Xi Jinping Mengubah Policy Penindasan Agama ala Jiang Zemin

Pada 25 April 1999, 10.000 orang praktisi Falun Gong secara damai mendatangi Zhongnanhai (kompleks perkantoran dan perumahan elite pimpinan pusat Partai Komunis Tiongkok/ PKT di Beijing). Tahun ini, disaat menjelang hari peringatan istimewa ini, sejumlah tindakan Xi Jinping memiliki makna sangat mendalam. Ia menggelar Konferensi Kerja Keagamaan Nasional dan mengubah policy penindasan agama ala Jiang Zemin.

Di dalam Konferensi Kerja Politik & Hukum ia mendorong supremasi hukum dan anti KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), melengserkan oknum pelanggar hukum di jajaran Politik & Hukum. Ia membahas pekerjaan penyampaian petisi, menandaskan harus menyelesaikan dengan baik permohonan petisi untuk kepentingan warga yang dilanggar. Sejumlah tindakan pencerahan itu sudah sesuai dengan kehendak Langit dan rakyat, patut diapresiasi.

Dua abad sebelumnya, Amerika Serikat didirikan atas dasar kebebasan beragama dan dengan cepat telah berkembang menjadi negara adidaya nomor wahid dunia. Tatkala George Washington dan Thomas Jefferson mendirikan negara AS dari puing-puing, telah memasukkan kebebasan berkepercayaan dan beragama di pasal amandemen pertama konstitusi. 70 tahun silam, ketika fasis Jerman dan Jepang setapak demi setapak meraih kemenangan di medan perang Eropa dan Asia, presiden AS Roosevelt menyampaikan pidato himbauan kepada dunia, mengusulkan masyarakat mendatang membutuhkan upaya perlindungan Empat Kebebasan Besar, salah satunya adalah “Kebebasan beragama.” Kemudian bab kebebasan ini dimasukkan ke dalam “Deklarasi Hak Asasi Manusia” dan menjadi hak paling mendasar dalam kehidupan manusia yang diakui secara universal.

Kenapa kebebasan berkepercayaan atau dengan kata lain kebebasan beragama sedemikian penting?

Adalah karena manusia hidup di bumi, apakah mempercayai Tuhan ataukah tidak, mau tak mau dihadapkan pada 2 permasalahan yakni: pertama, hubungan antara manusia dengan alam; kedua, hubungan antara manusia dengan manusia. Agama dan kepercayaan tradisional, seperti aliran Tao yang “Membalas kebencian dengan kebaikan,” aliran Buddha yang berbelas kasih kepada semua mahluk hidup, aliran Konghucu dengan konsep “Orang bijak mencintai manusia,” agama Kristen yang “Mengasihi sesama seperti mengasihi diri sendiri”dan agama Islam yang “Rahmatan lil ‘alamin” dan agama-agama lainnya, semuanya memelihara ajaran kebijaksanaan yang menentramkan dan mengharmoniskan masyarakat.

Dari sudut pandang ini menelaah sejarah umat manusia, mulai dari moralitas masyarakat yang luhur, kebudayaan yang maju hingga ke ekonomi nan makmur, kesemuanya berkaitan dengan kejayaan suatu agama, sebaliknya punahnya suatu peradaban senantiasa terjadi ketika moralitas manusianya sedang melorot tajam. Jika perilaku manusianya telah sesuai dengan kehendak Langit dan rakyat tentu negara baru bisa digdaya.

Meskipun pada masa pemerintahan otoriter PKT, tak luput dari dera musibah dan bencana, lantaran terjadinya penistaan terhadap agama, misalnya setelah melarang dan menista agama pada 1950-an terjadi bencana kelaparan dahsyat yang menewaskan puluhan juta orang. Sedangkan pengrusakan terhadap agama dalam gerakan “Menjebol 4 Usang”pada masa Revolusi Kebudayaan (1966-1976) malah menimbulkan “10 tahun malapetaka.”

Pada masa awal reformasi (1978-1989), kebebasan beragama telah berangsur pulih. Guru leluhur patriark VI dan terakhir dari aliran Budhisme Zen bernama Hui Neng (638-713) meninggal dunia dengan cara moksha di masa dinasti Tang di provinsi Guang Dong, hingga sekarang tubuh/ jazadnya tidak membusuk, masih duduk dengan tegak di dalam kuil Nan Hua di Shaoguan. Kenapa tubuh Huineng masih bisa dipertahankan (sementara banyak warisan sejarah dan budaya ribuan tahun yang dimusnahkan, red.)?

Hal ini berkat perlindungan (dari amukan Garda Merah di zaman Revolusi Kebudayaan, red.) dari Xi Zhongxun sang ayah dari Xi Jinping, ketika pada masa malapetaka melanda, memerintah di provinsi Guang Dong.

