Coronavirus Wuhan Menularkan Rasa Takut dan Penularan Lainnya, Kita Tak Mengutuk Orang-orang yang Menderita

oleh James Gorrie

Penyebaran Coronavirus yang cepat adalah momok menakutkan. Penularan ini tak mungkin diabaikan sebagai sesuatu yang hanya terjadi nan jauh di sana yakni di Tiongkok. 

Tak diragukan lagi, setiap orang di mana pun berada saat ini mengkhawatirkan wabah ini. Kini kasus Coronavirus ada di mana-mana. Dunia sudah melewati masa isolasi geografis.

Terlebih lagi, foto-foto jenazah yang terinfeksi tanpa pengawasan di koridor rumah sakit dan jalan-jalan kota di Tiongkok. Anehnya tidak ada orang yang empati. Foto-foto tersebut sangat mengguncang emosi. Itu bukan hanya metaforis. Naluri untuk bertahan hidup, termanifestasi dalam sindrom fight-or-flight, adalah bagian nyata dan diperlukan untuk menjadi seorang manusia.

Reaksi semacam itu mungkin juga menggoda beberapa orang untuk mengambil mentalitas “salahkan saja Tiongkok.” 

Bahkan kita mungkin berusaha membohongi diri sendiri dan mengatakan bahwa wabah itu sebenarnya hanyalah masalah Tiongkok.

Itulah mengapa Coronavirus dapat menjadi pintu gerbang untuk memicu penyakit lain yang mengganggu kondisi manusia.

Dan mengapa tidak?

Dengan masa inkubasi yang panjang, sangat menular dan tanpa gejala. Coronavirus merupakan katalis yang sempurna untuk memicu penularan lainnya yang berbahaya bagi manusia yaitu rasa takut, amarah, dan prasangka.

Rasa Takut yang Dapat Dibenarkan

Pada tingkat tertentu, rasa takut, amarah, dan prasangka dapat dimengerti. Dalam beberapa kasus, semua reaksi itu bahkan masuk akal. Tetapi menganggap semua reaksi itu sebagai cara memandang dunia — atau memandang  saudara dan saudari kita di Asia dengan cara yang meremehkan dan tidak manusiawi — akan menjadi ketidakadilan moral yang besar.

Namun demikian yang pasti, melalui  Coronavirus, rasa takut adalah respons yang masuk akal.  Coronavirus adalah hukuman mati yang potensial bagi orang yang tertular. Tidak ada ruang untuk angan-angan di sini.

Dan jujur ​​saja. Rasa takut tak hanya masuk akal dalam hal ini; Rasa takut adalah unsur bawaan dari komposisi kita. Memang, rasa takut adalah respons yang diperlukan, mekanisme pelestarian diri. 

Tanpa rasa takut, seseorang masuk ke sarang singa. Dalam banyak kasus akan dilahap oleh singa.

Kuncinya adalah mengendalikan rasa takut, dan tidak membiarkan rasa takut mengendalikan kita atau mendefinisikan kita sebagai manusia. 

Kita harus menyalurkan rasa takut kepada tindakan yang disengaja dan positif, mengarah pada penyelesaian tantangan yang berpotensi global ini. Kita tidak boleh dilumpuhkan oleh rasa takut atau membiarkan rasa takut memanusiakan kita.

Amarah Tanpa Berdosa

Terlebih lagi, meskipun fakta-fakta dari wabah Coronavirus masih muncul, jelas bahwa kepemimpinan  Komunis Tiongkok gagal bertindak untuk mengendalikan penyakit ini. 

Rezim Komunis Tiongkok menunda bahkan secara terbuka mengakui atau merespons wabah tersebut selama sebulan atau lebih. Ini adalah satu lagi demonstrasi tragis di garis panjang kegagalan bencana dan konsekuensi mematikan kediktatoran komunis. 

Juga, kita mengetahui dari laporan yang dapat dipercaya di Tiongkok bahwa sejak awal wabah ini disembunyikan. 

Kebetulan ada bukti yang dapat dipercaya, meskipun tidak terlalu meyakinkan.  Coronavirus itu bersumber dari laboratorium Kanada. Kemudian dicuri oleh mata-mata Tiongkok dan dibawa ke Laboratorium Nasioanl Keamanan Hayati.  Satu-satunya laboratorium senjata biologi yang canggih milik Tiongkok di Wuhan untuk pengembangan lebih lanjut. 

Laboratorium itu hanya berjarak sekitar  32 kilometer dari pasar terbuka, yang merupakan tempat penyebaran Coronavirus.

Itu berarti bahwa rezim Komunis Tiongkok, baik secara tidak sengaja atau sengaja, melepaskan senjata biologis Coronavirus kepada rakyatnya sendiri dan dunia. 

Dalam salah satu kasus itu, Partai Komunis Tiongkok layak menerima semua kecaman dan amarah yang ditujukan kepadanya.  Komunis Tiongkok adalah rezim mengerikan yang melakukan satu lagi kejahatan mengerikan, di antara sekian banyak lainnya terhadap kemanusiaan.

Pertahankan Prasangka dalam Perspektif

Prinsip perspektif yang sama berlaku untuk prasangka. Ini terutama berlaku untuk prasangka rasial.

