Pakar Memperingatkan Penyelarasan Ideologis yang Mendorong Amerika Menuju Totalitarianisme

Petr Svab

Beberapa ahli mengenai ideologi totaliter modern, pembentukan sebuah negara totaliter hampir sempurna di Amerika Serikat karena para aktor sektor publik dan swasta yang paling kuat bersatu di balik gagasan pembenaran untuk tindakan-tindakan memberangus perbedaan pendapat.

Banyak ahli yang sudah memperingatkan mengenai kebangkitan fasisme atau sosialisme di “tanah kebebasan” tersebut, sebagian besar gagasan-gagasan tersebut adalah kabur atau terpecah-pecah, dengan fokus pada peristiwa atau aktor perseorangan. 

Namun demikian, peristiwa terbaru menunjukkan hal itu tampaknya potongan-potongan teka-teki penindasan yang tidak berhubungan, adalah cocok untuk membentuk sebuah sistem komprehensif, menurut Michael Rectenwald, seorang pensiunan profesor seni liberal di New York University.

Tetapi, banyak orang Amerika Serikat, tampaknya, telah tertangkap basah atau bahkan tidak menyadari rezim yang baru terbentuk, karena gagasan para pejabat yang terpilih, birokrat pemerintah, perusahaan besar, akademisi influencer, lembaga pemikir dan lembaga nirlaba, big media, dan bahkan yang tampaknya gerakan-gerakan yang paling mendasar, semuanya itu bekerja bersama menuju suatu tujuan jahat tampaknya tidak masuk akal. Apakah sebagian besar negara terlibat dalam sebuah konspirasi?

Kenyataannya kini sudah terkuak, bahwa sebenarnya tidak ada konspirasi secara besar-besaran yang dibutuhkan — hanya sebuah keselarasan ideologis dan beberapa koordinasi informal, menurut Michael Rectenwald.

Meskipun kurangnya organisasi formal yang menyeluruh, rezim sosialis AS adalah memang totaliter, karena akar ideologinya membutuhkan pemaksaan yang termotivasi secara politik, kata Michael Rectenwald kepada The Epoch Times. 

Kekuasaan rezim sosialis AS adalah tidak mutlak, tetapi kekuatan rezim sosialis Amerika Serikat menjadi semakin efektif karena kekuasaan rezim sosialis Amerika Serikat mengikis nilai, pengawasan, dan keseimbangan terhadap tirani yang didirikan oleh kepercayaan tradisional dan diabadikan dalam pendirian AS.

Dampaknya dapat dilihat di seluruh masyarakat. Orang-orang Amerika Serikat, tanpa memandang pendapatan, demografi, atau status sosial yang dipecat dari pekerjaan, yang dilucuti dari akses ke layanan-layanan dasar seperti perbankan dan media sosial, atau bisnisnya lumpuh karena menyuarakan opini dan kepemilikan politik kepada sebuah kelas bawah politik yang ditunjuk. Akses ke sumber informasi tanpa izin oleh rezim tersebut, menjadi semakin sulit. Beberapa tokoh kekuasaan tersebut dan berpengaruh membuat sketsa langkah berikutnya, memberi label kepada segmen-segmen besar masyarakat sebagai “ekstremis” dan teroris potensial yang perlu “diprogram ulang.”

Sementara permulaan rezim tersebut, tampaknya terkait dengan peristiwa beberapa tahun terakhir — kepresidenan Donald Trump, pandemi virus  Komunis Tiongkok, pengacauan di Gedung Capitol pada tanggal 6 Januari — akarnya sudah ada sejak puluhan tahun lalu.

Apakah Benar-Benar Totaliter?

Rezim totaliter umumnya dipahami sebagai sebuah pemerintahan yang dipimpin oleh seorang diktator yang mengatur ekonomi, menyensor media, dan memadamkan perbedaan pendapat secara paksa. Ini bukanlah masalah di AS, tetapi juga adalah sebuah  kesalahpahaman mengenai bagaimana rezim tersebut berfungsi, demikian literatur mengenai totalitarianisme menunjukkan.

Untuk mengklaim kekuasaan, rezim pada awalnya tidak perlu mengendalikan setiap aspek masyarakat melalui pemerintah.

