JAKARTA – Gempa bumi 7,8 SR di 682 km di barat daya Kepulauan Mentawai , Sumatera Barat, Rabu (2/3/2016) dinyatakan oleh BMKG berpotensi tsunami. pada Rabu (2/3) pukul 19.49 Wib. Presiden juga telah menginstruksikan Kepala BNPB untuk segera turun ke lapangan, lakukan langkah-langkah penanganan dampak gempa yang terjadi. Lalu seperti apa prilaku masyarakat saat peringatan tsunami disampaikan?
Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho mengatakan mekanisme rantai peringatan dini tsunami yaitu peringatan dini dari Indonesia Tsunami Early Warning System (InaTEWS) di BMKG yang kemudian diteruskan ke BNPB, BPBD, TNI, Polri, media massa dan masyarakat sudah berlangsung cukup baik. Menurut Sutopo, meskipun dengan keterbatasan infrastruktur, sarana dan prasarana yang ada saat ini, namun secara keseluruhan berjalan dengan baik.
Lebih rinci Sutopo menjelaskan, adanya kepanikan masyarakat dan kemacetan lalu lintas di masyarakat saat evakuasi adalah manusiawi. Catatan BNPB, pada beberapa daerah khususnya di Kota Padang terjadi kemacetan karena masyarakat evakuasi denga kendaraan bermotor.
Sutopo menambahkan, saat kejadian gempa, sebagian besar berada di dalam rumah karena kejadian pada Rabu (2/3) pukul 19.49 Wib. Hingga selanjutnya saat kejadian gempa 8,5 SR yang berpotesi tsunami pada 1 April 2012 lalu, juga terjadi kepanikan dan kemacetan lalu lintas serupa.
Lebih jauh Sutopo menambahkan, perilaku masyarakat dalam melakukan evakuasi sangat dipengaruhi pengalaman, pengetahuan, dan pendidikan dan latihan yang dimiliki. Dia mennambahkan, sebagian besar masyarakat yang melakukan evakuasi, tindakannya lebih didasari pada apa yang pernah dialaminya, pengetahuan yang masih terbatas, dan pendidikan dan pelatihan yang juga terbatas.
Tak hanya itu, bahkan basih terdapat masyarakat yang merasa perlu mendapatkan kepastian gejala tsunami dengan pergi ke pesisir untuk melihat air surut. Hal ini mungkin terkait dengan materi pendidikan mengenai gejala tsunami yang menyebabkan persepsi perlu memastikan gejala tsunami ini sebelum melakukan evakuasi.
BNPB menjelaskan, masyarakat masih memaksakan untuk melakukan evakuasi dengan kendaraan yakni motor atau mobil tanpa mempedulikan kemungkinan terjadinya kemacetan yang dapat menyebabkan terlambatnya melakukan evakuasi. “Kepercayaan masyarakat terhadap bangunan evakuasi vertikal sangat rendah,” ujar Sutopo.
Beberapa kasus di Padang dan Banda Aceh masyarakat cenderung melakukan evakuasi horisontal (menuju dataran tinggi) yang lokasinya lebih jauh (dapat mencapai 1.5 km) dibandingkan menggunakan bangunan evakuasi vertikal yang jaraknya hanya beberapa meter dari tempat tinggalnya.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Unsyiah dan JICA pada tahun 2012 terhadap perilaku masyarakat melakukan evakuasi tsunami saat menerima peringatan dini tsunami maka:
– 63 persen masyarakat tidak mendengar adanya peringatan dari sirine tsunami. Hal ini disebabkan sirine tsunami masih sangat terbatas jumlahnya. Saat ini hanya sekitar 50-an sirine tsunami BMKG dan sekitar 200-an sirine tsunami berbasis komunitas yang dibangun untuk memberikan peringatan dini kepada masyarakat. Masih jauh dari kebutuhan yang ada yang mencapai ratusan ribu.
– 75 persen masyarakat yang evakuasi menggunakan kendaraan bermotor. Inilah yang menyebabkan kemacetan karena sebagian besar masyarakat evakuasi secara bersamaan dan menuju lokasi yang hampir sama yaitu ke tempat yang lebih aman.
– 78 persen pengungsi terjebak dalam kemacetan sekitar 20 menit.
– 71 persen belum pernah ikut dalam latihan bencana. Latihan atau geladi penanggulangan bencana masih terbatas. Tidak semua masyarakat yang tinggal di daerah bencana bersedia ikut latihan. Anggaran untuk pelatihan bencana sangat terbatas, bahkan banyak yang tidak dialokasikan di APBD.
“Masih banyak tugas kita yang harus dilakukan dalam antisipasi gempabumi dan tsunami. Termasuk kebutuhan pendanaan, jika tidak maka hanya tertuang dalam dokumen masterplan saja, tanpa ada wujudnya, sementara tsunami dapat mengancam kapan saja terjadi,” pungkas Sutopo. (asr)