Diserang Balik Pencuri Ikan, Menteri Susi Tak Menyerah

Kapal Hai Fa yang melarikan diri dari Indonesia (Humas KKP)

Jakarta – Menteri Susi mengatakan pemerintah bersama penegak hukum lainnya terus konsisten memberantas IUU Fishing dengan mengusut tuntas beberapa kasus tindak pidana perikanan kelas kakap. Beberapa diantaranya melakukan serangan balik terhadap pemerintah, namun hal itu tidak menyurutkan semangat dan kerja keras Indonesia dalam memberantas IUU Fishing sebagai kejahatan transnasional.

“Tindak pidana yang saat ini tengah diusut itu melibatkan beberapa perusahaan perikanan yang tergabung dalam empat kelompok besar dan kapal perikanan asing bertonase raksasa,” ujarnya dalam rilisnya di Jakarta, Kamis (17/9/2015).

Perusahaan yang terlibat yakni diantaranya Grup Pusaka Benjina dengan anak perusahaan Pusaka Benjina Resources, Pusaka Benjina Armada, Pusaka Benjina Nusantara, dan Pusaka Bahari. Selanjutnya Grup Mabiru dengan enam perusahaan yaitu Mabiru Industries, Biota Indo Persada, Jaring Mas, Tanggul Mina Nusantara, Samudera Pratama Jaya, dan Pacific Glory Lestary. Kemudian, Grup Dwi karya dengan perusahaannya Dwi Karya Reksa Abadi, Aru Lestari Samudera, Antarticha Segara Lines, dan Avona Mina Lestari. “Dan juga Grup S&T dengan dua perusahaan yaitu Mitra Mina Industri dan Era Sistem Informasindo,” jelasnya.

Selain illegal fishing, perusahaan-perusahan perikanan tersebut juga melakukan tindak pidana lainnya seperti human trafficking, pemalsuan dokumen, tenaga kerja asing tanpa IMTA, pembangunan kapal tanpa izin, penangkapan spesies ikan yang dilindungi, pengadaan ikan yang dilarang di ekspor ke luar negeri, serta mengedarkan ikan yang merugikan sumber daya ikan ke dalam/luar WPP RI. Sedangkan kapal perikanan asing yang tengah di usut adalah kapal milik Sino Indonesia Shunlida Fishing, MV Hai Fa dan Silver Sea 2.

Penanganan kasus lima kapal milik PT. Sino Indonesia Shunlida Fishing di Merauke saat ini statusnya terdakwa mengajukan banding. Tindak pidana yang ditangani Pengadilan Negeri Perikanan Merauke terkait kasus ini yakni menangkap ikan tanpa Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI).

Putusan Pengadilan Negeri Merauke terhadap 5 Kapal SINO ini adalah terdakwa dihukum 2 tahun penjara, denda Rp 1 miliar, subsider 6 bulan kurungan dan 5 Kapal Sino dirampas untuk dimusnahkan, dan satu kapal Sino keputusannya P-19. Sedangkan putusan di Pengadilan Tinggi Ambon adalah membatalkan putusan sebelumnya dan terdakwa mengajukan kasasi.

Selanjutnya, Susi menerangkan perkembangan penanganan kasus MV Hai Fa di mana INTERPOL telah merilis Purple Notice Hai Fa pada 9 September 2015. Konsekuensinya, Purple Notice ini dapat menggerakkan penegak hukum atau masyarakat sipil internasional dari 190 negara untuk mengumpulkan informasi terkait MV Hai Fa yang dapat ditindaklanjuti ke penegakan hukum.

Posisi terakhir, Hai Fa berada di perairan Hongkong. Atas penindakan yang dilakukan, pemilik Hai Fa mengajukan gugatan perdata kepada Menteri Kelautan dan Perikanan. Terkait hal ini, KKP telah menyampaikan bukti tertulis kepada majelis pemeriksa perkara di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan menyiapkan saksi dan ahli untuk diajukan dalam persidangan.

Tak hanya itu, tindak pidana juga melibatkan perusahaan asing Pingtan Marine Enterprise (PME) Ltd yang berkantor pusat di Cina. Perusahaan ini didirikan di Cayman Island dan sahamnya diperdagangkan di NASDAQ, Amerika Serikat. PME diketahui memiliki hubungan kepemilikan, hubungan transaksi, dan hubungan manajerial dengan PT Avona Mina Lestari, PT Dwikarya Reksa Abadi, PT Aru Samudera Lestari, dan PT Antarticha Segara Lines. “Empat perusahaan tersebut tergolong dalam perusahaan yang melakukan pelanggaran berat,” tegasnya.

Perlu diketahui bahwa, hingga saat ini KKP melalui Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) telah menangani 94 kasus tindak pidana di bidang kelautan dan perikanan. Kasus itu terdiri dari 52 kasus KIA dan 42 kasus kapal perikanan ilegal Indonesia. Kasus kapal asing yang ditangani berasal dari Vietnam 33 kasus (33,35%), Filipina 8 kasus (9%), Malaysia 6 kasus (6%), dan Thailand 5 kasus (5%). “Sedangkan kasus pidana kapal Indonesia yang ditangani sebanyak 42,45 persen itu adalah sebetulnya kapal eks asing yang menggunakan bendera Indonesia,” tandas Susi.

RELATED ARTICLES
- Advertisment -

Most Popular