Adolf Hitler, pemimpin Partai Pekerja Sosialis Nasional di Jerman Nazi, menggunakan berbagai cara untuk mengendalikan ekonomi, termasuk mendapatkan kepatuhan pemimpin industri secara sukarela, melalui intimidasi, atau melalui penggantian para eksekutif dengan loyalis Partai Pekerja Sosialis Nasional.

Sama halnya, rezim yang muncul di AS bergantung pada para eksekutif korporasi untuk melaksanakan agendanya secara sukarela, tetapi juga melalui intimidasi oleh brigade aktivis dan jurnalis online yang berinisiatif untuk meluncurkan kampanye dan boikot hubungan masyarakat yang negatif untuk memajukan struktur masyarakat pilihannya.

Selain itu, Adolf Hitler awalnya tidak mengendalikan penyebaran informasi melalui sensor pemerintah, melainkan melalui brigade preman jalanan ala Adolf Hitler, yang dikenal dengan nama Sturmabteilung atau atau istilah lainnya Brownshirts yang artinya “berkemeja coklat,” yang mana akan mengintimidasi dan secara fisik mencegah lawan-lawan Adolf Hitler berbicara di depan umum.

Siasat ini sejalan dengan upaya-upaya yang sering berhasil untuk “membatalkan” dan “menutup” pembicara publik oleh para aktivis dan pelaku kekerasan, seperti Antifa.

Media yang membangkang di Amerika belum dibungkam oleh pemerintah secara langsung sampai saat ini. Tetapi media yang membangkang ini terhalang dengan cara lain.

Di era digital, media sangat bergantung pada jangkauan dan pertumbuhan pemirsanya melalui media sosial dan mesin pencari web, yang didominasi oleh Facebook dan Google. Facebook maupun Google memiliki mekanisme-mekanisme untuk mengambil tindakan keras terhadap media yang berbeda pendapat.

Google memberikan preferensi dalam hasil pencariannya kepada sumber yang dianggapnya “berwibawa.” Hasil pencarian menunjukkan Google cenderung mempertimbangkan media secara ideologis dekat dengan Google agar lebih berwibawa. Media semacam itu, kemudian menghasilkan fitnahan pada pesaingnya, memberikan pembenaran kepada Google untuk memangkas “otoritas” para pembangkang.

Facebook menggunakan para pemeriksa fakta pihak ketiga, yang mana memiliki keleluasaan untuk memberi label konten sebagai “palsu”  dan dengan demikian mengurangi penonton di platformnya. Hampir semua pemeriksa fakta yang berfokus pada konten Amerika Serikat, adalah selaras dengan Facebook secara ideologis.

Upaya-upaya untuk mendirikan media sosial alternatif telah mengalami lebih banyak lagi kendala mendasar, seperti yang ditunjukkan oleh Parler, yang aplikasi selulernya dihentikan oleh Google dan Apple, sementara perusahaan itu dikeluarkan dari server Amazon.

Sejauh sebuah rezim totaliter membutuhkan sebuah negara polisi, tidak ada hukum di Amerika Serikat yang menargetkan para pembangkang secara eksplisit. Tetapi, ada tanda-tanda yang mengganggu penegakan hukum yang selektif dan bermotivasi politik. Tanda-tanda tersebut kembali ke penargetan Internal Revenue Service (adalah sebuah lembaga yang tercakup dalam Kementerian Keuangan Amerika Serikat dan bertugas menafsirkan dan menerapkan hukum pajak federal) dari kelompok-kelompok Tea Party atau perbedaan perlakuan yang diterima oleh mantan penasihat Donald Trump, yaitu Letnan Jenderal Michael Flynn dan mantan Wakil Direktur FBI Andrew McCabe — keduanya diduga berbohong kepada para penyelidik tetapi hanya seorang yang dituntut. 

Situasi tersebut mungkin menjadi lebih buruk, karena pembatasan-pembatasan tersebut terikat dengan virus Komunis Tiongkok melihat petak-petak yang luas dari perilaku manusia yang biasannya dianggap “ilegal,” yang membuka pintu menuju penargetan politik yang hampir universal.

