Menyingkap Tirai Anti Ekstradisi Hong Kong dan Dalang di Baliknya

He Jian

Warga Hong Kong menciptakan sejarah pawai terbesar dari satu juta orang Hong Kong menjadi dua juta orang yang turun ke jalan menentang undang-undang ekstradisi yang digelar pada Juni 2019 lalu.

Pawai akbar itu membuktikan bahwa selama dapat mengatasi rasa takut, keadilan pasti dapat menaklukkan tirani.

Badai penolakan amandemen RUU Ekstradisi Hong Kong menunjukkan kepada dunia keberanian orang-orang Hong Kong dan meninggalkan beberapa pertanyaan yang jelas : Mengapa Pemerintah Daerah Administratif Khusus Hong Kong begitu tidak bijaksana? Siapa dalang di balik badai (Aksi massa) Hong Kong ini ?

Setelah dikaji lebih jauh, dan menyingkap tirai di baliknya, akan ditemukan bahwa pada akhirnya keadilan akan menghancurkan kejahatan. Meskipun badai “anti-ekstradisi” Hong Kong belum tentu akan mengikuti keinginan dalang di balik layar, tetapi dapat membunyikan lonceng kematian bagi komunis Tiongkok.

Pemerintah Hong Kong Kehilangan Akal Sehat

Ini bermula sejak Pemerintah Hong Kong meluncurkan Undang-Undang untuk mengubah peraturan ekstradisi pada Februari 2019 yang mengizinkan pemerintah Hong Kong mengekstradisi tersangka ke Tiongkok yang dituduh melakukan kejahatan.

Ketika itu, Warga Hong Kong mulai melakukan aksi protes menuntut penarikan amandemen Undang-Undang Ekstradisi.

Media asing seperti Financial Times dan BBC mengomentari bahwa jika revisi Ordonansi Pelanggar hukum disahkan, itu berarti tersangka atau para pembangkang akan diserahkan ke daratan Tiongkok dengan tuduhan yang tidak beralasan.

Sementara itu, Hong Kong, sebagai salah satu pusat keuangan internasional, di mana setiap pengusaha yang berselisih dengan perusahaan Tiongkok dapat dikenai hukum Komunis Tiongkok.

Dalam menghadapi ancaman kejatuhan Hong Kong yang akan segera terjadi, berbagai kalangan masyarakat Hong Kong, termasuk kalangan bisnis melakukan aksi protes. Mulai dari pelajar, guru, kamar dagang dan pengacara, serta berbagai kelompok di Hong Kong turun ke jalan menuntut penarikan rancangan undang-undang ekstradisi Tiongkok.

Dalam menghadapi opini publik yang bergejolak, pemerintahan Carrie Lam yang diusung Komunis Tiongkok bergeming dengan sikap tidak berubah.

Pada 9 Juni 2019 lalu, jutaan rakyat Hong Kong turun ke jalan. Namun, Carrie Lam tetap bersikeras mendorong amandemen RUU ekstradisi pro-komunis Tiongkok. Pada 12 Juni 2019, pembacaan kedua “Ordonansi Pelanggar Hukum” dilanjutkan di Dewan Legislatif.

Pada 12 Juni 2019, puluhan ribu orang Hong Kong berkumpul di depan gedung Dewan Legislatif mengadakan protes damai. Namun, polisi Hong Kong menembaki demonstran yang tidak bersenjata, menindas warga dengan tembakan gas air mata dan semprotan merica, peluru karet dan bean bag round.

Tindakan represif pemerintah Hong Kong seketika mengejutkan komunitas internasional, pemerintah Eropa dan Amerika mengutuk pemerintah Hong Kong atas tindakan itu. Namun, tindakan represif itu justeru membuat Orang-orang Hong Kong semakin gigih berjuang.

Pada 15 Juni kemuduian Carrie Lam mengumumkan “penundaan” revisi Undang-undang Pelanggar Hukum, tetapi tidak akan mencabut amandemen RUU ekstradisi.

Mengapa Carrie Lam berani mendorong undang-undang jahat bahkan menindas publik?

