Perkembangan Ekonomi Tiongkok Terkini, di Luar ‘Panas’ di dalam Dingin, Apakah Sehat?

He Qinglian

Sejak dimulainya perang dagang AS-Tiongkok bulan Maret 2018 lalu, dalam waktu setengah tahun ekonomi Tiongkok terlihat menurun.

Bahkan  pemerintahan Komunis Tiongkok pun mengakui berbagai kesulitan yang dialami. Adapun reformasi struktural pun tak kuasa dilakukan. Tapi di akhir kuartal ke-3, berbagai indeks ekonomi Tiongkok terkait luar negeri justru mulai memperlihatkan tren meningkat.

Skala cadangan devisa asing dan investasi asing rata-rata menunjukkan pertumbuhan dan masih terus memanas. Dalam perundingan dagang dengan AS, sikap Tiongkok menjadi semakin alot.

Berdasarkan kondisi demikian, dapat dikatakan situasi ekonomi Tiongkok saat ini adalah panas ‘di luar’ dingin ‘di dalam’. Dampak seperti apa yang akan ditimbulkan kondisi seperti ini terhadap ekonomi Tiongkok di masa mendatang?

Maka harus terlebih dahulu menganalisa penyebabnya. Baru kemudian dapat menentukan akankah berkah ini dapat menyelamatkan penyakit ekonomi Tiongkok.

Naiknya Cadangan Devisa dan Investasi Asing Berkat Bantuan Tiga “Orang Budiman”

Hingga akhir Januari 2019, cadangan devisa asing Tiongkok mencapai 3,087,9 triliun dolar Amerika Serikat. Jumlah ini terus bertahan naik selama 3 bulan berturut-turut. Pada akhir November 2018 sebesar 3,061,7 triliun dolar AS, di akhir Desember 2018 sebesar 3,0727 triliun dolar AS — regulator moneter Tiongkok terus menerus memelototi ‘badak’ cadangan devisa asing ini, yang untuk sementara ini bisa bernafas lega.

Indikator ekonomi lainnya yang melibatkan asing adalah investasi asing. Departemen Penanaman Modal Asing pada Kementerian Perdagangan Tiongkok mengumumkan, pada tahun 2018 lalu negara itu telah menarik investasi asing mencapai 134,97 miliar Dolar AS. Jumlah ini memecahkan rekor tertinggi sepanjang sejarah.

Jika dilihat lagi selama Januari-Februari 2019 di seluruh Tiongkok dibangun 6.509 unit perusahaan investasi asing. Pemanfaatan riil dana asing sebesar 21,69 miliar Dolar AS, jumah ini meningkat 3% pada periode yang sama tahun lalu tapi belum termasuk perbankan, surat berharga dan asuransi.

Terdampak faktor perang dagang AS-Tiongkok dan lain sebagainya, investasi antar regional di seluruh dunia tahun 2018 tidak menggembirakan. Menurut laporan Badan Pengembangan Ekonomi PBB, pada semester pertama tahun 2018 investasi asing langsung seluruh dunia menurun 41% dibandingkan periode yang sama tahun lalu, negara makmur turun jadi 69%.

Namun hingga semester kedua, bursa efek Tiongkok yang pernah berkali-kali menguapkan harta rakyat pemilik saham Tiongkok serta bursa surat hutang Tiongkok,  paling lemah ibarat tulang rusuk ayam justru telah mendatangkan ‘musim semi investasi asing’.

Menurut data dari Realink Investment, tahun 2018 dana asing dari wilayah Hongkong dan sekitarnya yang masuk ke bursa Tiongkok total membeli saham A sebesar 294,2 miliar Dolar AS, atau naik hampir 50% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Menurut data Bank Sentral, bursa surat berharga Tiongkok pada tahun 2018 telah dialiri dana asing sekitar 100 milyar Dolar AS, atau sekitar 80% dari skala aliran dana asing di pasar yang baru berkembang.

Di tengah perang dagang AS-Tiongkok yang berkepanjangan dan pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang lesu, investasi asing terus mengalir masuk ke dalam pasar Tiongkok. Inilah yang sangat melegakan bagi Beijing. Pemerintahan ini beranggapan pasar modal Tiongkok sedang diterima oleh internasional. Diterimanya pasar modal Tiongkok ini adalah berkat pertolongan dari “orang budiman”.

