Keterangan Foto: Kebijakan 1 anak dalam kurun waktu panjang membuat struktur “421”: Sepasang suami istri hanya ada satu anak, ditambah 4 orang manula, struktur seperti ini justru semakin memberi tekanan dan beban hidup yang berat bagi suami istri. Foto: Seorang perempuan membawa anak semata wayangnya. (Wang Zhao/AFP)
Oleh: Hua De
Di dalam buku “9 Komentar tentang Partai Komunis Tiongkok (PKT)” dijelaskan, bahwa salah satu karakter partai komunis adalah “berbohong”. Mulai dari “surga dunia” yang tidak pernah ada sampai kebijakan Keluarga Berencana yang dipropagandakan “banyak keuntungannya”, semuanya adalah pembohongan publik. Dengan tidak berperikemanusiaan, kebijakan 1 anak PKT mendatangkan penderitaan amat sangat mendalam bagi hampir seluruh keluarga Tiongkok pada khususnya dan bagi seluruh masyarakat pada umumnya. Dan rakyat Tiongkok mulai dari anak-anak hingga manula selama ini senantiasa terkungkung di dalam kebohongan dan indoktrinasi PKT.
Kemiskinan Tidak Ada Kaitannya Dengan Populasi Dan Penyebaran Penduduk
Selama puluhan tahun, PKT terus menggunakan berbagai teori menyesatkan untuk mengelabui rakyat. Terus ditekankan bahwa penduduk Tiongkok paling banyak di dunia dan penyebaran penduduk tidak merata, sehingga dalam berbagai bidang tidak mampu menandingi negara maju Barat karena beban penduduk terlalu berat. Lalu bagaimana fakta sebenarnya?
Dilihat dari angka yang mutlak, memang tidak diragukan lagi RRT sementara ini masih merupakan negara dengan populasi tertinggi di dunia. Tapi jika dilihat dari rasio jumlah penduduk dengan luas wilayah negaranya, RRT masih menduduki peringkat 11, jauh di bawah Jepang (posisi ke-2), Inggris (posisi ke-6), dan Jerman (posisi ke-7).
Berbicara soal penyebaran penduduk, hampir seluruh negara di dunia memiliki penduduk yang terkonsentrasi di kota dan dataran rendah, tidak banyak negara yang penduduknya menyebar merata secara ideal. Wilayah Jepang terutama terbentuk oleh 4 pulau besar, dan 80% penduduknya terkonsentrasi pada 4 kota besar yang terletak di dua pulau kecil yakni Honsu dan Kyushu, sementara Hokkaido yang cukup luas wilayahnya justru berpenduduk sangat sedikit. Di Seoul, Korea Selatan, memiliki penduduk lebih dari 10 juta jiwa, atau lebih dari ¼ dari total penduduk Korea Selatan. Demikian juga di Inggris, dengan 70% penduduknya terkonsentrasi di sekitar London di wilayah tenggara dari dataran Inggris.
Dilihat dari bentuk topografi, banyak tempat memang tidak cocok untuk dihuni manusia, seperti padang pasir, Gurun Gobi, tanah beku di wilayah Timur Laut, dan lain-lain. Wilayah pegunungan di RRT mencakup 2/3 wilayahnya, tapi rasio wilayah pegunungan di Jepang bahkan lebih tinggi lagi yakni mencapai ¾ dan banyak tempat merupakan zona gempa vulkanik. Sementara Swiss yang memiliki wilayah pegunungan mencapai 70% justru merupakan negara termakmur di dunia.
Tidak Terapkan “Kebijakan 1 Anak” Populasi RRT Tak Akan “Meledak”
PKT memaksakan penerapan kebijakan “1 anak” pada 30 tahun yang lalu dengan alasan, jika tidak mengendalikan kelahiran dengan ketat, maka di era tahun 2010, penduduk RRT akan melonjak hingga 2 milyar jiwa bahkan lebih. Tapi faktanya, apakah demikian?
Akhir era tahun 90-an lalu, Zeng Yi, seorang pakar populasi dari Beijing University bersama dengan Profesor T. Paul Schultz dari Fakultas Ekonomi di Yale University, melakukan survey terhadap wilayah desa pertanian pada 3 propinsi Tiongkok, yang bertujuan melakukan simulasi kalkulasi dampak “program 1 anak” tersebut terhadap tingkat kelahiran. Hasilnya menunjukkan, meskipun tanpa menerapkan “program 1 anak” pun, setiap keluarga di desa hanya akan menambah kelahiran 0,25 orang anak. Jika “program 1 anak” di desa tersebut yang dimulai di era tahun 80-an, dimulai lebih awal yakni di tahun 70-an, maka setiap keluarga akan berkurang kelahiran 0,2 orang anak. Dalam hal ini, terdapat analisa yang menyatakan, menggunakan patokan jumlah wanita produktif di RRT pada tahun 2012 sebanyak 260 juta jiwa, jika tidak diterapkan “program 1 anak”, meskipun setiap orang wanita menambah kelahiran sebanyak 0,3 orang anak, maka penduduk RRT hanya akan bertambah sekitar 80 juta jiwa. Dibandingkan dengan teori “jika program 1 anak dilonggarkan akan menyebabkan populasi RRT akan bertambah ratusan juta jiwa”, maka sebenarnya angka 80 juta jiwa ini bukanlah angka yang membuat “panik”.