“Saya pikir cara yang digunakan oleh sebuah negara polisi adalah dengan mengancam para pendukung Donald Trump dan cenderung menggunakan paspor medis untuk melembagakan keefektifan yang setara dengan nilai kredit sosial,” kata Michael Rectenwald.

Sedangkan loyalitas kepada pemerintah dan sebuah partai politik tertentu, memegang peranan penting, itu adalah kesetiaan pada akar ideologis totalitarianisme yang memberikan totalitarianisme pijakan, literatur mengenai subjek tersebut menunjukkan.

Ideologi Totaliter

Unsur “yang menyatukan totalitarianisme sebagai sebuah gabungan unsur-unsur intelektual” adalah ambisi untuk menata ulang masyarakat secara fundamental — “niat untuk menciptakan ‘Manusia Baru,'” jelas penulis Richard Shorten dalam buku  “Modernisme and Totalitarianisme: Rethinking the Intellectual Sources of Nazism and Stalinism, 1945 to the Present.” Kalau kita artikan dalam bahasa Indonesia, Merenungkan Kembali Sumber-Sumber Intelektual Nazisme dan Stalinisme, tahun 1945 hingga Saat Ini.”

Berbagai ideologi telah membingkai ambisi secara berbeda, berdasarkan pada apa yang berbagai ideologi tersebut ditempatkan sebagai kunci transformasi.

Karl Marx, salah satu penulis Manifesto Komunis, memandang kendali ekonomi sebagai yang utama, menggambarkan sosialisme sebagai “seorang manusia yang disosialisasikan, produsen-produsen terkait, secara rasional mengatur pertukaran produsen-produsen terkait dengan Alam, membawa Alam di bawah kendali produsen-produsen terkait, bukannya diperintah oleh Alam karens oleh kekuatan-kekuatan Alam yang buta,” demikian dalam buka Das Kapital Karl Marx.

Adolf Hitler, pemimpin Partai Pekerja Sosialis Nasional di Jerman Nazi, memandang ras sebagai yang utama. Orang-orang akan “bersosialisasi” —yaitu diubah dan disempurnakan — dengan menyingkirkan orang Yahudi dan orang lain yang dianggap ras  “lebih rendah” dari masyarakat, klaim Adolf Hitler.

Yang paling dominan di antara ideologi saat ini, berasal dari apa yang disebut “teori kritis,” di mana masyarakat yang disempurnakan ditentukan oleh “ekuitas”, artinya penghapusan perbedaan pendapatan untuk orang-orang dalam kategori demografis  yang dianggap terpinggirkan secara historis. Tujuan tersebut dicapai dengan cara menghilangkan “supremasi kulit putih” yang selalu ada, namun para ideolog saat ini mendefinisikannya.

Sementara ideologi semacam itu, biasanya menganjurkan kolektivisme, menyerukan penyatuan nasional atau bahkan penyatuan internasional di balik agenda ideologi semacam itu, mereka adalah elitis dan diktator dalam praktiknya, karena mereka menemukan umat manusia tidak pernah cukup “sadar untuk mengikuti agenda mereka secara sukarela.

Dalam nubuat-nubuat Karl Marx, revolusi seharusnya terjadi secara spontan. Namun revolusi tidak pernah terjadi, memimpin Vladimir Lenin, Pemimpin Uni Soviet yang pertama, untuk menyimpulkan bahwa revolusi membutuhkan kepemimpinan.

“Gagasan tersebut adalah bahwa anda memiliki beberapa pihak yang tercerahkan… yang memahami masalah proletariat lebih baik daripada yang dilakukan proletariat dan 

menggembalakan mereka melalui revolusi yang mereka butuhkan untuk menjadi lebih bagus,” jelas James Lindsay, demikian penulis buku berjudul “Cynical Theories: How Activist Scholarship Made Everything about Race, Gender, and Identity—and Why This Harms Everybody.” Yang mana kalaui kita artikan dalam bahasa Indonesia berarti, Teori yang Sinis: Bagaimana Keserjanaan Aktivis Membuat Segala Sesuatu mengenai Ras, jenis kelamin, dan Identitas — dan Mengapa Hal Ini Membahayakan Semua Orang.”