Membenahi policy agama dari Jiang Zemin

Tetapi sesampainya zaman Jiang Zemin berkuasa (1989-2002), terutama pasca dimulainya penindasan terhadap Falung Gong pada 1999, kebebasan beragama telah mengalami pengrusakan yang belum pernah terjadi sebelumnya. 100 juta pengikut Falun Gong selain telah dirampas haknya untuk berkepercayaan, juga masih harus menghadapi propaganda silumanisasi yang menyeluruh, di PHK, dipenjara, diperkosa, disiksa, dianiaya hingga tewas, bahkan dirampas dalam keadaan hidup organ dalamnya.

Setelah kasus “Bakar diri Tiananmen” yang direkayasa PKT, Jiang Zemin pada Desember 2001 disaat memimpin Konferensi Kerja Keagamaan Nasional standard tertinggi, mengagitasi dan meningkatkan penindasan terhadap Falun Gong, sontak di dalam hall terdengar gaduh slogan-slogan “pengganyangan” terhadap Falun Gong yang bersahut-sahutan.

15 tahun berselang, Xi Jinping mengadakan lagi Konferensi Kerja Keagamaan Nasional. Ia memilih momentum sebelum peringatan “25 April” saat Falun Gong mengadakan aksi damai di Zhongnanhai, ia menekankan “Mengatur urusan keagamaan sesuai dengan hukum yang berlaku”, “Tindakan pemerintah mengatur urusan keagamaan dengan menggunakan norma-norma hukum, dengan menggunakan hukum meregulasi berbagai hubungan sosial yang melibatkan agama.” Diantaranya juga menekankan kebebasan berkepercayaan dan beragama, mengusulkan “Mengusung tradisi unggul bangsa Tionghoa, dengan menggunakan konsep-konsep maju-bersatu dan damai-bertoleransi untuk mengarahkan massa penganut yang luas, mendukung setiap agama dalam mempertahankan kepercayaan mendasar. Inti doktrin agama dan sistem ketatasusilaannya sekaligus secara mendalam menggali konten dari dalam ajaran dan aturan agama yang bermanfaat bagi keharmonisan sosial, kemajuan zaman dan peradaban yang menyehatkan, membuat aturan dan ajaran agama yang disesuaikan dengan tuntutan kemajuan perkembangan Tiongkok masa kini serta disesuaikan dengan penjelasan kebudayaan tradisional Tionghoa yang brilian.”

Berdasarkan penjelasan dari media daratan Tiongkok, Konferensi Kerja Nasional standard tertinggi semacam ini, pada umumnya bermakna perubahan arah kebijakan besar.

Pidato Xi Jinping merupakan koreksi terhadap policy penindasan agama ala Jiang Zemin selama ini. Sedangkan pidato Xi Jinping barusan ini mengenai supremasi hukum secara menyeluruh dan mengenai juklak memberikan perhatian pengajuan petisi untuk menyelesaikan problema warga, juga merupakan koreksi terhadap tindakan Jiang Zemin dalam penindasan pengajuan petisi secara damai oleh grup Falun Gong pada 25 April 1999 serta pengrusakan sistem legal secara menyeluruh dalam proses penindasan Falun Gong. Dalam pemilihan momentum, kebetulan justru mendekati hari peringatan “25 April,” sinyal yang dipancarkan amat menggelitik.

Selama 3 tahun Xi Jinping menduduki jabatannya, berturut-turut telah menangkap para pelaku utama penindasan Falun Gong yang notabene berkedudukan tinggi di pemerintahan PKT yakni: Wang Lijun, Bo Xilai, Su Rong, Li Dongsheng, jendral Xu Caihou, Zhou Yongkang, jendral Guo Boxiong, Zhang Yue dan lain-lain, ditambah lagi yang paling anyar juga mengoreksi policy penindasan agama oleh Jiang Zemin, serangkaian tindakan dan anjuran tercerahkan ini patut diacungi jempol.

Tidak ada imperium yang berusia 1000 tahun, demikian pula tidak ada partai politik yang berusia 1000 tahun, namun ada banyak agama dan kearifan lokal yang sudah berusia ribuan tahun. PKT pada akhirnya bakal memasuki laci sejarah, pertanyaan krusialnya adalah, siapakah yang mengakhiri pemerintahan yang jahat dan sejarah penderitaan bangsa ini, dialah yang bakal menjadi pejabat berjasa bagi bangsanya yang namanya akan harum sepanjang masa.  (epochtimes/whs/rmat)

RELATED ARTICLES
- Advertisment -

Most Popular