Keterangan foto: Setelah melalui perang sengit, Rabu (16/12/2015) selama 17 jam, serangan balik ISIS di Irak berhasil dihancurkan oleh pasukan Kurdi yang dibantu pasukan koalisi, sebanyak 200 lebih kaum militan tewas. Foto: pasukan Kurdi di garis depan. (SAFIN HAMED/AFP/Getty Images)
Oleh: Liu Junning
Terorisme dan totalitarianisme: seakar dan sesumber
Menurut hasil penelitian telah terungkap bahwa terorisme dan gerakan totalitarianisme dunia ke tiga, para pimpinan spiritualnya biasanya mempunyai kedambaan terhadap totalitarian yang dihasilkan oleh Revolusi Besar Prancis, bahkan banyak yang belajar ke Prancis, mati-matian menyerap pemikiran Rousseau dan pewarisnya di Jerman yang menyediakan ‘gizi’ bagi pemikiran totaliterianisme.
Mereka sangat terikat sekali dengan “Teori postmodernisme” yang bertujuan untuk menggulingkan peradaban modern. Istilah postmodern sebagian besar adalah sinonim dari menentang modern. Mereka dengan berbagai macam statement yang enak didengar, menarik dunia ke masyarakat pra-modern dengan ditempeli merk dagang postmodern. Terorisme bukanlah gerakan para buta aksara, melainkan diciptakan oleh mereka yang mengenyam pendidikan tinggi, bahkan oleh para filsuf yang telah lama hidup di dunia Barat.
Para pemimpin spiritual terorisme sangat dipengaruhi oleh pemikiran yang menentang peradaban arus utama di Barat, seperti guru spiritual Naziisme Heidegger dan Spengler yang mengutuk peradaban Barat. Mereka gemar membaca pewaris kaum sayap kiri zaman sekarang dari totalitarianisme, seperti filsuf Prancis aliran Marxisme – Barat, dan karya Frantz Fanon existentialis “Orang-orang sial di atas bumi (Les Damnés de la Terre)”.
Buku tersebut memprovokasi “orang-orang berprestasi” di dunia ke tiga, menggunakan “metode revolusi” menggulingkan dominasi Barat, bagaikan berasal dari satu tradisi dengan Michel Foucault, filsuf Prancis yang memandang peradaban modern sebagai topeng dari kekuasaan, senang luar biasa dengan pulihnya fundamentalist Khomeini, beranggapan sebagai suatu kemenangan spiritual terhadap peradaban pokok Barat.
Sama dengan nenek moyangnya totalitarianisme, terorisme memandang individu sebagai alat untuk mewujudkan idealisme akhir, secara ekstrim menyalah-gunakan ketaatan para penganutnya, menyalah-gunakan tubuh dan jiwa, kebebasan dan martabat mereka, ia menuntut nilai jiwa individu tunduk kepada kebutuhan cita-cita pemimpin, individu dianggapnya sebagai baut skrup pada mesin kekerasan. Sama dengan totaliterianisme, sama sekali mengabaikan nilai jiwa, baik itu nilai jiwa dari pihak sendiri, ataupun nilai jiwa dari rakyat jelata. Mereka sama sekali tidak mengakui kriteria paling dasar peradaban modern bahwa jiwa manusialah yang paling berharga.
Peradaban modern menjamin kebebasan individu melalui demokrasi, melalui ekonomi yang berorientasi pada pasar untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran. Di dalam urutan nilai peradaban modern, jiwa dan kebebasan adalah yang tertinggi. Terorisme dan totalitarianisme bukanlah khusus untuk menghadapi peradaban Barat, melainkan untuk menghadapi peradaban seluruh umat manusia.
Yang sangat dibenci adalah sama yakni: cara hidup yang bebas lepas dan nilai umum serta sistem pengaturan dibaliknya. Terorisme tidak mengakui hak hidup, hak kebebasan, individualisme, konstitusional, demokrasi dan lain-lain tonggak-tonggak nilai peradaban modern. Terorisme bukanlah benar-benar merupakan nihilisme, hanyalah nihilisme terhadap peradaban kebebasan dan nilai umum. Yang mereka tentang adalah pemerintahan bebas demokratis yang pada umumnya dan ideologi duniawi.
Terorisme adalah totalitarianisme dalam bentuk kelompok kecil. Terorisme mensubstitusi totalitarianisme yang terbentuk oleh kelompok negara, ini menandakan, kekuatan yang menentang peradaban modern, sulit hidup dalam bentuk persekutuan negara-negara (seperti aliansi Negara fasisme Jerman, Italia dan Jepangdi PD-II, juga pakta Warsawa di zaman Perang Dingin. Red.). Di dunia ini sudah tidak ada lagi suatu negara atau pemerintah yang berani secara terbuka berdiri di pihak terorisme dan berani bersekutu dengannya secara terbuka.
Munculnya terorisme menunjukkan bahwa peradaban modern yang berdasarkan kebebasan di dalam lingkup dunia ini dalam taraf yang sangat besar sudah sepenuhnya mendominasi. Konfrontasi antar kubu kebebasan dan kubu totalitarianisme telah menjelma menjadi pertempuran antara negara beradab dengan kelompok terorisme.
Terorisme tidak lagi mempunyai kekuatan seperti totalitarianisme pada abad dua puluh yang menghimpun kekuatan beberapa negara untuk menandingi negara-negara beradab, melainkan hanya seperti pengintai yang licik yang bersembunyi di sudut remang-remang menunggu kesempatan bergerak. Itu sebabnya mereka akan terus mencoba cara-cara baru untuk men-subversif peradaban manusia.
Ditilik dari tampak luarnya, terorisme dengan musuh lain yang dihadapi peradaban umat manusia dalam sejarah sangat berbeda. Mereka seolah memiliki warna keagamaan yang kuat, sedangkan pada abad XX totalitarianisme biasanya muncul dalam bentuk perlawanan terhadap agama.
Make up pada wajah yang berwujud agama, tidak dapat menutupi kesamaan hakekat antara terorisme dan totalitarianisme. Dahulu, kubu totalitarianisme dan anti totalitarianisme sangat jelas berbeda, sedangkan sekarang banyak teroris justru hidup bagaikan parasit di negara-negara yang mereka telah bersumpah untuk dihancurkan. Terorisme adalah totalitarianisme yang telah diwarnai oleh cat minyak agama dan suku bangsa, merupakan saudara dari totalitarianisme dan musuh dari peradaban.
Untungnya, umat manusia telah mengalami dua kali gerakan totalitarianisme terbesar dalam sejarah yang berakhir dengan kekalahan total mereka. Apa yang gagal dilakukan oleh totalitarianisme, pastilah juga tidak berhasil dilakukan oleh terorisme. Apa yang tak tergoyahkan oleh totalitarianisme, pastilah juga tidak mungkin akan berhasil dilakukan oleh terorisme. Yang lebih penting, apabila terorisme dan totalitarianisme itu merupakan satu garis keturunan, maka cara untuk mengalahkan totalitarianisme, juga merupakan cara untuk mengalahkan terorisme. (pur/whs/rmat)
TAMAT