Pernyataan Pompeo Soal Muslim Uighur dan Falun Gong Dapat Dukungan

Pernyataan Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo saat menghadiri kegiatan bertepatan Maulid Nabi Muhammad SAW yang diselenggarakan oleh Gerakan Pemuda Ansor di Jakarta, Kamis 29 Oktober 2020  mendapat dukungan dan apresiasi dari sejumlah kalangan, diantaranya dari Himpunan Falun Dafa Indonesia (HFDI) dan Global Human Right Effort (GHURE). Dalam pidatonya, Pompeo secara terbuka menyinggung nasib Muslim Uighur dan Falun Gong di Tiongkok.

Pompeo menyebut perlakuan komunis Tiongkok terhadap Muslim Uighur merupakan ancaman bagi kehidupan umat beragama. “Sikap Partai Komunis Tiongkok yang memerangi umat manapun seperti Islam, Kristen, maupun Falun Gong merupakan ancaman bagi kebebasan beragama,” ungkap Pompeo dihadapan para tokoh Nahdatul Ulama dan GP Ansor pada saat itu.

Pompeo juga membeberkan sejumlah pemaksaan yang dilakukan penguasa komunis Tiongkok terhadap kaum muslim Uighur dengan dalih pemberantasan terorisme seperti penahanan paksa, kamp pelatihan, melakukan sterilisasi, disuruh makan babi pada bulan Ramadhan dan merusak pemakaman.

Apa yang dikatakan oleh Pompeo, menurut Koordinator GHURE Fadjar Pratikto, adalah sesuai dengan fakta yang sebenarnya terjadi di Tiongkok. 

“Itu memang faktanya, selama ini rejim komunis Tiongkok telah menindas umat beragama. Tidak hanya terhadap kaum muslim Uighur di Xinjiang Barat tapi juga terhadap penganut Gereja Rumahan, kaum Tibetan dan pengikut Falun Gong,” tandas Fadjar Pratikto dalam rilisnya  Minggu 1 November 2020.

Lebih jauh, Fadjar mengungkapkan bahwa berdasarkan laporan tahunan sejumlah lembaga hak asasi manusia seperti Komisi HAM PBB dan Amnesty International, sangat jelas pelanggaran HAM yang dilakukan oleh penguasa komunis Tiongkok terhadap kelompok-kelompok yang disebutkan Pompeo itu. Pemerintah Tiongkok dianggap telah melakukan kejahatan pengambilan paksa dan jual beli organ tubuh kelompok minoritas seperti muslim Uighur dan Falun Gong (Falun Dafa). Tuduhan tersebut pernah disampaikan oleh juru bicara China Tribunal, Hamid Sabi dalam pertemuan Komisi HAM PBB pada 24 September 2019 lalu.

Bagi Fadjar, tidak ada bias dalam kasus penganiayaan muslim Uighur dan Falun Gong di tengah konflik AS-Tiongkok, sebagaimana dikuatirkan oleh Yahya Cholil Staquf, Katib ‘Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Sebab informasi dan bukti-bukti atas kasus penganiayaan terhadap kaum  muslim Uighur dan Falun Gong yang dilakukan penguasa Tiongkok sudah sangat jelas dan terang benderang. 

Pernyataan Pompeo hanya mempertegas fakta yang terjadi di Tiongkok. Dan, rejim komunis Tiongkok sudah pasti sangat menutupi boroknya ini.

Untuk itu, Fadjar Pratikto meminta PBNU untuk membuka mata dengan mengorek informasi dari sisi para korban, dari pihak muslim Uighur, pengikut Falun Gong, kaum Tibetan dan penganut Gereja Rumahan (Katolik), serta laporan organisasi internasional yang menaruh perhatian pada masalah HAM.

 “Jangan percaya pada informasi soal kejahatan kemanusiaan ini dari sumber resmi pemerintah Tiongkok yang sudah pasti telah melewati proses filterisasi. Partai Komunis Tiongkok sudah biasa melakukan kebohongan publik, memutar balikan fakta yang sebenarnya,” tukasnya.

Falun Gong Membenarkan

Pernyataan Pompeo juga diamini oleh Ketua Himpunan Falun Dafa Indonesia (HFDI) Gatot Machali. Sebab menurutnya, faktanya penindasan terhadap Falun Gong di Tiongkok oleh rejim jahat PKT sampai detik ini memang masih terus berlangsung dan telah memasuki 21 tahun, terhitung sejak 20 Juli 1999 saat dimulainya kampanye penindasan yang sistemik dan masif oleh mantan Sekjen PKT (mantan Presiden Tiongkok) diktator Jiang Zemin.

