Menyorot Intoleransi dan Kebebasan Berkeyakinan Sepanjang 2015

JAKARTA – Tak lama lagi akan memasuki awal tahun 2016, soal intoleransi dan kebebasan beragama menjadi sorotan KontraS sepanjang 2015. Catatan buram bagi pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla masih melekat kepada pemerintahan yang baru satu tahun lebih berkuasa. Belum banyak perubahan yang dilakukannya sejak 10 tahun Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berkuasa.

Laporan tahunan KontraS yang dipublikasikan menjelang akhir tahun menyebutkan, situasi penghormatan dan perlindungan atas jaminan kebebasan menjalankan ibadah, beragama dan berkeyakinan di Indonesia pun tidak ada perbaikan bahkan cenderung stagnan di mana peristiwa kekerasan dan pembatasan hak masih terjadi di wilayah-wilayah yang sensitif pada isu toleransi.

Mengutip laporan KontraS, Senin (28/12/2015) KontraS memantau 96 peristiwa praktik intoleransi dan pembatasan kebebasan beragama, beribadah dan berkeyakinan; di mana Jawa Barat paling dominan yakni 18 peristiwa, DKI Jakarta dan Banten sebanyak 11 peristiwa, Aceh sebanyak 9 peristiwa, Jawa Tengah dan Jawa Timur 6 peristiwa dan Papua 5 peristiwa.

Sorotan lainnya adalah terhadap SE Kapolri tentang Ujaran Kebencian atau Hate Speech. KontraS menilai sejatinya SE Kapolri tersebut memberikan perlindungan kepada warga dari tindakan kekerasan yang dipicu oleh ujaran kebencian yang belakangan ini didominasi dengan sentimen keagamaan. Namun demikian, justru digunakan untuk membatasi ruang ekspresi publik termasuk kritik konstruktif kepada pemerintah yang tiba-tiba dibatasi atas nama hukum dan keamanan.

Catatan lainnya adalah muncul wacana perihal pengesahan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Umat Beragama. KontraS yang secara organisasional aktif terlibat dalam advokasi pendampingan kelompok-kelompok keagamaan minoritas, termasuk di dalamnya Ahmadiyah dan Syiah, pada April 2015 telah memberikan masukan konstruktif kepada DPR RI dan Kementerian Agama.

Kontras mengusulkan untuk membawa agenda penghapusan regulasi-regulasi diskriminatif dan mendorong hadirnya suatu mekanisme hukum yang bisa mengkriminalisasikan mereka yang menggunakan ujaran kebencian untuk mengancam keselamatan suatu kelompok keagamaan dan kelompok sosial lainnya.

Kasus kebebasan beragama adalah soal ketegangan sosial dengan sentimen keagamaan di Aceh, khususnya di wilayah Singkil dan Kutacane. Aceh yang menerapkan syariah Islam sebagai hukum lokal, potensial menggunakan landasan syariah Islam sebagai alat untuk menekan toleransi, khususnya ketika pemerintah lokal membangun ruang kompromi dengan organisasi masyarakat yang menjunjung advokasi keagamaan garis keras.

Selain itu, terabaikannya situasi Tolikara di Papua pasca pecahnya konflik dengan sentimen keagamaan antara umat Islam dan Kristen harus dapat dikelola pemerintah. Jika tidak maka situasi Tolikara akan menambah kerjaan baru bagi negara di tengah bara konflik yang belum terselesaikan.

Menurut KontraS, beberapa wilayah yang masih dipimpin oleh pejabat publik konservatif garis keras seperti di wilayah Jawa Barat dan Jawa Timur harus mendapatkan evaluasi serius oleh Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Hukum dan HAM. Pernyataan-pernyataan dan pilihan kebijakan politik lokal yang membangun sentimen permusuhan sosial dengan muatan keagamaan -jika terus didiamkan- akan kontraproduktif dengan semangat akuntabilitas negara. (asr)

RELATED ARTICLES
- Advertisment -

Most Popular