Tiga “Orang Budiman” ini adalah dua perusahaan indeks saham dan satu perusahaan indeks obligasi internasional.

Di tahun 2018 ketika seluruh dunia merasa pesimis terhadap perekonomian Tiongkok, perusahaan indeks saham terbesar dunia yakni Morgan Stanley Capital International yang disingkat MSCI mendahului di bulan Mei lalu.

Morgan Stanley secara resmi menaikkan saham A bursa Tiongkok ke dalam indeksnya, menyusul perusahaan indeks saham kedua terbesar dunia yakni FTSE Russell di bulan September juga mengumumkan saham A bursa Tiongkok resmi dimasukkan ke dalam daftar “FTSE Global Equity Index Series”.

Pada Januari 2019, Bloomberg Barclays Global Aggregate Index mengumumkan akan memasukkan surat hutang Tiongkok dan obligasi keuangan kebijakan perbankannya ke dalam indeks tersebut. Surat hutang Tiongkok yang bermata uang Reminbi akan menjadi surat hutang mata uang berharga yang terbesar ke-4 setelah Dolar AS, Euro dan Yen Jepang.

CEO Bloomberg, Peter T. Grauer, memperkirakan dengan dimasukkannya surat hutang Tiongkok ke dalam Bloomberg Barclays Global Aggregate Index, akan mendatangkan dana asing sebesar 700 miliar Dolar AS dalam 5 tahun mendatang.

Ketiga institusi besar ini telah mendikte bursa efek dan bursa obligasi Tiongkok dengan reputasinya. Lantas, membuat pasar modal Tiongkok menjadi pilihan wajib pada portfolio investasi para penanam modal di seluruh dunia.

Namun demikian, pada 24 Maret lalu, setelah hampir 2 tahun, investigasi Mueller yang telah menghabiskan uang para wajib pajak sebesar 25,2 juta Dolar AS, dengan memanggil 2.800 orang dan 500 orang saksi akhirnya mengumumkan kesimpulan,  tidak ditemukan konspirasi atau kolusi antara tim kampanye Trump dengan pihak Rusia, yang berupaya mempengaruhi pilpres AS tahun 2016 lalu.

Tapi Partai Demokrat sangat tidak bisa menerima hal ini. Demokrat masih saja terus memprovokasi. Oleh karena itu, menurut pandangan penulis artikel ini He Qinglian, sebelum diumumkan hasil pilpres 2020 mendatang, modal AS tidak akan kembali dalam skala besar. Ini dikarenakan program kampanye Partai Demokrat yang sosialis  akan mengakibatkan tingginya pungutan pajak, faktor ini akan menjadi bayang-bayang kelabu bagi kalangan pebisnis di AS.

Dunia Bisnis dan teknologi tinggi walaupun merupakan pendukung militan Hillary, tapi mereka tidak menyukai politikus sosialis AS, Sanders dan Alexandria Ocasio-Cortez. Meski mereka memang tidak menerima Trump, tapi lebih takut pada Partai Demokrat yang semakin lama semakin mengarah ke sosialis.

Politik AS Menjadi Tabel Cuaca Ekonomi Global

Modal internasional optimis terhadap Tiongkok, sepenuhnya disebabkan karena sangat tidak stabilnya politik dalam negeri AS.

Sebelum pemilu paruh waktu AS tahun 2018 lalu, perang dagang AS-Tiongkok sempat membuat seluruh dunia pesimis terhadap bursa Tingkok. Dampaknya, dana asing ramai-ramai hengkang atau menyatakan diri akan keluar dari Tiongkok. Penempatan ulang rantai industri seluruh dunia telah dimulai.

Tapi pasca pemilu paruh waktu, Partai Demokrat AS berhasil merebut kembali mayoritas suara Dewan Perwakilan AS. Sejak saat itu, narasi “Russian Gate” sebagai alasan untuk mendakwa presiden, meramalkan bahwa Trump akan mengundurkan diri dengan sendirinya agar tidak didakwa telah menjadi tema utama dalam kritik dari media massa dan para politisi AS.

Para penentang Trump membuat situs “Impeach Trump Now” yang terus menerus memprediksi Trump pasti akan menjadi presiden pertama yang mengundurkan diri pada masa jabatannya yang pertama, agar dirinya tidak menjadi terdakwa.