Kritik: Kontroversi “Kelahiran Berencana” Propaganda PKT
Sejak tahun 1981, PKT mulai menggerakkan alat propagandanya secara massive mendoktrin rakyat Tiongkok, “program 1 anak” pun dikatakan sebagai “kebijakan negara” yang sangat menguntungkan bagi negara maupun rakyat. Keuntungannya meliputi mempermudah negara mengumpulkan kas negara, mempermudah ketersediaan lapangan kerja, mempermudah peningkatan kualitas SDM, serta mengoptimalkan pembagian sumber daya dan meningkatkan standar per kapita dan lain-lain.
Komentator media bernama Shi Jiutian berkata, semua ini adalah penipuan. Menurut propaganda PKT, penerapan kelahiran berencana dapat mengurangi biaya negara yang dikeluarkan untuk konsumsi penduduk baru, sehingga mempercepat pengumpulan uang kas. Apakah uang sudah bertambah? Mungkin memang sudah bertambah, tapi tidak bertambah ke dalam kas negara, juga tidak bertambah bagi rakyat, melainkan masuk ke dalam pundi-pundi pribadi para pejabat korup, yang mengambil alih aset negara menjadi “milik pribadi”, sementara masih banyak rakyat yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Sementara PKT mengatakan gerakan ini dapat “meringankan anggaran rumah tangga, serta dapat membuat anggota keluarga lain meluangkan waktu dan tenaga lebih banyak untuk meningkatkan perekonomian keluarga dan kegiatan hiburan dan kesehatan, sehingga dapat menjamin kebahagiaan keluarga dan stabilitas sosial.” Faktanya?
Persaingan masyarakat yang sengit, serta pejabat korup yang memonopoli sumber daya penyediaan rumah dan lain-lain, menyebabkan tekanan hidup yang sangat besar bagi warga di kota, banyak yang kemudian menjadi budak rumah dan budak mobil. Dan kebijakan 1 anak dalam kurun waktu panjang membuat keluarga berubah menjadi struktur “421”, yakni sepasang suami istri hanya ada satu anak, ditambah 4 orang manula (2 pasang ortu), struktur keluarga seperti ini justru semakin memberi tekanan dan beban hidup yang berat bagi suami istri.”
Kritik: Tragedi Kelahiran Berencana, Warga Harus Cermat Menilai PKT
Komentator media bernama Li Linyi berkata, PKT mengadopsi konsep Teori Evolusi, tidak menganggap manusia sebagaimana manusia seharusnya, melainkan menjadikan manusia sebagai mahluk tingkat tinggi yang sangat konsumtif. Di mata PKT, janin tidak dianggap manusia sehingga bisa dibunuh seenaknya dengan aborsi dan induksi laboratorium. Sejak PKT menerapkan program kelahiran berencana ini tak terhitung banyaknya nyawa kecil tak berdosa ini telah melayang.
Pakar populasi Tiongkok bernama He Yafu mengungkapkan, pada 1983 jumlah aborsi memecahkan rekor tertinggi, mencapai 14.370.000 jiwa. Tahun 1991, jumlah aborsi mencapai 14.080.000 jiwa. Jika dianggap setiap tahun aborsi sebanyak 13 juta jiwa, maka selama 35 tahun setidaknya 455.000.000 jiwa janin telah digugurkan. Dan angka ini diyakini masih cukup konservatif.
Penulis lepas bernama Zhuge Mingyang mengatakan, “Merenungkan kembali tragedi kelahiran berencana selama lebih dari 30 tahun ini, yang paling menyedihkan adalah rakyat yang secara rela menerima penindasan PKT, dengan betapa bodohnya merasa melakukan aborsi adalah atas kemauan sendiri, dan bukan atas dasar paksaan. Pemikiran seperti ini juga cukup lumrah di kota-kota besar yang perekonomiannya makmur. Tapi mayoritas warga telah lupa, bahwa disiplin diri sendiri ini sebenarnya ini adalah akibat dari ‘menyembelih ayam untuk menakuti kawanan kera’. Jika bukan karena propaganda setiap hari bahwa berapa banyak orang dipaksa aborsi setiap hari, berapa banyak yang didenda, berapa banyak yang dipecat, saya pikir, umumnya masyarakat tidak begitu ‘sadar’. Jika bukan karena banyak orang masih begitu tertekan dengan masalah kebutuhan pokoknya, berapa banyak orang yang rela menggugurkan kandungannya sendiri?” (sud/whs/rmat)