Pertarungan dan Kepentingan Politik Buat Elit Lupakan HAM

Ilustrasi protes pelanggaran HAM : praktisi Falun Gong memprotes pengambilan organ rekan mereka di Tiongkok (Epochtimes)

JAKARTA – Kegaduhan politik membuat elit politik Indonesia melupakan agenda pemenuhan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Bahkan pertarungan kepentingan dan masifnya politik transaksional antar-para pemegang kekuasaan di tingkat elit, telah berdampak pada memburuknya perlindungan hak asasi manusia dalam setahun terakhir.

“Situasi ini setidaknya tercermin dari tidak adanya capaian siginifikan dalam upaya pemajuan, pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia sepanjang tahun 2015,” kata Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Indriswati Saptaningrum dalam rilis peringatan Hari HAM 10 Desember 2015 di Jakarta, Kamis (10/12/2015).

Dia menuturkan pada ranah eksekutif, Presiden Jokowi tak merealisasikan janji-janji politik hak asasinya, sementara stagnasi juga tercermin dari buruknya kinerja legislatif. Parlemen yang disibukkan dengan agendanya sendiri ternyata juga gagal menghadirkan produk legislasi guna memperkuat perlindungan hak asasi.

Menurut Elsam, terbelenggunya politik HAM oleh kepentingan politik kekuasaan para elit politik, diidentifikasi dari beberapa isu utama hak asasi manusia, khususnya yang menjadi janji politik dari pemerintahan Jokowi-JK seperti penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu. Walapun sudah dituangkan dalam Nawacita Visi Misi Pemerintahan dan RPJMN 2015-2019.

Catatan Elsam, pelaksanaan hak atas kebebasan berekspresi, sebagai bagian penting dari jalannya sistem demokrasi hari ini masih belum sepenuhnya terlaksana. Kriminalisasi terhadap ekspresi yang sah melonjak tajam, kritik terhadap pejabat publik dijawab dengan ancaman penghukuman. Bahkan, janji perubahan regulasi tak terwujud, justru yang diluncurkan adalah ancaman ‘penertiban’ terhadap penggunaan media sosial sebagai ruang baru ekspresi.

Indristati menuturkan secara umum buruknya penikmatan hak atas kebebasan berekspresi dalam setahun terakhir, selain dari banyaknya kasus pelanggaran terhadap hak ini, juga terekam dari anjloknya indeks kebebasan sipil dan politik, serta indeks kebebasan pers, dari yang semula ‘bebas’ menjadi ‘bebas sebagian’.

Dalam perlindungan kebebasan dasar lainnya, seperti kebebasan beragama/berkeyakinan, pemerintah juga belum mampu untuk menuntaskan berbagai permasalahan dalam implementasi kebebasan beragama/berkeyakinan sebagai konstitusional setiap warga. Hingga saat ini kasus-kasus pelarangan pembangunan tempat ibadah tetap menyeruak di sejumlah daerah, bahkan menjadi pemicu konflik horisontal di wilayah tersebut. Problem intolerasi yang memicu intimidasi dan persekusi terhadap kelompok minoritas juga belum mampu dikelola secara benar oleh pemerintah.

Tak hanya itu, aparat pemerintah di lapangan, termasuk aparat keamanan dan birokrasi acapkali menjadi penyambung lidah resmi dari kelompok intoleran yang menghendaki tindakan represif terhadap kelompok minoritas. “Lagi-lagi, dalam kasus kebebasan beragama/berkeyakinan, kewajiban negara untuk melindungi, seringkali dikalahkan oleh kepentingan politik kekuasaan di pentas lokal,” ujarnya.

Bertepatan dengan hari hak asasi manusia sedunia 2015, ELSAM hendak memberikan sejumlah catatan berikut:

  • Presiden sebagai pemimpin tertinggi kekuasaan eksekutif harus memastikan pelaksanaan seluruh janji hak asasi yang termaktub di dalam Nawacita sebagai visi misi pemerintahannya, dan telah diakomodasi sebagai kebijakan resmi kenegaraan melalui RPJMN 2015-2019. Untuk itu Presiden harus melakukan reorientasi sekaligus evaluasi atas berbagai perencanaan dan kebijakan yang dikeluarkannya, dengan mengintegrasikan prinsip hak asasi di dalamnya;
  • Masyarakat menunggu aksi kebijakan yang nyata dari Presiden untuk merealisasikan kewajiban negara dalam penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu. Oleh sebab itu Presiden harus segera mengambil langkah-langkah konkrit untuk mengevaluasi kinerja Kejaksaan Agung dan memastikan proses hukum terhadap 7 kasus pelanggaran HAM yang berat, yang saat ini prosesnya mandeg di Kejaksaan Agung untuk segera ditangani.
  • Presiden harus mengambil langkah cepat untuk mencegah praktik pemberangusan kebebasan berekspresi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dan keamanan, termasuk juga melakukan pembaruan regulasi yang menjadi selama ini menjadi alasan pengekangan.
  • Presiden juga memiliki peranan yang sangat penting dalam penentuan arah politik hak asasi, khususnya dalam pembentukan berbagai kebijakan legislatif yang akan menjadi acuan bagi setiap penyelenggara negara dalam pelaksanaan kewajiban asasinya.
  • Sementara DPR, sebagai pemegang kekuasaan legislatif harus memastikan internalisasi dan integrasi berbagai prinsip hak asasi manusia dalam setiap kebijakan yang dilahirkannya. Selain itu, DPR juga harus mulai memfokuskan diri menjalankan peran dan fungsinya sebagai lembaga perwakilan rakyat, dengan segera mengimplementasikan berbagai tunggakan program legislasi nasional, khususnya yang diorientasikan untuk penguatan perlindungan hak asasi manusia.

(asr)

 

RELATED ARTICLES
- Advertisment -

Most Popular