Mengapa Beijing Menasionalisasi Bank Ketiga dalam Hitungan Waktu Tiga Bulan?

Fan Yu – The Epochtimes

Krisis kepercayaan telah mencengkeram Lender atau kreditor regional Tiongkok, ketika Beijing mulai bergerak untuk menasionalisasi lembaga keuangan utama ketigakalinya sejak Mei lalu. 

Bank Hengfeng, pemberi pinjaman regional yang berbasis di Provinsi Shandong, Tiongkok, menerima persetujuan resmi untuk restrukturisasi dengan mengambil lifeline dari entitas yang berafiliasi dengan pemerintah Provinsi Shandong, serta Central Huijin Investment Ltd. Laporan ini disampaikan oleh majalah keuangan Tiongkok, Caixin pada 10 Agustus lalu.

Central Huijin Investment adalah anak perusahaan dari dana kekayaan berdaulat Komunis Tiongkok, China Investment Corp, dan akan memiliki saham kurang dari 20 persen. 

Didirikan pada tahun 2003, misi Central Huijin adalah untuk berinvestasi di perusahaan keuangan besar milik negara atas nama negara, menurut situs webnya.

Dana Bailout  Bank Hengfeng adalah nasionalisasi bank ketiga sejak Mei, dan yang terbesar dalam ukurannya. 

Yang pertama, terjadi pada 24 Mei lalu, ketika Bank Baoshang yang berbasis di Mongolia dinasionalisasi. Bank ini ditempatkan di bawah manajemen China Construction Bank. Dana bailout Bank Baoshang adalah yang pertama dalam waktu 20 tahun terakhir.

Melansir dari The Epochtimes, hanya dua bulan kemudian, Bank Jinzhou di Provinsi Liaoning, Tiongkok, juga dibailout  oleh konsorsium Bank Industri dan Komersial Tiongkok dan dua manajer aset tertekan di Tiongkok.

Pemberi Pinjaman Bermasalah

Hingga berselang beberapa waktu kemudian, nasionalisasi bank jarang terjadi di Tiongkok. Yang menggarisbawahi meningkatnya kekhawatiran di antara regulator, tentang pemberi pinjaman lebih kecil yang berutang, terutama karena ekonomi domestik negara itu melambat.

People’s Bank of China -PBOC- akhir tahun lalu, melakukan peninjauan risiko terhadap bank-bank negara itu. Akhirnya, menetapkan bahwa satu dari 10 pemberi pinjaman telah gagal dalam pengujiannya. Regulator tidak mengambil kesempatan untuk menghindari krisis keuangan domestik. 

Berlangsungnya perang dagang dan melambatnya pertumbuhan ekonomi internasional, telah memperlambat pertumbuhan ekonomi Tiongkok dan kesehatan keuangan bisnisnya. 

Dampaknya, pada berkurangnya kemampuan untuk membayar utang dan menyebabkan lebih banyak wanprestasi skala kecil. Pinjaman bisnis yang buruk ini, sangat merusak Capital Buffer atau modal wajib yang harus dimiliki di bank-bank regional dan lokal Tiongkok.

Bank Hengfeng juga gagal dalam analisis pengungkapan atau DISCLOSURE tentang laporan keuangannya selama dua tahun berturut-turut, termasuk pada tahun 2018. Dalam periode terbaru yang diungkapkan, Bank Hengfeng memiliki 1,2 triliun yuan total aset pada akhir 2016, menurut laporan tahunannya.

Dana bailout juga mempengaruhi investor luar negeri. United Overseas Bank Ltd, pemberi pinjaman multinasional Singapura, telah membeli 13 persen kepemilikan di Hengfeng pada tahun 2008. Tidak jelas bagaimana kepemilikan saham United diperlakukan dalam restrukturisasi bank itu.

Ada lapisan lain untuk bailout Hengfeng Bank. Bank itu tidak asing dengan kontroversi. Dua mantan petinggi eksekutifnya telah diselidiki karena dugaan penggelapan dana. Jiang Xiyun, yang menjabat sebagai Chairman Bank Hengfeng dari 2008 hingga 2013, didakwa menggelapkan 750 juta yuan indeks saham bank.

Cai Guohua, penerus Jiang di pucuk pimpinan bank, tidak bernasib lebih baik. Cai sendiri berada dalam penyelidikan  karena kasus penggelapan dana.

Selain itu, Bank Hengfeng adalah bailout bank Tiongkok kedua — Bank Baoshang adalah yang lain — terkait dengan miliarder Tomorrow Group, milik Xiao Jianhua, yang memegang saham di ratusan bank dan lembaga keuangan Tiongkok. 

Xiao — yang ditahan di Beijing pada tahun 2017 lalu — diketahui menangani transaksi keuangan untuk elit pejabat Komunis Tiongkok dan kerabat mereka. 

Menurut laporan The Epoch Times sebelumnya, Xiao paling dicari oleh pemerintahan Xi Jinping untuk membantu dalam penyelidikannya terhadap korupsi pejabat tinggi, terutama yang terkait dengan mantan pemimpin rezim Komunis Tiongkok, Jiang Zemin.

Risiko Sistemik

Pada akhir Maret, jumlah Non Performing Loan -NPL- atau kredit bermasalah di bank-bank komersial Tiongkok mencapai tertinggi dalam 16 tahun. 

Kredit bermasalah berjumlah 2,16 triliun yuan, atau 1,8 persen, menurut statistik resmi yang dikeluarkan oleh Komisi Pengaturan Perbankan dan Asuransi Tiongkok.

Angka Kredit bermasalah yang sebenarnya, menurut sebagian besar pakar, kemungkinan lebih tinggi dari metrik resmi yang dilaporkan.

Terlepas dari latar belakang itu, otoritas Komunis Tiongkok mendorong bank untuk meningkatkan pinjaman mereka ke usaha kecil dan menengah. Tujuannya untuk membantu memerangi perlambatan pertumbuhan ekonomi. 

Selain itu, regulator telah menyusun undang-undang mengurangi celah bagi bank untuk menyembunyikan kredit macet mereka. 

Salah satu contoh adalah memaksa bank untuk menandai semua pinjaman lebih dari 90 hari lewat jatuh tempo sebagai kredit bermasalah, terlepas dari kualitas jaminan yang mendasarinya.

Semua ini berarti bahwa bank akan dipaksa untuk mengungkapkan masalah kesehatan dan likuiditas mereka yang sebenarnya, mempercepat setiap bailout pemerintah yang diperlukan sebelum masalah sistemik meluas terjadi.

Alicia García Herrero, kepala ekonom Asia-Pasifik untuk bank investasi Prancis, Natixis, kepada Financial Times pada 9 Agustus mengatakan, tentu saja, ada risiko sistemik.  

Alicia  bertanya, Apakah Anda mengetahui berapa banyak bank yang telah menghubungkan pinjaman antar bank dengan Bank Hengfeng? Menurut Alicia, pada intinya adalah kreditor lainnya mengetahui adanya risiko sistemik dan tidak ingin meminjamkan kepada mereka. (asr)