Pemilu Taiwan akan Menjadi Katalisator Perubahan Besar di RRT

Keterangan foto: Calon presiden dari Democratic Progressive Party (DPP) Tsai Ing-wen (depan tengah) dengan suara terbanyak terpilih sebagai Presiden Taiwan 2016, dan menjadi presiden wanita yang pertama di Taiwan. (Chen Bozhou / Epoch Times)

Oleh: Xia Xiaoqiang

Bendera nasional Taiwan yakni dasar merah dengan matahari putih berlatar langit biru adalah bendera Republik Tiongkok yang diciptakan oleh Dr. Sun Yat Sen. Langit biru melambangkan kebebasan rakyat, matahari putih melambangkan kesetaraan hak rakyat, dan dasar merah melambangkan demokrasi dan cinta kasih. Bendera ini pada dasarnya tidak ada kaitan apa pun dengan kemerdekaan Taiwan. Tapi kasus Zhou Ziyu (nama artis: Tzuyu, WN Taiwan, anggota K-pop girl band TWICE dari Korea Selatan) yang terkait dengan bendera ini telah menarik perhatian dunia, dan terus berkembang. Menurut hasil survey oleh sebuah lembaga kebijakan, karena pengaruh kasus Zhou Ziyu, lebih dari 1,34 juta pemuda Taiwan memutuskan untuk memberikan suaranya atau mengubah pilihan suara mereka.

Sebenarnya, jika dilihat dari hasil pemilu dimana capres Kuo Min Tang (partai nasionalis) Zhu Lilun yang kalah lebih dari 3 juta suara dari Tsai Ing-wen, sebetulnya kasus Tzuyu tidak sampai menimbulkan pengaruh yang menentukan terhadap hasil pemilu presiden tersebut. Namun kasus Tzuyu telah membuat dunia melihat dengan jelas aspirasi rakyat Taiwan serta hubungan kedua daratan yang sebenarnya.

Dari hasil pemilu Taiwan, DPP (Democratic Progressive Party) menjadi partai berkuasa, Tsai Ing-wen menjadi presiden wanita etnis Tionghoa pertama di dunia yang dipilih oleh rakyat, serta berhasil menjadikan pergantian partai ketiga kalinya dalam pemilu presiden Taiwan. Setelah pemilu, DPP meraih 68 kursi di Badan Legislatif, menjadikannya sebagai partai terbesar Taiwan, dan Kuo Min Tang merosot menjadi partai kedua terbesar, kubu New Power Party yang mewakili kekuatan ketiga mendapat 5 suara dan menjadi partai ketiga terbesar di Taiwan. Sejumlah pemuda angkatan 80-an dari kalangan masyarakat menjadi anggota Dewan Rakyat.

Semua itu menandakan, hasil pemilu Taiwan adalah kemenangan demokrasi Taiwan, juga melambangkan sistem demokrasi Taiwan telah mencapai tahap dewasa. Hal ini menunjukkan, dunia etnis Tionghoa sangat mampu mengembangkan sistem politik demokrasi, juga menjadi teladan yang baik bagi perkembangan demokrasi di RRT. Disaat yang sama, pemilu Taiwan membuat rakyat di daratan Tiongkok melihat kekuatan suara pemilu, kebutuhan akan demokrasi pun menjadi semakin mendesak.

Proses dan hasil pemilu di Taiwan, serta kasus Tzuyu sebelum pemilu, juga membuat dunia melihat semakin jelas masalah terbesar dan krisis yang terdapat pada hubungan antar kedua daratan, sama sekali bukan masalah “Taiwan Merdeka”, melainkan konflik dan berseberangannya norma universal dan politik antara Taiwan dengan Tiongkok. Penyebab utama timbulnya konflik adalah akibat kebijakan Partai Komunis Tiongkok/ PKT terhadap Taiwan dalam jangka waktu panjang. Pada 2014 terjadi gerakan pelajar Sun Flower Movement di Taiwan, dari suatu aksi para pelajar Taiwan yang menentang suatu kesepakatan dagang berkembang menjadi seluruh masyarakat Taiwan bangkit melawan PKT yang berniat menjajah Taiwan, adalah luapan emosi rakyat Taiwan yang meledak yang telah bertahun-tahun ditahan, yang cemas akan PKT, antipati dan melawan PKT.