Unsur-unsur dasar intelektual ini dapat ditemukan dalam banyak kekuatan politik ideologi saat ini, dari neo-nazi dan anarko-komunis, hingga progresif dan sampai batas tertentu bahkan neoliberal dan neokonservatif, demikian James Lindsay mengakui.

“Inilah mengapa anda melihat begitu banyak orang pada saat ini mengatakan bahwa itu adalah satu-satunya   jawaban, yang adalah kembali sepenuhnya ke liberalisme klasik atau penolakan sepenuhnya liberalisme yang sepenuhnya cenderung fatal untuk menciptakan progresivisme, neoliberalisme, dan lain-lain,” kata James Lindsay.

Itu tidak berarti bahwa ideologi-ideologi ini secara terbuka mendukung totalitarianisme, tetapi ideologi-ideologi ini pasti mengarah ke sana.

Peta jalan tersebut dapat diringkas sebagai berikut:

1. Ada sesuatu yang secara fundamental dan tidak dapat ditoleransi dengan realitas baru-baru ini

2. Ada sebuah rencana untuk memperbaikinya yang membutuhkan dukungan dari seluruh masyarakat

3. Orang-orang yang menentang rencana tersebut perlu dididik mengenai rencana tersebut sehingga orang-orang yang menentang tersebut menerima rencana tersebut

4. Orang-orang yang menolak bujukan perlu dididik ulang, bahkan menentang keinginan mereka

5. Orang-orang yang tidak akan menerima rencana tersebut perlu disingkirkan dari masyarakat.

 James  Lindsay mengatakan : “Saya pikir itu adalah dorongan umum, Kita dapat menjadikan dunia sebagai seperti yang kita inginkan jika kita semua berada di halaman yang sama dan proyek yang sama. Terus terang, ini adalah sebuah bencana.” Kini tampaknya poin empat dan lima sedang berlangsung.

Mantan eksekutif Facebook Alex Stamos, baru-baru ini melabeli meluasnya mempertanyakan hasil pemilihan umum tahun 2020 sebagai “ekstremisme kekerasan,” di mana  perusahaan media sosial harus memberantas dengan cara yang sama seperti mereka melawan konten rekrutmen secara online dari kelompok teroris ISIS.

“Masalah intinya,” kata Alex Stamos, adalah “kita telah memberikan banyak kelonggaran, baik di dalam media tradisional maupun media sosial, untuk orang-orang memiliki sebuah jangkauan pandangan politik yang sangat luas” dan hal ini telah menyebabkan munculnya “semakin dan semakin radikal” media alternatif seperti OAN dan Newsmax.

Alex Stamos kemudian merenungkan, mengenai bagaimana mereformasi rakyat Amerika Serikat yang telah mendengarkan para pembangkang.

“Bagaimana anda membawa orang-orang tersebut kembali ke arus laporan utama yang berdasarkan fakta dan berupaya membuat kita semua kembali ke realitas konsensus yang sama?” tanya Alex Stamos dalam sebuah wawancara CNN.

“Dan mampukah anda? Apakah itu adalah mungkin?” tambah pembawa acara CNN Brian Stelter.

Logika tersebut adalah sebagai berikut: Donald Trump mengklaim pemilihan umum tersebut dicuri melalui  kecurangan dan pelanggaran hukum lainnya. Hal tersebut belum terbukti di pengadilan dan dengan demikian klaim tersebut adalah salah. Orang-orang menyerbu ke Gedung Capitol Amerika Serikat pada tanggal 6 Januari dan berhasil menerobos, hingga ke dalam Gedung Capitol dan mengganggu penghitungan suara elektoral karena mereka percaya pemilihan umum tersebut dicuri. Oleh karena itu, siapa pun yang mempertanyakan keabsahan hasil pemilihan umum tersebut adalah ekstremis dan berpotensi teroris.

Dengan puluhan ribu pasukan berkumpul untuk mengawal pelantikan Presiden Amerika Serikat terpilih Joe Biden, Senator Partai Republik Steve Cohen baru-baru ini mengatakan kepada CNN bahwa semua anggota penjaga yang memilih Donald Trump adalah “kelompok tersangka” yang “mungkin ingin melakukan sesuatu,” mengacu pada para pemimpin masa lalu di negara-negara lainnya yang “dibunuh oleh rakyatnya sendiri.”

