Hukuman Mati Tak Seharusnya Dihapus (1)

Teroris pelaku pemboman lomba Marathon Boston 2013 lalu Dzhokhar Tsarnaev beberapa waktu lalu dijatuhi hukuman mati (kakaknya Tamerlan Tsarnaev yang sekomplotan ditembak mati saat ditangkap). Meskipun di Amerika Serikat selalu ada suara-suara yang menentang keras hukuman mati, namun kali ini tidak banyak suara yang menentang, mungkin dikarenakan ledakan tersebut terlalu keji, kebanyakan para tokoh yang menentang hukuman matipun enggan bersuara, mungkin karena refleksi dari hati nurani mereka menjadikan mereka membisu.

Saat ini banyak negara di seluruh dunia telah menghapus hukuman mati, terutama di Eropa. Tapi di negara dimana sistem undang-undang dan demokrasi begitu dewasa seperti AS (juga Jepang dan lain-lain) justru masih mempertahankan hukuman mati, jadi pembahasan dan perdebatan pun masih terus berlanjut, dan beberapa tahun terakhir justru merambat ke negara-negara Asia lainnya.

Ledakan Boston menyebabkan 3 orang tewas, termasuk seorang mahasiswi asal Tiongkok. Banyak diantara 264 orang korban luka-luka yang cacat seumur hidup. Seperti Bill Richard sekeluarga, ia sendiri terkena serpihan bom, gendang telinganya robek. Istrinya Denise buta salah satu matanya. Putrinya Jane putus salah satu kakinya. Putranya Henry meskipun tidak terluka, tapi mengalami gangguan mental. Seorang lagi putranya bernama Martin tewas di tempat, usianya baru 8 tahun.

Sebuah keluarga yang harmonis dan bahagia sebelum menonton marathon itu, kini menjadi berantakan, dan betapa sulit hari-hari yang harus dilalui seluruh keluarga yang menjadi penyandang cacat (bahkan meninggal) ini!

Ini hanya satu kasus tipikal, kasus lainnya banyak yang harus diamputasi, yang patah tangan, menjadi buta kedua mata, tuli, lumpuh dan lain-lain. Jka kita uraikan dengan kata-kata, bisa saja selesai dalam sekejap, tapi mereka yang mengalami kekejaman ini harus menderita oleh siksaan kejam akibat ulah manusia ini seumur hidup mereka!

Menghadapi tragedi hidup seperti ini, masih ada orang yang menentang hukuman mati tanpa rasa bersalah, ini membuat masyarakat merasa yang mereka pedulikan bukan keluarga Richard yang menderita cacat karena ledakan itu, bukan para korban yang telah diamputasi dan kehilangan penglihatan dan pendengaran, terlebih lagi bukan para korban tewas; melainkan bagaimana mereka berusaha melindungi nyawa si iblis pembunuh itu untuk menunjukkan betapa mereka sangat “berperikemanusiaan”.

Perilaku yang kerap terlihat pada kaum sayap kiri Barat adalah selalu antusias menyoroti hak seorang terpidana, tanpa mempedulikan berapa banyak orang yang telah mereka bunuh, atau betapa kejam perbuatan terpidana, dan harus menjamin tersedianya fasilitas hidup yang nyaman bagi mereka seperti TV, ruang gym, makanan bergizi selama mereka di penjara. Dan sebaliknya justru acuh tak acuh terhadap para korban yang tak bersalah.

Alasan para penentang hukuman mati di seluruh dunia hampir selalu sama yakni konsep kacau “tidak boleh membunuh orang”, terutama terdapat 4 aspek dalam hal ini. Tapi jika dinilai secara logika yang mendasar, rasional, dan pengetahuan, maka alasan mereka itu pada umumnya tak tahan uji dan sangat lemah.

Alasan pertama: “tidak boleh membunuh orang”

Alasan pertama dari para penentang hukuman mati adalah hukum mengatur bahwa “tidak boleh membunuh orang”, dan “membunuh” untuk menghukum pelaku kejahatan adalah saling bertentangan dengan hukum tersebut. Maksudnya adalah, si pembunuh telah bersalah karena membunuh, tapi kita juga tidak berhak untuk merampas nyawa orang lain (si pembunuh). Nyawa manusia sangat sakral, setiap nyawa patut dihargai, siapapun tidak berhak untuk merampasnya. Alasan inilah yang menjadi landasan teori bagi para penentang hukuman mati.

Tapi alasan ini sangat rapuh. Yang dimaksud dengan “tidak boleh membunuh orang” dalam aspek rasional dan hukum tentunya adalah tidak boleh membunuh orang yang tidak bersalah. Keputusan pengadilan di negara hukum tidak terjadi pada pembunuhan pembalasan “antar pribadi”, melainkan otoritas publik yang mewakili kehendak rakyat untuk menegakkan keadilan bagi sang korban dan menghukum si pelaku pembunuhan. Pada kedua kasus ini secara permukaan sama-sama adalah “mengakhiri sebuah nyawa”, namun sifatnya sama sekali berbeda: yang pertama adalah membunuh yang tak bersalah, dan yang kedua adalah keadilan bagi publik untuk menghukum pelaku. Pelaku yang lebih dulu membunuh orang yang tak bersalah, nilai nyawanya tidak bisa lagi disamakan dengan korban tak bersalah yang telah dibunuhnya.

Jika ini diterima, maka penjara juga tidak lagi bisa memenjara pelaku kejahatan. Karena alasan yang sama bisa digunakan pada logika bahwa “tidak boleh merampas kebebasan orang lain”: Meskipun pelaku kejahatan telah bersalah karena merampas kebebasan atau harta benda orang yang tak bersalah (memperkosa, merampok dan lain-lain), namun orang lain tidak berhak merampas kebebasan si pelaku perampokan atau pemerkosaan. Jika logika ini diterima, maka dunia ini sudah tidak ada lagi hukum, tidak ada lagi prinsip, terlebih lagi tidak ada lagi keadilan. Lalu bukankah seluruh dunia akan menjadi total kacau karenanya?

Kesalahan mendasar dari teori bahwa “siapapun tidak boleh membunuh orang lain” adalah untuk mengaburkan batasan dan karakter antara pelaku kejahatan dengan keputusan otoritas publik. Kaum sayap kiri Barat maupun Timur, selalu berpijak pada moralitas dan kebenaran politik, terutama untuk menunjukkan betapa mereka sangatlah berperikemanusiaan (disini kuncinya!), dan mengabaikan segala bentuk logika dan pemahaman yang paling mendasar. Simpati para kaum sayap kiri terhadap pelaku kejahatan selalu jauh melampaui orang tak bersalah yang justru taat hukum. Inilah perilaku jahat menjungkir balikkan norma kehidupan dan mengacaukan dunia!

Sebenarnya, justru karena adanya hukuman mati, mampu membuat para pelaku kejahatan yang kejam itu (seperti pelaku pemboman lomba Marathon Boston) diadili sesuai hukum, menunjukkan bahwa di tengah masyarakat hukum terdapat prinsip “tidak diperbolehkan membunuh orang tak bersalah”, agar dapat benar-benar melindungi suatu nyawa. Jadi, mempertahankan hukuman mati adalah dengan misi melindungi hidup, metode hukum penting untuk melindungi kehidupan dan prinsip keadilan. (cao changqing/sud/whs/rmat)

BERSAMBUNG

RELATED ARTICLES
- Advertisment -

Most Popular