Beberapa dekade terakhir, rezim PKT melakukan tekanan politik, bujukan kepentingan ekonomi, menyuap, infiltrasi, ancaman teror dan berbagai cara lainnya, untuk memaksa pemerintah Taiwan melepaskan nilai universal dari Taiwan dan dasar pendirian negara Taiwan, berupaya menggunakan sistem komunis untuk menggantikan sistem kebebasan demokrasi di Taiwan. Bersamaan dengan diarahkannya hampir 2000 rudal balistiknya ke arah Taiwan, PKT menggunakan cara ekonomi dan politik untuk menekan ruang eksistensi bagi Taiwan di pentas internasional, dan terus menerus mengendalikan setiap aktivitas Taiwan untuk berkiprah dalam kegiatan dan ajang internasional.

Karena tekanan jangka panjang oleh PKT menyebabkan perasaan antipati dan menentang dari rakyat Taiwan, merupakan wujud kebencian rakyat Taiwan terhadap sistem kediktatoran komunis, terlepas dari kaitannya dengan mendukung Taiwan Merdeka, “Taiwan Merdeka” pada dasarnya juga bukan merupakan aspirasi dan kehendak rakyat Taiwan. Oleh karena itu, faktor utama tidak stabilnya hubungan kedua daratan adalah berseberangannya sistem kebebasan demokrasi Taiwan dengan rezim komunis PKT, serta tekanan PKT terhadap kebebasan demokrasi Taiwan, dan juga penindasan terhadap kehormatan dan hak asasi mendasar rakyat Taiwan sendiri.

Tiongkok daratan kini menghadapi berbagai masalah sosial serius, seperti hilangnya keadilan, tidak adanya kebebasan berpendapat, dan hak-hak asasi mendasar lainnya. Rezim PKT tidak mampu melakukan pengawasan yang efektif, juga terkait erat dengan diktatorisme satu partai PKT. Oleh karena itu, mutlak hanya dengan membentuk sistem demokrasi, kondisi krisis seperti ini baru dapat diselamatkan.

Di sisi lain, teknologi informasi dan perkembangan pesat internet, telah menyatukan dunia menjadi satu tubuh, PKT sudah tak mampu lagi eksis di tengah kondisi informasi yang tertutup, terhubungnya ekonomi dan tingkat institusi dengan dunia tak terhindarkan. Perkembangan pesat ideologi demokrasi di Taiwan pasti akan semakin menguatkan bersatunya kedua daratan di bawah ideologi demokrasi. Dalam kondisi seperti itu, upaya kediktatoran PKT untuk menghambat dan menghalangi terciptanya kedua daratan bersatu pasti juga akan semakin menonjol, dan akan semakin menjadi sorotan dunia, konflik yang timbul akibatnya juga akan semakin menonjol. Dan jika pemerintahan Xi Jinping menginginkan stabilitas hubungan kedua daratan, hingga akhirnya mewujudkan kedua daratan bersatu secara damai, maka masalah ini mutlak tidak bisa diabaikan.

Pertemuan bersejarah Xi dan Ma tahun lalu merupakan tindakan pendobrak yang telah membentuk situasi baru bagi hubungan antara Taiwan dengan daratan Tiongkok, tindakan ini telah mendobrak kebijakan diplomatik PKT dengan Taiwan sebelumnya yang selalu didominasi oleh perseteruan, juga telah mengubah peta diplomatik RRT, dan mendatangkan harapan yang baik bagi perkembangan hubungan kedua daratan. Setelah pertemuan Xi dan Ma, media massa RRT terus memberitakan tentang fakta pada masa perang melawan Jepang dulu (yang selama ini fakta tersebut terus ditutupi dan dimanipulasi oleh pemerintahan PKT-red.) dan aru pada 2016 ini, buku biografi “Chiang Ching Kuo” beredar di RRT. Media massa RRT mewartakan detil kisah reformasi politik demokrasi di masa tua Chiang Ching Kuo di Taiwan. Munculnya berbagai hal ini diartikan sebagai jalan bagi dilakukannya reformasi lebih lanjut. Pemilu Taiwan, mungkin akan mendesak terjadinya reformasi pemerintahan RRT, dan akan menjadi katalisator perubahan besar di RRT. (sud/whs/rmat)

RELATED ARTICLES
- Advertisment -

Most Popular