Hutan (Patche99z/CC SA)
JAKARTA – Sebuah analisis yang dirilis sebelum konferensi iklim PBB atau COP 21 untuk pertama kalinya memetakan dan mengukur karbon yang tersimpan di wilayah adat di bentangan-bentangan terbesar hutan tropis dunia yang tersisa. Analisis menunjukkan bahwa karbon yang terkandung di hutan-hutan tropis di wilayah adat Lembah Amazon, Mesoamerika, Republik Demokratik Kongo (DRC) dan Indonesia setara dengan 168,3 gigaton karbon dioksida (GtCO2) -lebih dari tiga kali gas-gas rumah kaca pemicu perubahan iklim global (52,7 GtCO2) pada 2014.
Jumah ini merupakan 20.1% dari yang tersimpan di atas tanah karbon di seluruh hutan tropis di dunia. Perkiraan ini masih bersifat konservatif karena tidak mempertimbangkan karbon yang tersimpan di wilayah adat di bagian lain di Asia tropis dan Lembah Kongo.
“Meskipun Masyarakat Adat mempraktekkan cara hidup tradisional yang memiliki dampak jauh lebih rendah terhadap hutan tropis ketimbang mengikuti budaya barat,” kata Abdon Nababan, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dalam rilisnya di Jakarta dilansir Jumat (4/12/2015).
Namun menurut dia, untuk mencegah pembangunan ilegal dan melindungi wilayah adat di Indonesia dari penggunaan hutan yang berdampak tinggi seringkali dibatasi oleh kurangnya dukungan hukum dan keuangan, termasuk kurangnya pengakuan atas tanah mereka.
Temuan yang dilaporkan merupakan upaya kolaborasi antara organisasi Masyarakat Adat yang terdiri dari enam kelompok adat dan lembaga penelitian, the Coordinators of the Indigenous Peoples of the Amazon Basin (COICA), the Mesoamerican Alliance of Indigenous Peoples and Forests (AMPB), AMAN. Lembaga lain yang turut terlibat adalah the Network of Central African Indigenous and Local Peoples (REPALAC); Woods Hole Research Center; dan Environmental Defense Fund. Ford Foundation yang mendanai upaya ini.
Lebih dari 9% persen dari hutan tropis di Lembah Amazon, Mesoamerika, DRC dan Indonesia mengandung 76,4 GtCO2 (yang setara dengan 1,5 kali total emisi gas rumah kaca di dunia pada tahun 2014) dianggap sangat terancam karena berada di wilayah adat yang kurang mendapat pengakuan hukum. (asr)