Ketua Himpunan Falun Dafa Indonesia (HFDI) Gatot Machali di Depan Kedubes RRT di Jakarta 18 Juli 2020

Gatot mengatakan, Hampir tiap hari dilaporkan terjadi penangkapan sewenang-wenang, dan sebanyak ratusan ribu praktisi saat ini masih terancam jiwanya mendekam di penjara. Praktisi Falun Gong dipaksa agar melepas keyakinannya terhadap prinsip “Sejati Baik Sabar.” Jika praktisi tidak mau menandatangi surat pernyataan maka disiksa secara brutal, dihukum kerja paksa, dimasukkan rumah sakit jiwa, pencucian otak, dibius dengan obat antipsikotik, praktisi wanita ditelanjangi dimasukkan kedalam sel narapidana untuk diperkosa beramai-ramai, dan penyiksaan secara keji lainnya. 

Puncak dari penganiayaan yang paling mengerikan dan telah menjadi sorotan dunia internasional, adalah perampasan organ tubuh secara hidup-hidup dari puluhan ribu praktisi Falun Gong untuk kebutuhan industri transplantasi di Tiongkok, yang melibatkan pejabat PKT sampai ke tingkat Politbiro.

Kejahatan tersebut bahkan sudah dibuktikan, di Pengadilan Tribunal Independen di London pada 17 Juni 2019 yang diketuai oleh Sir Geoffrey Nice QC, yang bekerja di Pengadilan Pidana Internasional dan yang  mengeluarkan keputusan terakhir dan menyimpulkan: “Pengambilan organ secara paksa telah dilakukan selama bertahun-tahun di seluruh Tiongkok dalam skala yang signifikan dan praktisi Falun Gong telah menjadi sumber utama pasokan organ”

“Suatu penindasan HAM  genosida yang paling keji terhadap sekelompok spiritual yang ingin menjadi Sejati Baik Sabar, yang tidak tertarik dengan politik dan kekuasaan duniawi. Sebuah kejahatan kemanusiaan yang belum pernah ada sebelumnya di planet in,” tutur Gatot. 

Saking jahatnya, menurut Gatot,  PKT bukan saja sebagai ancaman bagi seluruh umat beragama, bahkan melalui kebohongan terhadap munculnya wabah Covid 19 menimbulkan pandemi global. “PKT adalah sebagai biang kekacauan dan ancaman bagi seluruh umat manusia,” imbuh Gatot.

Konflik Laut China Selatan

Selama kunjungannya ke Indonesia, Mike Pompeo disambut Presiden Joko Widodo dan Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi. Agenda yang dibawa Pompeo adalah membahas visi Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka. Selain mengungkap penindasan pemerintah Tiongkok terhadap kelompok minoritas, pada kesempatan itu pula, Pompeo juga menegaskan sikap AS yang menolak klaim Partai Komunis Tiongkok atas Laut China Selatan.

Amerika yang taat hukum katanya menolak klaim melanggar hukum yang dilakukan oleh Partai Komunis China di Laut China Selatan, seperti yang terlihat jelas dari kepemimpinan berani Indonesia tentang masalah ini di dalam ASEAN dan di PBB. “Ini adalah tujuan yang patut dikejar dalam pengaturan multilateral, dan pemerintahan Trump sangat mendukung hal ini,” ujar Pompeo.

Pompeo juga menyebut Indonesia sebagai negara yang memainkan peran penting di kawasan. Sehingga, kata dia, AS benar-benar ingin menjalin hubungan yang baik dengan Indonesia. “Kami menyambut baik teladan yang telah ditunjukkan Indonesia dengan tindakan tegas untuk menjaga kedaulatan maritim di sekitar Kepulauan Natuna,” ujar Pompeo. Ia meminta Indonesia terus meningkatkan keamanan maritimnya di Natuna. Sebab perairan Natuna merupakan rute perdagangan yang sibuk.

Pompeo juga menyampaikan rasa terima kasih dari Presiden AS Donald Trump atas persahabatan yang dijalin dengan Indonesia. “Atas nama Presiden Trump dan rakyat Amerika, kami berterima kasih atas ikatan persahabatan dan kebebasan Indonesia. Mari terus bekerja untuk memperkuat ini,” ungkapnya.

Pompeo juga menyoroti persoalan birokrasi dan korupsi. Ia menyatakan bahwa birokrasi yang sederhana dan bebas korupsi merupakan hal yang harus diciptakan apabila ingin mendongkrak investasi, termasuk dari perusahaan AS. “Kami berharap Anda (Indonesia -red) akan terus mengambil langkah untuk memotong birokrasi, memberantas korupsi, dan meningkatkan transparansi,” ujar Pompeo.

Selain itu, kata Pompeo, sektor swasta juga membutuhkan insentif yang tepat sebelum berinvestasi. Ia meminta Indonesia tetap melanjutkan agenda reformasi fiskal. Bagi Pompeo, hampir semua negara yang ingin menciptakan kemakmuran bagi rakyatnya. Sektor swasta membutuhkan insentif yang tepat sebelum dapat terjun (investasi). Agenda reformasi Indonesia sangat membantu dalam hal ini. (asr)

Keterangan Foto : Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo di Acara yang digelar oleh GP Ansor di Hotel Four Seasson, Jakarta 29 Oktober 2020 (United States Department of State, Indonesian Presidential Press Bureau, Indonesian Ministry of State Secretariat)