Mantan Direktur FBI James Comey baru-baru ini mengatakan kebutuhan Partai Republik “dibakar atau diubah.” “Mereka menginginkan negara satu partai,” komentar pembuat film konservatif Dinesh D’Souza dalam podcast terbaru. “Bukan berarti mereka tidak menginginkan sebuah oposisi. Mereka menginginkan sebuah oposisi boneka. Mereka ingin Partai Republik yang menuruti apa yang mereka katakan.”

Sama seperti Karl Marx yang menyalahkan penyakit dunia adalah akibat kapitalis dan Adolf Hitler yang menyalahkan orang Yahudi, rezim saat ini cenderung menyalahkan berbagai perubahan urutan “supremasi kulit putih.”

“Usir anggota Kongres Partai Republik yang menghasut supremasi kulit putih yang mengupaya kudeta,” kata Senator Partai Republik Cori Bush dalam tweet baru-baru ini, yang mengumpulkan sekitar 300.000 tanda suka.

Cori Bush mengacu pada anggota parlemen Partai Republik yang pada tanggal 6 Januari, mengajukan keberatan atas hasil pemilihan umum di Arizona dan Pennsylvania. Keberatan mereka dikalahkan dalam pemungutan suara.

“Dapatkah Agen Mata-mata Amerika Serikat Menghentikan Teror Kulit Putih?” Jeff Stein dari Daily Beast bertanya sebuah berita utama baru-baru ini, yang menyimpulkan bahwa seruan untuk “polisi rahasia” untuk mengendus orang-orang Amerika Serikat yang “ekstremis” mungkin akan mendapat perhatian baru”

Di bawah rezim tersebut, tuduhan kecurangan pemilihan umum — secara de facto mempertanyakan legitimasi pemimpin — telah menjadi hasutan terorisme. Youtube (yang dimiliki oleh Google), Facebook, dan Twitter telah melarang konten yang mengklaim pemilihan umum tersebut dicurangi atau melengkapinya dengan label peringatan.

Kepala eksekutif Twitter Jack Dorsey baru-baru ini terekam mengatakan bahwa melarang akun presiden hanyalah permulaan.

Pendekatan ini sangat mirip dengan rezim komunis Tiongkok, yang biasanya menargetkan para pembangkang untuk “menumbangkan” negara atau “menyebarkan desas-desus.”

Apa Alternatifnya?

Jika seruan untuk menata ulang dunia secara radikal pada dasarnya bersifat totaliter, bagaimana keadaan dunia untuk menghindari seruan tersebut? Pertanyaan itu tampaknya merupakan jawabannya sendiri. Jika totalitarianisme secara tidak terpisahkan membutuhkan kesetiaan pada ideologi totalitarianisme, maka totalitarianisme tidak dapat hadir di sebuah masyarakat dengan kurangnya kesetiaan pada ideologi totalitarianisme.

AS didirikan atas dasar gagasan bahwa hak individu adalah anugerah Tuhan dan tidak dapat dicabut. Gagasan tersebut, yang berakar dari kepercayaan tradisional bahwa moralitas manusia berasal dari Yang Ilahi, berdiri sebagai benteng melawan setiap upaya untuk menyerang hak rakyat bahkan untuk kebaikan rakyat itu sendiri.

“Jika anda tidak percaya pada Tuhan yang sebenarnya, anda dapat menempatkan sebuah gagasan Tuhan di masalah tersebut… Kita harus menempatkan beberapa wasit yang di atas dan di luar kemampuan kita sendiri prasangka dan bias untuk memastikan hak-hak semacam ini. … Karena jika tidak, anda memiliki situasi yang sangat mudah ditempa ini, di mana orang-orang dengan kekuasaan dan potensi paksaan, mau tidak mau, dapat menghilangkan dan merasionalisasi penghapusan hak,” kata  Michael Rectenwald. (Vv)

Keterangan Foto : Bendera Amerika berkibar tertiup angin di luar Mahkamah Agung pada 18 September 2020. (Alex Brandon / AP Photo)

Video Rekomendasi :