Apa dia tidak sadar dirinya telah mengkhianati kepentingan Hong Kong, dan menghancurkan reputasinya dalam catatan sejarah dan bahkan di bawah tekanan opini public, tidak tertutup kemungkinan dia akan ditendang dan dicampakkan oleh tuan besar di belakangnya yakni Komunis Tiongkok?

Siapa dalang di balik RUU ekstradisi

Sebenarnya, pernyataan Carrie Lam untuk menunda amandemen RUU ekstradisi permintaan maaf yang tidak tulus. Semua itu menunjukkan dirinya sudah ditetapkan sebagai boneka komunis Tiongkok.

Dunia luar tidak terkejut dengan peran memalukan pemerintahan Carrie Lam, tetapi banyak spekulasi tentang dalang dibalik badai penolakan amandemen RUU ekstradisi Tiongkok.

Sejak masa Leung Chun-ying – mantan kepala eksekutif Hong Kong 2012-2017- kendali komunis Tiongkok atas Hong Kong telah berubah dari “operasional kotak hitam” menjadi perintah secara terbuka.

Hong Kong Liaison Office – Kantor Penghubung Pemerintah Rakyat Pusat di Wilayah Administratif Khusus Hong Kong disindir orang-orang Hong Kong sebagai “Kaisar”-nya Pemerintah Daerah Administratif Khusus Hong Kong.

Menurut kalangan luar, pemerintah Carrie Lam yang memaksakan RUU ekstradisi itu atas instruksi dari Kantor Penghubung komunis Tiongkok di Hong Kong. Terutama sejak komunis Tiongkok mengingkari komitmennya dalam negosiasi perdagangan Tiongkok-AS pada awal Mei 2019 lalu.

Pada 17 Mei 2019, Hong Kong Liaison Office mengadakan pertemuan kerja, “menginstruksikan” perwakilan Kongres Rakyat wilayah Hong Kong dan anggota komite The Chinese People’s Political Consultative Conference – CPPCC- untuk mendukung revisi Ordonansi Pelanggar Hukum, dan bisa dituntaskan sesuai jadwal.

Wang Zhimin, Anggota Komite Sentral ke-19 Partai Komunis Tiongkok mengatakan bahwa pemerintah pusat dan para pemimpin mendukung pemerintah Hong Kong merealisasikan Ordonansi Pelanggar Hukum.

Instruksi Wang Zhimin setara dengan memberikan tenggat waktu kepada pemerintah Carrie Lam untuk meloloskan RUU ekstradisi. Dengan demikian, pemerintah Carrie Lam akan meloloskan amandemen tersebut meski di hadapan jutaan orang yang turun  ke jalan pada 9 Juni 2019 lalu. Pada unjuk rasa 12 Juni lalu memerintahkan polisi untuk menembak dan menekan para demonstran, bahkan mendefinisikan demonstrasi damai massa sebagai bentuk “kerusuhan.”

Kantor Penghubung Tiongkok di Hong Kong adalah dalang dibalik badai undang-undang ekstradisi Tiongkok ? Kalau bicara levelnya jelas tidak cukup.

Pada 21 Mei 2019, Han Zheng, anggota Komite Tetap Biro Politik Pusat Partai Komunis Tiongkok yang bertanggung jawab atas pekerjaan di Hong Kong dan Makau, mengatakan bahwa Undang-undang ekstradisi Tiongkok sejalan dengan Undang-Undang Dasar.

Dia mengatakan Pemerintah pusat mendukung penuh Pemerintah Hong Kong dan memuji Carrie Lam karena “berani bertanggung jawab.” Pada saat itu, dunia luar mengatakan bahwa pidato Han Zheng mewakili sikap Beijing.

Namun, benarkah Han Zheng adalah dalang di balik RUU ekstradisi Hong Kong?

Pada 21 Mei lalu, Han Zheng, sebagaimana halnya dengan Wang Zhimin selaku Anggota Komite Sentral ke-19 Partai Komunis Tiongkok juga mengumandangkan pidato penting Presiden Xi Jinping saat merayakan ulang tahun pengalihan kedaulatan Hong Kong, menunjukkan bahwa ia dan pemerintah Carrie Lam memahami arah kebijakan “tiga inti” yang digambarkan Xi Jinping untuk Hong Kong.