Tren politik seperti ini tidak hanya memengaruhi penentuan terhadap perang dagang AS-Tiongkok, tapi semakin berdampak terhadap penentuan dan pilihan terhadap modal internasional. Tahun 2018 investasi Tiongkok terutama berasal dari Tiongkok sendiri, Korea Selatan, Singapura, Amerika Serikat, Uni Eropa masing-masing dengan pertumbuhan 35,6 persen, 8,4 persen, 44,3 persen dan 39,1 persen. Pertumbuhan dari AS paling cepat.

Dengan AS sebagai contoh, pada Januari 2018 lalu pemerintah Trump mengeluarkan reformasi pajak berskala terbesar dalam tiga dekade terakhir — yakni program pengurangan pajak mencapai 1,5 triliun dolar AS, dengan harapan dapat menggairahkan belanja perusahaan dan meningkatkan lapangan kerja.

Waktu itu Presiden Trump pernah memprediksi perusahaan akan menarik keuntungannya sebesar 4 triliun dolar AS kembali ke Amerika. Tapi karena kondisi politik dalam negeri terus terjadi konflik, selama tiga kuartal pertama hanya menarik kembali 571,3 miliar dolar AS. Selanjutnya, masih terus berkurang: kuartal pertama yang ditarik kembali 294,9 miliar dolar AS, pada kuartal kedua yang ditarik kembali 183,7 miliar dolar AS. Pada kuartal ketiga hanya 92,7 milyar dolar AS, atau menurun hampir 50% dibandingkan kuartal kedua.

Meruncingnya konflik kedua partai pasti akan mengakibatkan modal AS mengambil sikap wait and see terhadap investasi, secara serius menggerus dampak besar kebijakan moneter berskala besar ini menstimulus investasi oleh perusahaan.

Menurut suatu riset oleh Goldman Sachs, modal tahun 2018 mayoritas mengalir masuk ke bursa efek, buyback saham perusahaan AS menembus 1 triliun dolar AS. Pada akhir Januari 2019, The National Association for Business Economics atau Asosiasi Ekonomi dan Dagang Amerika, mengumumkan survei kondisi perusahaan secara kuartal. Hasilnya disebutkan walaupun pada sejumlah laporan perusahaan disebutkan pengurangan pajak telah mempercepat investasi. Tapi sebanyak 84% perusahaan yang disurvei menyebutkan, reformasi pajak tidak membuat mereka mengubah program investasi dan perekrutan perusahaannya.

Namun demikian, hasil investigasi Mueller pada 24 Maret 2019 membuktikan tak ada konspirasi antara Rusia, ditambah kalangan bisnis beserta kubu high-tech yang tidak menyukai program kampanye berbau sosialisme, walaupun mereka memang tidak menerima Trump. Akan tetapi, lagi-lagi mereka sebenarnya lebih takut pada Partai Demokrat yang semakin condong ke sosialis.

Hadapi Ekonomi Dingin Di Dalam Tiongkok Tak Punya Program Penghangatan

Dari berbagai pemberitaan media finansial Barat terhadap Tiongkok, dan sikap Uni Eropa terhadap Tiongkok, bisa dilihat bahwa bagi kalangan bisnis maupun politik Barat masa depan pertumbuhan ekonomi Tiongkok tetap menjadi faktor penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi global.

Tiongkok juga memahami, tujuan akhir Barat bukan untuk menghancurkan Tiongkok, melainkan memaksanya berjalan pada rel ekonomi pasar yang sejati.

Kalangan bisnis AS menentang AS melakukan perang dagang terhadap Tiongkok, tapi di sisi lain bersiteguh mendukung Trump dalam hal memaksa Tiongkok melakukan reformasi struktural atas perilaku dagangnya yang tidak adil, ini adalah bukti nyata.

Akankah Tiongkok memenuhi harapan negara Barat itu?

Secara objektif, Tiongkok juga ingin melakukannya, tapi tidak mampu. Dalam dua kali Rapat Paripurna Partai Komunis Tiongkok tahun ini, pemerintah mengusung berbagai pusaka bersamaan yang bertujuan dengan ‘kelonggaran’ yakni mengurangi izin dan mengeluarkan surat hutang daerah yang dinilai menggairahkan ekonomi, sekaligus dikeluarkannya tiga jurus yakni turunkan pajak, dorong konsumsi, gerakkan kembali pembangunan infrastruktur.

