Kisah Bhiksu Agung Xu Yun dari Tiongkok Dihormati Kaisar Sampai Presiden

Epochtimes.id Xu Yun (1840-1959) adalah seorang bhiksu agung di zaman Tiongkok modern, juga merupakan seorang bhiksu yang mendapatkan pencerahan sempurna.

Dalam hidupnya ia mengalami beberapa zaman yakni: zaman Dinasti Qing akhir, pemerintahan Nasionalis atau Kuo Min Tang dan masa pemerintahan Komunis Tiongkok, mulai dari rakyat biasa, perwira perang, sampai Kaisar Dinasti Qing dan Presiden Nasionalis sangat menghormati dirinya.

Namun pada saat berusia 112 tahun, ia justru mengalami siksaan dan penganiayaan dari polisi militer Komunis Tiongkok.

Sepanjang kehidupannya yang luar biasa itu, ia telah meninggalkan banyak peristiwa aneh, yang di zaman sekarang lebih terlihat bagaikan mukjizat.

Doa Xu Yun dan Ibu Suri Cixi Berlutut Terharu

Bhiksu Xu Yun memiliki ilmu spiritual sangat tinggi dan sangat ketat dalam mematut diri sendiri.

Kaisar Guangxu dari Dinasti Qing sangat menghormati reputasi moralitasnya dan mengangkatnya menjadi kepala biara Kuil Zhusheng di Gunung Jizu, Kabupaten Binchuan, Prefektur Otonomi Dali Bai, Provinsi Yunnan, Tiongkok.

121 tahun silam pada tahun 1898 juga bertepatan tahun Wuxu, pada masa itu terjadi Reformasi Wuxu, yang berlangsung selama 102 hari, dan akhirnya dihentikan oleh Ibusuri Cixi. Di tahun 1900, Aliansi 8 Negara menginvasi Beijing, Ibu suri Cixi membawa Kaisar Guangxu, sekelompok pejabat dan kasim, serta pelayan istana melarikan diri ke Chang’an, yakni kota Xi’an sekarang ini.

Pangeran Yi Kuang bergelar: Raja Qing Qin yang mendengar tentang Bhiksu agung Xu Yun, maka sang pangeran memohonnya agar bersedia mendampingi perjalanannya ke barat, untuk melindungi keselamatan Ibu suri.

Setelah ibusuri melarikan diri ke Chang’an, waktu itu bertepatan dengan musim panas, wabah penyakit melanda, mengakibatkan banyak rakyat meninggal dunia. Cuaca yang panas menyengat itu, menyebabkan mayat cepat membusuk, seluruh kota dipenuhi dengan bau mayat yang menyengat hidung.

Xu Yun memohon kepada kaisar, agar memerintahkan semua orang kaya menyumbangkan bahan pangan untuk menyelamatkan korban bencana.

Ketika itu kondisi masyarakat kacau, Xu Yun iba pada rakyat yang tak berdosa, sang bhiksu berikrar di Kuil Wolong dalam ritual doa memohon turunnya salju. Ia memohon Tuhan agar mengasihi rakyat jelata hendaknya menurunkan salju untuk melenyapkan wabah.

Reputasi Xu Yun mendatangkan hampir 1.000 orang bhiksu berkumpul di Kuil Wolong, bahkan seorang guru yang berkultivasi rahasia di Gunung Zhongnan juga datang ikut membantu. Membawa 9 orang bhiksu lainnya naik ke atas altar, di atas altar setinggi 11 meter itu, siang dan malam mereka berdoa tiada henti memohon turunnya salju.

Setelah 7 hari ritual memohon salju itu berlangsung, cuaca tiba-tiba berubah, sore hari mulai turun salju.

Saat hujan salju turun, para bhiksu masuk ke dalam kuil, tapi Bhiksu Xu Yun masih tetap duduk di altar dan terus membacakan Sutra Buddha. Waktu itu daerah sekitar Shaan-Gan-Ning (daerah segi tiga antara provinsi Shaanxi – Gansu – Ningxia) bertahun-tahun dilanda kemarau panjang, ditambah lagi dengan wabah yang menyebar, salju yang turun beberapa jam tidak dapat menyelesaikan semua masalah.

Oleh karena itu Xu Yun terus berdoa selama 7 hari lagi, akhirnya di dalam dan luar kota Chang’an diselimuti salju putih.

Mendengar hal ini, Ibu Suri Cixi menaiki tandu menembus salju tebal mendatangi Kuil Wolong, memandang Bhiksu Xu Yun yang duduk bersila di atas altar, tak tertahankan air matanya menetes dan Ibusuri berlutut di tanah bersalju itu menyembah ke arah sang bhiksu.

Sun Yat Sen Menulis Prasasti “Yin Guang Yan Ran”

Setelah pemerintahan Nasionalis atau Kuo Min Tang berdiri (di tahun 1913 Masehi), Dr. Sun Yat Sen menorehkan kaligrafinya bagi Bhiksu Xu Yun dan bagi Kuil Zhusheng di Gunung Jizu yakni “Yin Guang Yan Ran 飲光儼然”. Kata ‘Yin Guang’ adalah nama lain dari salah seorang murid Buddha Sakyamuni yakni Mahakasyapa.

Dikisahkan pada kehidupan sebelumnya Mahakasyapa adalah seorang ahli metalurgi, ia mahir melumerkan emas dan membentuk patung Buddha dari emas. Karena ia menghormati Buddha, pada kehidupan berikutnya ia berpahala besar, saat dilahirkan tubuhnya berkilau cahaya keemasan, cahaya itu mampu menutupi semua cahaya lain, seolah menelan semua cahaya lain, sehingga diberi nama “Yin Guang” (dalam bahasa Tionghoa artinya menelan cahaya, Red.).

Xu Yun pergi ke Nanjing menemui Dr. Sun Yat Sen, keduanya bertukar pikiran, dr. Sun berbincang soal sistem demokrasi yang dipelajarinya di luar negeri dan teknologi baru untuk menyelamatkan Tiongkok. Juga berinisiatif selain melindungi kebudayaan tradisional Tiongkok yang telah ada, harus membangun kriteria moralitas dan budaya pemikiran yang baru.

Menurut Sun Yat Sen, agama Kristen menekankan cinta kasih dan memberi, Buddha menekankan belas kasih dan amal; Kristen mengajarkan cintailah musuhmu, Buddha mengajarkan setiap orang adalah sama; Kristen mengatakan Kerajaan Langit ada di dalam hati, Buddha mengatakan Dharma tumbuh di dalam hati.

Sun Yat Sen mengatakan mungkin Kristen atau pun Buddha memiliki asal yang sama, sehingga Sun Yat Sen menentang saling serang antar agama. Sikap Sun Yat Sen yang berpikiran terbuka, juga membuat Xu Yun merasa kagum. (SUD/WHS/asr)