Keterangan Gambar: Seorang pria yang menyuarakan secara damai tentang “Kebebasan Berpendapat” bersama sejumlah rekannya di lokasi perteman Revolusi Yasmin Shanghai ditangkap dan dihajar oleh pihak aparat PKT beberapa waktu lalu. (AP)
Oleh: Hu Ping
Artikel yang diterbitkan situs “thepaper.cn” dari daratan Tiongkok pada 11 September lalu menyebutkan “Sistem Wacana PKT Raih Terobosan Baru: Pejabat Tingkat Tinggi Pertama Kalinya Uraikan Legitimasi PKT”.
Artikel menyebutkan, 9 September lalu di Beijing, Wang Qishan menemui sejumlah politisi dan akademisi dari luar negeri. Kantor berita resmi pemerintah yakni Xinhua News di hari yang sama memuat dialog Wang Qishan mengenai masalah legitimasi partai politik berkuasa yang cukup menarik. Pada 10 September, akun Wechat bernama “Xuexi Daguo” menyatakan, tindakan ini merupakan suatu terobosan penting bagi sistem wacana PKT, ini adalah pertama kalinya seorang pejabat tertinggi di atas Komisi Politbiro PKT menguraikan masalah legitimasi PKT: legal tidaknya partai politik memerintah, tergantung pada prestasi politiknya dan juga dukungan publik.
Artikel itu beranggapan, pembicaraan Wang Qishan tidak lagi mengelak dari konsep “legitimasi ” ini, sinyal yang dilontarkan menunjukkan kepercayaan diri pemerintahan Partai Komunis Tiongkok (PKT), menyimpan kesadaran akan adanya krisis dan kesulitan, tidak boleh terlena pada konsep lama “memenangkan dunia akan menguasai dunia”.
“Legitimasi Partai Komunis Tiongkok berawal dari sejarah, adalah keputusan yang didukung rakyat, adalah pilihan rakyat. Menyelesaikan masalah di Tiongkok dengan baik, harus melihat pada rakyat senang atau tidak, rakyat puas atau tidak, rakyat setuju atau tidak,” kata Wang Qishan.
Menurut Wang Qishan, legitimasi rezim PKT berasal dari: “pilihan sejarah dan pilihan rakyat, prestasi politik, dan dukungan rakyat.”
Mari kita ulas satu persatu:
1. Tidak diragukan kekuasaan PKT diraih dengan angkat senjata. Ini tak bisa dikatakan sebagai pilihan sejarah apalagi pilihan rakyat. Jika tidak, bukankah kita akan mengatakan bahwa 370 tahun lalu, sejarah telah memilih Dinasti Qing (dibaca: Ching) dan rakyat etnik Han memilih penguasa ber-etnik Manchuria?
Suatu kelompok menggunakan senjata menggulingkan kekuasaan lama lalu mendirikan rezim baru. Ini tidak serta merta dengan sendirinya melegalkan rezim yang baru tersebut. Yang berhasil merebut kekuasaan adalah raja, yang gagal merebut kekuasaan adalah penjahat, dan hal ini sangat bertentangan dengan konsep legitimasi. Menurut konsep legitimasi, suatu rezim yang dimenangkan dengan kekuatan militer hanya merupakan rezim peralihan yang sifatnya sementara. Legitimasi rezim tersebut harus dibuktikan lewat proses pemilihan. Rezim PKT dibangun dengan menggunakan kekuatan militer, dan hingga saat ini sama sekali belum melalui proses pemilihan, oleh karena itu sampai detik ini belum bisa dikatakan memiliki legitimasi.
2. Legitimasi prestasi politik. Kita tak bisa menjadikan prestasi politik sebagai kriteria untuk menentukan legitimasi suatu kekuasaan, legitimasi prestasi politik sama sekali tidak bisa disamakan dengan legitimasi kekuasaan.
Pertama, menentukan legitimasi dengan prestasi politik, melanggar definisi dari legitimasi. Tepat yang dikatakan oleh ahli ilmu politik yang juga pakar masalah Tiongkok di AS bernama Lucian W. Pye berkata, “Tidak ada satupun rezim yang begitu bodohnya menjadikan keberhasilan dari kebijakan yang dibuatnya sebagai pondasi bagi legitimasi kekuasaannya, karena inti dari suatu legitimasi adalah terletak pada pengakuan terhadap rezim tersebut tanpa melihat pada penyimpangan dari kebijakan yang ditempuhnya.”
Seperti legitimasi pernikahan, jika tanpa persetujuan kedua belah pihak (di zaman dulu harus disetujui orang tua atau wali dari kedua belah pihak) dengan melalui sejumlah prosedur tertentu, hanya karena pihak pria telah melakukan suatu tindakan yang seharusnya dilakukan oleh seorang suami (identik dengan adanya prestasi politik), tidak berarti kedua belah pihak telah memiliki hubungan pernikahan yang sah. Jika tidak, apa bedanya kawin paksa dan pemerkosaan dengan pernikahan? Sebaliknya, sepasang suami istri yang sah, meskipun salah satu pihak telah menyelesaikan kewajiban sebagai suami ataupun istri dengan baik, selama belum ada proses yang harus dilalui untuk perceraian, maka legitimasi dari pernikahan itu masih tetap ada.