Meskipun Wang Zhimin, direktur Kantor Penghubung saat ini, dianggap oleh dunia luar sebagai faksi Xi Jinping, dan  Wang Zhimin atau Han Zheng sama-sama menjabarkan secara terbuka atau isyarat bahwa RUU ekstradisi pemerintah Carrie lam itu atas dukungan Xi Jinping. Namun, benarkah badai terkait RUU ekstradisi Pemerintah Hong Kong itu atas kehendak pemerintah Beijing?

Karena dampak eskalasi perang dagang, sulit dipercaya pemerintah Beijing akan menimbulkan masalah lagi dalam situasi yang tidak menguntungkan dan bahkan menimbulkan perang perdagangan ke Hong Kong.

Terlepas dari situasi di Hong Kong saat ini, terutama pernyataan Han Zheng dan pejabat partai lainnya dari Kantor Penghubung, mereka secara sengaja atau tidak mengarahkan biang keladi dari badai RUU ekstradisi ke tingkat tertinggi komunis Tiongkok.

“Kartu Hong Kong” atau “Ranjau Hong Kong”

Sebenarnya, Hong Kong dan Makau telah lama berada di bawah kendali faksi Jiang Zemin, dari Partai Komunis Tiongkok. Jiang Zemin pernah menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Partai Komunis Tiongkok pada 1989 sampai dengan 2002.

Kelompok Koordinasi Sentral untuk Urusan Hong Kong dan Makau telah dipimpin secara berturut-turut oleh Zeng Qinghong, Xi Jinping, Zhang Dejiang dan Han Zheng sejak didirikan pada tahun 2003.

Dengan kata lain, selain lima tahun dipimpin Xi Jinping, Kelompok Koordinasi Sentral untuk Urusan Hong Kong dan Makau selalu berada dalam kekuasaan faksi Jiang.

Selama 40 tahun di masa lalu, Hong Kong selalu menjadi jendela dan saluran paling penting Tiongkok dalam berhubungan dengan asing. Tidak hanya sebagian besar aliran modal luar negeri dari Hong Kong masuk daratan Tiongkok, dana Tiongkok juga sebagian besar keluar dari Hong Kong.

Pada April 2019, Zeng Qinghong, yang dianggap sebagai tokoh pemimpin faksi Jiang, muncul di Jiangxi dan memuji pencapaian politik Xi Jinping. Langkahnya ini ditafsirkan oleh dunia luar sebagai sinyal bahwa Zeng Qinghong telah mencapai kompromi dengan elite tertinggi Komunis Tiongkok.

Namun, dua latar belakang hitam putih Zeng Qinghong yang berkuasa atas Hong Kong dan Makao dalam waktu lama, kemungkinan berhubungan dengan kemunculannya yang misterius dengan situasi Hong Kong.

Dalam kebijakan atas Hong Kong, otoritas Beijing tampaknya hanya melihat manfaat politik dan ekonomi yang sangat besar dari “kartu Hong Kong”, tetapi mereka seakan tidak melihat dengan jelas hukum jahat (RUU ekstradisi-red), mempercepat pengikisan Hong Kong, dan besar kemungkinan memicu ledakan “ranjau” masyarakat Hong Kong.

Ketika menghadapi pemerintah Hong Kong atau rezim Komunis Tiongkok, selama semua orang bisa seperti masyarakat Hong Kong, mengatasi rasa takut, dan dengan berani menyampaikan aspirasinya, mengatakan “tidak” kepada komunis Tiongkok, hati nurani dapat menghancurkan kekuasaan tirani,  dan keadilan pasti dapat mengalahkan kejahatan.

Tekanan opini publik Hong Kong dan keprihatinan masyarakat internasional telah membuat RUU ekstradisi pada dasarnya sudah mati. Namun, mengapa komunis Tiongkok tidak mengumumkan pencabutan hukum jahat, seperti preseden perlawanan Hong Kong 2003, justru membiarkan situasinya berkembang?