Tapi efek dari tujuan ini saling bertolak belakang. Sebagai contoh, pengurangan pajak tahun 2019 senilai  2 triliun renmimbi, jumlah ini jelas mengisyaratkan niat dan terdesaknya pemerintah untuk meningkatkan ekonomi. Tapi memperbesar investasi infrastuktur, berarti belanja pemerintah turut melonjak. Jika sejumlah anggaran belanja seperti jaminan sosial, jaminan kehidupan, anggaran militer dan stabilitas mengakibatkan pembatasan belanja finansial pemerintah, ditambah lagi, angka defisit keuangan yang harus dipertahankan seperti tahun sebelumnya, hampir tidak ada lagi ruang untuk bisa mengurangi pajak. Hasil akhirnya adalah biaya akan menggantikan pajak dan beban perusahaan akan sulit dikurangi.

Menggerakkan konsumsi di Tiongkok juga sangat sulit. Komisi Pembangunan dan Reformasi Tiongkok bersama dengan sepuluh komisi lainnya merilis “Program Terapan Mendorong Pertumbuhan Konsumsi Yang Stabil Dengan Optimalisasi Pasokan, Mendorong Pasar Dalam Negeri Yang Besar dan Kuat 2019.”

Sebenarnya menggerakkan konsumsi pedesaan sebagai faktor kunci dari Program Komisi Pembangunan dan Reformasi Tiongkok ini.  Inti utamanya menyerupai kebijakan stimulasi konsumsi Tiongkok tahun 2008 silam. Akan tetapi pemerataan kekayaan di Tiongkok sangat tidak seimbang. Program ini walaupun didukung penuh oleh Xi Jinping, penduduk berpendapatan rendah sebanyak 68% itu tetap akan terlilit kesulitan pendapatan dan tidak akan mampu memperbesar konsumsi.

Sedangkan memperbesar pembangunan infrastruktur, adalah cara lama yang sudah usang belasan tahun silam. Setelah bertahun-tahun, masalah struktural ekonomi tiongkok selalu seputar masalah kejenuhan pasar dan kelebihan hasil produksi. Termasuk dana darurat penyelamatan pasar tahun 2009 sebesar 4 triliun renminbi khususnya diinvestasikan pada sektor industri, infrastruktur dan properti.

Akibatnya, justru memperbesar kelebihan produksi yang baru, semakin memperparah tidak seimbangnya pasokan dan konsumsi. Akhirnya jadi upaya yang sia-sia — hal yang tidak bisa dibandingkan antara sekarang dengan satu dekade silam adalah: kepungan ekonomi Tiongkok selama satu dekade silam, bergantung pada properti untuk menyelamatkan ekonomi Tiongkok.

Stimulus ekonomi tahun 2019 ini, efek busa pada sektor properti yang menggelembung tinggi ini ibarat kuda yang sudah kepayahan tak mampu lagi menarik perekonomian Tiongkok.  Apalagi rata-rata beban hutang warga Tiongkok adalah 170.000 yuan, mayoritas warga Tiongkok tak punya lagi uang lebih.

Menyimak sejarah pertumbuhan ekonomi modern di dunia, tidak pernah ada satu pun ekonomi negara dengan masalah strukturalnya, bisa bangkit hanya dengan mengandalkan investasi dari luar negeri yang menanamkan uangnya hanya di pasar modalnya saja.

Apalagi, modal asing yang masuk ke bursa efek dan obligasi suatu negara, tujuannya bukan untuk membangkitkan ekonomi negara tersebut, melainkan hanya pemodal yang ingin mencari keuntungan dengan datang ketika ada untung dan pergi ketika tidak ada untung.

Ekologi politik dalam negeri di AS telah memberikan periode peluang selama 20 bulan bagi Tiongkok.  Pada periode ini, jika Tiongkok tidak mampu memanfaatkan ‘berkah’ dari ‘panas luar’ ini untuk mengobati penyakit ‘dingin dalam’-nya, maka Tiongkok ditakdirkan akan terjebak lagi dalam bahaya pengepungan. (SUD/WHS/asr)