Kedua, legitimasi suatu kekuasaan awalnya ditentukan sumber asalnya dan bukan pada isinya. Seperti instruksi khusus, yang diilustrasikan akademisi AS bernama Dennis H. Wrong, “Bukan dari ‘isi’nya, melainkan dari ‘sumber’ yang menentukan legitimasinya.” Dalam sistem pewarisan, legitimasi kekuasaan berasal dari garis keturunan, dari warisan; pada sistem demokrasi, legitimasi kekuasaan berasal dari pemilihan dan lain-lain.
Mengapa prestasi politik tidak bisa digunakan untuk memastikan legitimasi kekuasaan? Prinsipnya sangat sederhana. Pertama, bagi kekuasaan manapun, memastikan legitimasi adalah syarat utama agar kekuasaannya dapat berjalan dengan normal (kekuasaan yang dijalankan dengan paksaan bukanlah kekuasaan, melainkan kekerasan), dan menilai baik buruknya prestasi politik hanya merupakan suatu hasil yang baru dapat dilihat setelah kekuasaan tersebut berjalan untuk kurun waktu tertentu. Bagaimana mungkin kita bisa menggunakan hasil tersebut untuk menentukan prasyarat sebelumnya? Hanya dalam hal urutan waktu saja sudah tidak memungkinkan. Dengan kata lain, legitimasi kekuasaan harus sudah dipastikan sebelum prestasi politik dari kekuasaan tersebut dicapai, jadi, prestasi politik tidak mungkin menjadi dasar legitimasi kekuasaan itu; oleh sebab itu, tidak ada yang namanya “legitimasi prestasi politik”.
Selain itu, menilai suatu prestasi politik adalah soal pendapat setiap orang yang subjektif, masing-masing berpendapat berbeda, lalu, penilaian siapa yang bisa dijadikan standar? Inilah persoalan ketiga, yang dikatakan Wang Qishan sebagai dukungan dari rakyat, yakni pendapat mayoritas yang dijadikan sebagai standar.
Masalahnya adalah, bagaimana menentukan tingkat dukungan dari rakyat? Maka dibutuhkan pemungutan suara, oleh karena itu dibutuhkan demokrasi. Bisa diliat, hanya dengan pemilihan demokrasi, legitimasi suatu rezim pemerintahan baru bisa dipastikan.
Hal yang harus ditekankan adalah, pemilihan demokrasi harus dibangun di atas kebebasan pertukaran informasi atau dengan kata lain kebebasan berpendapat. Partai komunis pada dasarnya adalah produk dari masyarakat modern, yang tidak berani secara terbuka menyangkal pemilihan demokrasi, tapi justru melarang masyarakat menyatakan pendapat berbeda, melarang masyarakat berdebat secara bebas, bahkan melarang masyarakat untuk mencalonkan diri, inilah yang menyebabkan pemilihan hanya nama saja, membuat masyarakat terpaksa menjadi mesin suara.
Dalam artikel berjudul “Bicara Soal Kebebasan Berpendapat” saya pernah mengatakan, “Hanya suatu rezim yang bisa memenuhi aspirasi rakyat, yang memiliki alasan untuk eksis. Ini adalah tuntutan mutlak, setidaknya, agar masyarakat bisa menyatakan sikap mereka yang sebenarnya terhadap rezim ini tanpa merasa khawatir, dengan kata lain, rezim ini mutlak tidak boleh melarang masyarakat menyatakan pendapat yang bertentangan. Suatu rezim yang berkuasa melarang segala pendapat yang bertentangan dengannya bisa selamanya memastikan “rakyat” akan selalu mendukungnya, karena rezim itu telah menyingkirkan seluruh penentangnya di luar “rakyat” yang ada. Mari dipikirkan, jika suatu rezim bersumpah untuk mengabdi pada rakyat, tapi siapa saja yang masuk dalam kategori “rakyat” dan siapa yang bukan “rakyat” ditentukan sepihak oleh rezim tersebut, sementara rezim ini menetapkan hanya masyarakat yang mendukungnya sebagai “rakyat”, bukankah ini adalah murni penalaran memutar? Seandainya logika ini sah, maka di dunia ini tidak akan ada lagi satupun rezim yang tidak didukung oleh “rakyat”. Dari sini bisa dilihat, suatu rezim hanya bisa membuktikan dan mengukuhkan eksistensinya sah, jika secara mutlak menerapkan kebebasan berpendapat dan mendapatkan dukungan dari mayoritas rakyat. Ini berarti saat mengukuhkan suatu rezim, mutlak tidak boleh melarang kebebasan berpendapat yang menentang, jika dilarang, maka kita akan kehilangan pondasi terakhir untuk mengukuhkan rezim tersebut.”
Masalah pertama dari legitimasi suatu rezim adalah masalah kebebasan berpendapat. Rezim PKT selama ini terus menindas kebebasan berpendapat, jadi kesimpulannya, rezim PKT sama sekali tidak memiliki legitimasi. (sud/whs/rmat)