopolitik di seluruh dunia, terutama dengan bermitra lebih dari 60 negara di Asia, Eropa, Afrika, dan Amerika Latin dalam proyek-proyek infrastruktur besar-besaran.

Pada tahun 2015, Tiongkok menerbitkan makalah kebijakan Afrika keduanya, yang menyatakan bahwa Tiongkok akan memperkuat pertukaran dan kerja sama militer seperti melakukan pelatihan dan latihan militer bersama, serta membantu negara-negara Afrika untuk “meningkatkan pembangunan kapasitas mereka dalam pertahanan nasional dan pemeliharaan perdamaian.”

Kekhawatiran keamanan Tiongkok terhadap proyek-proyek OBOR di Afrika diuraikan pada bulan September 2018, ketika Beijing merilis sebuah rencana kerja untuk tahun 2019-2021, setelah forum kerjasama Summit of Forum on China-Africa Cooperation (FOCAC) di Beijing. Rencana tersebut menyerukan “meningkatkan kerja sama ‘Keamanan Sabuk dan Jalan (Belt and Road)’ dengan fokus khusus pada kereta api, taman-taman industri, dan peristiwa-peristiwa besar,” serta melindungi warga negara Tiongkok dan perusahaan-perusahaan Tiongkok.

Akan tetapi warga Afrika khawatir dengan meningkatnya aktivitas militer Tiongkok dan “menekan para pemimpin mereka untuk mengelola hubungan-hubungan keamanannya dengan Tiongkok dengan cara sendiri menghindari menguatnya kecenderungan ke arah ini,” kata laporan ACSS.

KEGIATAN MILITER

Dua tahun setelah mengeluarkan undang-undang keamanan nasional yang baru, pada tahun 2017, Beijing mendirikan pangkalan angkatan laut asing pertamanya di Djibouti, dan militer Tiongkok, yang disebut Tentara Pembebasan Rakyat (PLA), melakukan latihan militer langsung dengan kendaraan lapis baja dan artileri berat di pangkalan tersebut pada bulan November tahun itu.

Militer AS juga memiliki pangkalan militer di Djibouti, dengan lebih dari 4.000 personel militer ditempatkan di sana. Pangkalan tersebut berfungsi sebagai landasan peluncuran untuk operasi-operasi di Afrika. Pada bulan Maret 2018, Joshua Meservey, analis kebijakan senior untuk Afrika dan Timur Tengah di think tank Heritage Foundation AS, dalam kesaksian kongres memperingatkan tentang risiko-risiko akibat berdampingan dengan Tiongkok.

“Beijing memegang utang Djiboutian yang bernilai sekitar 60 persen dari produk domestik bruto negara itu, sehingga memberikan pengaruh signifikan terhadap negara yang penting bagi operasi-operasi militer AS di Afrika,” kata Meservey.

Pada tahun 2018, Beijing meningkatkan pengaruhnya dengan mengadakan latihan-latihan militer di beberapa negara Afrika, termasuk Kamerun, Gabon, Ghana, dan Nigeria, menurut laporan ACSS. Selain itu, Beijing kerjasama dengan negara-negara seperti Ethiopia, Sierra Leone, Sudan, dan Zambia untuk memberikan perawatan korban perang.

Di Namibia, media lokal menyuarakan keprihatinan bahwa proyek ekspansi Tiongkok di Pelabuhan Teluk Walvis akhirnya dapat menuntun Beijing membangun fasilitas angkatan laut di pelabuhan tersebut, di mana itu terjadi di Djibouti, menurut laporan ACSS. Tiongkok yang pertama kali dikontrak untuk membangun pelabuhan laut di Djibouti.

Menurut artikel Mei 2018 oleh media pemerintah Tiongkok, Xinhua, proyek Pelabuhan Teluk Walvis dipimpin oleh China Harbour Engineering Company milik pemerintah Tiongkok. Perusahaan ini akan memperluas kapasitas produksi pelabuhan menjadi 750.000 unit setara dua puluh kaki (TEU), di samping membangun fasilitas-fasilitas penyimpanan minyak dan dermaga pelayaran.

Bahkan tanpa fasilitas militer apa pun, pelabuhan Namibia akan berfungsi sebagai pusat kegiatan penting yang menghubungkan ke Afrika selatan, serta pelabuhan-pelabuhan dan infrastruktur Tiongkok lainnya yang sedang dibangun di São Tomé dan Príncipe, Kamerun, Nigeria, Ghana, Pantai Gading, dan Guinea.

PENJAGA PERDAMAIAN

Beijing juga mengerahkan pengaruh besar di sektor keamanan Afrika melalui upaya-upaya penjaga perdamaiannya dengan PBB, menurut laporan ACSS.

Munculnya niat baik tersebut dimaksudkan untuk membantu rezim Tiongkok mengejar proyek-proyek OBOR di negara-negara Afrika.

Misalnya, di Mali, PLA mengirim Kelompok Pertempuran ke-6 sebagai bagian dari operasi penjaga perdamaian yang dipimpin AS di negara itu.

Menurut laporan ACSS, lokasi geografis Mali secara strategis ideal bagi upaya Beijing untuk memperluas inisiatif OBOR ke wilayah Afrika Barat yang lebih luas, dengan jaringan kereta api dibangun oleh perusahaan-perusahaan Tiongkok yang menghubungkan Mali ke pelabuhan di Dakar, ibukota Senegal, dan Conakry, ibu kota Guinea.

Tiongkok terutama menggunakan dua misi penjaga perdamaian untuk memenuhi tujuan kebijakan luar negerinya. Pertama, Beijing telah mendukung Pasukan Siaga Afrika (ASF), pasukan penjaga perdamaian internasional di bawah arahan Uni Afrika, seperti dengan menyediakan US$25 juta untuk logistik ASF yang berbasis di Kamerun pada Februari 2018.

Kedua, Beijing telah meningkatkan pasukan siaga sendiri yang terdiri dari 8.000 pasukan penjaga perdamaian PBB.

Upaya penjaga perdamaian Tiongkok “dilengkapi dengan kegiatan mediasi Tiongkok tingkat tinggi,” menurut laporan ACSS, di negara-negara seperti Republik Demokratik Kongo, Sudan Selatan, Sudan, dan Zimbabwe.

Namun laporan tersebut memperingatkan bahwa upaya-upaya mediasi ini “sering ditujukan untuk mempertahankan para pemimpin otoriter yang dengannya Beijing memiliki hubungan baik dan melalui siapa investasi-investasi strategis dalam sumber daya dan infrastruktur dapat terjaga dari risiko kehilangan.” (ran)

Video pilihan:

Analisa Pakar, Politik Tiongkok Tidak Stabil, Pejabat Panik!

https://www.youtube.com/watch?v=AoyWwEzkBt4