Pemerintah Carrie Lam bukan hanya menolak untuk menarik amademen undang-undang ekstradisi, tetapi juga menolak menarik pernyatan “kerusuhan” yang dilabelkan pada demonstran yang berunjuk rasa 12 Juni lalu. Sehingga meningkatkan aksi unjuk rasa rakyat Hong Kong. The Times dan media asing lainnya mengatakan bahwa perjuangan rakyat Hong Kong baru saja dimulai, badai anti-ekstradisi akan terus bergejolak.

Pada 15 Juni lalu, media Hong Kong mengatakan bahwa Han Zheng telah tiba di Shenzhen dan beritndak sebagai komandan Carrie Lam untuk menangani krisis. Fraksi Jiang jelas sangat senang menyaksikan eskalasi krisis Hong Kong, semakin kacau semakin bagus.

Komunis Tiongkok yang berulang kali kalah dalam perang dagang. Situasi di Hong Kong yang terus bergejolak, otoritas Beijing kini sibuk mencari sekutu di Rusia dan negara-negara bekas satelit Soviet-Rusia.

Xi Jinping tidak hanya akan mengunjungi Korea Utara untuk pertama kalinya pada 20 Juni 2019, tetapi juga menyatakan keinginannya untuk berpartisipasi dalam negosiasi Semenanjung Korea sebelum kunjungan tersebut.

Hal ini mencerminkan bahwa pemerintah Beijing secara terbuka akan memanfaatkan “kartu Korea Utara” dalam hal ancaman senjata nuklir sebagai kartu negosiasi dengan Amerika Serikat.

Namun, dari sudut pandang strategis, langkah Beijing ini jelas melompat ke “Kubangan api” faksi Jiang zemin.

Keluarga Kim yang memerintah Korea Utara selalu menjadi pion dari faksi Jiang. Ancaman nuklir Korea Utara juga merupakan “trik usang” faksi Jiang.

Setelah Xi Jinping menjabat, kebijakan terkait Korut menjadi dingin, dan pernah bekerjasama dengan AS pada awal Presiden Trump meluncurkan penghapusan terkait program nuklir Korea Utara.

Saat ini, otoritas Beijing sedang berusaha menggunakan “kartu Korea Utara” untuk menyelamatkan keadaan darurat. Tetapi tak disangka kemungkinan dimentahkan oleh Korea Utara. Karena negara yang dapat diancam dengan senjata nuklir Korea Utara saat ini hanya Tiongkok, Jepang dan Korea Selatan, dan ancaman terhadap Tiongkok adalah yang terbesar.

Terlebih lagi, media AS baru saja melaporkan bahwa Kim Jong-un tidak berencana meninggalkan program nuklirnya. Sementara Presiden Trump telah melihat pemerasan Korut dengan program nuklirnya. Kecil kemungkinan akan kompromi dengan kartu lama yang dimainkan Beijing. Dengan kata lain, “Kartu Korea Utara” saat ini bukan hanya tidak bermanfaat, tetapi sebuah “bom” waktu yang tidak menentu.

Saat ini, otoritas Beijing hanya bisa menyaksikan faksi Jiang menjalankan krisis dari undang-undang ekstradisi Hong Kong. Sementara Beijing yang tergesa-gesa bermaksud memainkan “kartu Korea Utara”ini tampaknya sedang menginjak ranjau demi ranjau dalam kekacauan.

Terutama kemarahan orang-orang Hong Kong yang meletus seperti letusan gunung berapi, tidak hanya menanggapi sejarah pemusnahan komunisme, tetapi juga menghancurkan berbagai rencana faksi Jiang atau pihak berwenang Beijing.

Manusia hanya berencana, Tuhan yang menentukan. Badai UU esktradisi Hong Kong yang semakin sengit tidak akan menjadi chip tawar-menawar dalam pertikaian atau perang dagang komunis Tiongkok. Sebaliknya  akan berubah menjadi guntur musim semi yang mengusir kabut pada publik Tiongkok. Akhirnya menggemakan  lonceng kematian bagi komunis Tiongkok. (Ye Ziming/Jon/asr)