Pikiran dan emosi prasangka menjadi terlalu mudah bagi kita — ya, kita semua. Pikiran dan emosi prasangka juga merupakan aspek sifat manusia yang harus diakui dan dijaga dalam perspektif yang tepat. 

Jelas, pikiran dan emosi prasangka tidak membutuhkan ancaman pandemi mematikan untuk memicu emosi prasangka pada orang, tetapi itu adalah pengaruh yang sangat kuat, bukan?

Tetapi itu tidak berarti bahwa semua prasangka salah atau tidak pada tempatnya. 

Seorang Yahudi Berlin pada tahun 1938, misalnya, mungkin dengan tepat baginya menganggap bahwa siapa pun yang mengenakan seragam Nazi menimbulkan risiko yang mengancam jiwa. 

Tidak ada orang Yahudi yang perlu “mengenal orang” dalam seragam Nazi, seragam Nazi itu sendiri sudah cukup mewakili siapa orang itu, apa yang diyakini oleh orang itu atau apa yang ingin dilakukan orang itu terhadap orang Yahudi. Dalam konteks itu, prasangka adalah penyelamat.

Tetapi prasangka terhadap seluruh ras Tionghoa hanya karena penyakit ini muncul di Tiongkok adalah salah dan tidak pada tempatnya. Kita tidak mengutuk orang-orang yang menderita. Kita membantu orang-orang  yang menderita.

Keberanian dan Kasih Sayang Juga Menular

Penangkal rasa takut dan prasangka adalah keberanian dan kasih sayang. Itu berarti berpikir dan bertindak melalui bagian yang lebih baik dari sifat kita. Keberanian adalah satu, belas kasih adalah yang lain. ‘

Kita menemukan keberanian dan belas kasih dari dalam diri kita sebagai manusia, dan melalui iman kepada Sang Pencipta yang memiliki belas kasih kita dan Sang Pencipta yang lebih besar dari dunia dan semua yang ada di dalamnya.

Hal yang sangat ironis mengenai rasa takut, terutama rasa takut yang mematikan, adalah bahwa tanpa itu, kita tidak perlu keberanian. 

Apa gunanya keberanian untuk mengatasi rasa takut, kadang-kadang untuk kepentingan diri kita sendiri, tetapi lebih sering untuk kepentingan orang lain. Keberanian akan mengatasi rasa takut, jika kita mengizinkannya.

Itulah sebabnya belas kasih sering disertai dengan keberanian — perawat yang merawat  orang yang sakit harus cukup berani untuk melakukan apa yang dilakukannya. 

Perawat  mengatasi rasa takutnya agar dengan penuh kasih sayang merawat manusia lain, meskipun dirinya sendiri berisiko.

Syukurlah, keberanian dan kasih sayang juga sangat menular di antara manusia.

 Kebijaksanaan dan Kejelasan Tujuan

Pertama-tama kita harus bertindak dengan kebijaksanaan dan kejelasan tujuan untuk tidak hanya menghentikan momok yang ditakuti ini, tetapi untuk menyalahkan pemiliknya. Bukan menyalahkan orang yang dilahirkan sebagai orang Asia.

Namun demikian, belas kasih tidak berarti kita tidak mengambil semua tindakan yang diperlukan untuk mengatasi wabah ini. Kita harus memiliki keberanian untuk melakukan apa yang perlu.

 Apakah pembatasan perjalanan ke dan dari Tiongkok diperlukan? Ya.

 Apakah karantina dapat dibenarkan? Dibenarkan.

Namun demikian, belas kasih dan martabat manusia bagi mereka yang menderita. Dan sama pentingnya, kita memperlakukan mereka yang berasal dari ras Asia, anggota keluarga kita, tetangga kita, teman, rekan kerja, atau siapa pun — dengan perikemanusiaan dan bermartabat, sama seperti kita ingin diperlakukan.

Dan bagaimana dengan mereka yang bertanggung jawab atas potensi pandemi global ini?

Kita tahu bahwa kesombongan dan ketakutan menguasai hati dan pikiran orang-orang jahat bahwa Partai Komunis Tiongkok yang telah meninggalkan perikemanusiaannya selama beberapa tahun atau dekade berkuasa dan berlimpah kemewahan. 

Wabah ini hanyalah satu lagi buah pahit dari hasil panen beracun yang ditebarkan oleh rezim  Komunis Tiongkok kepada rekan-rekan sebangsanya, dan berpotensi bagi seluruh dunia.

Ekspresikan kecamanmu secara benar, keras dan pasti. Tetapi terlepas dari asal atau penyebabnya, Coronavirus ada di sini. 

Karena itu, marilah kita berani, berbelas kasih, dan garang dalam menggempurnya  dan mengalahkannya. 

Tetapi marilah kita tak melangkah di jalan antagonisme rasial yang sudah berlangsung begitu lama dan suram yang merupakan bagian sejarah manusia. (Vv/asr)

James Gorrie Adalah penulis buku The China Crisis. Dia adalah seorang penulis dan pembicara yang berbasis di California Selatan, Amerika Serikat.

Tulisan ini sudah diterbitkan di The Epochtimes.  

FOTO : Seorang petugas pengawas kesehatan menggunakan alat untuk memeriksa suhu penumpang di dekat konter imigrasi di bandara Internasional Hong Kong, pada 4 Januari 2020. (AP Photo / Andy Wong)