JAKARTA – Desakan kepada Mahkamah Agung (MA) untuk berbenah diri terus disuarakan berbagai pihak setelah kasus suap yang melibatkan hakim termasuk pejabat pengadilan terus terjadi. Bahkan KPK menangkap Kepala PN Kepahiang dan Hakim Tipikor Bengkulu, Senin (23/5/2016) sebelumnya KPK menangkap Kasubdit Kasasi dan Perdata Khusus MA, Andri Tristianto.
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Bvitri Susanti mengatakan upaya reformasi internal yang dilakukan oleh MA hingga kini masih belum berhasil. Walaupun sejumlah agenda sudah dilaksanakan, namun demikian permainan hakim hingga pejabat pengadilan masih terus terjadi.
Catatan PSHK, upaya untuk melakukan pembenahan oleh MA sudah dilakukan yakni penyatuan atap kekuasaan kehakiman di bawah MA, pembentukan Cetak Biru MA 2003 dan 2010, dan pembentukan Tim Satgas Antimafia Hukum.
Menurut Bvitri, MA harus merespon dengan serius dengan membuka diri bersama KPK dan Komisi Yudisial (KY) untuk membereskan peluang-peluang korupsi yang masih saja terjadi di tubuh lembaga peradilan. Dia mencontohkan OTT terhadap Panitera Sekretaris Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat akhirnya berbuntut panjang kepada Sekretaris MA. Fakta ini menunjukkan praktek korupsi sudah menjadi jaringan antar jenjang di pejabat pengadilan.
“Inilah saat yang tepat bagi MA untuk melihatnya sebagai peluang dalam membenahi diri. Kerja sama MA dengan KPK dan KY untuk memetakan permasalahan dan pencegahan korupsi di sektor peradilan merupakan hal yang harus diupayakan,” kata Bvitri di Jakarta.
Koalisi Pemantau Peradilan (KPP) juga membeberkan terdapat 28 orang hakim/panitera/pejabat pengadilan yang terseret dalam kasus korupsi. Praktik korupsi di lingkungan lembaga peradilan yang nyatanya berlangsung secara sistemik, masif, dan terstruktur ini memperdalam keburukan citra peradilan.
Sementara Ketua Bidang Hubungan Antar Lembaga dan Layanan Informasi Komisi Yudisial (KY) Farid Wajdi menyampaikan keprihatinan atas terjadinya peristiwa tangkap tangan yang melibatkan hakim tipikor dan kepala PN di Bengkulu. Menurut Farid, hal ini dapat menyebabkan persepsi dan kepercayaan publik terhadap dunia peradilan menurun karena terus berulangnya kejadian serupa.
Terkait OTT terhadap hakim dan pejabat di peradilan ini, ujar Farid, Komisi Yudisial menghargai proses hukum yang dilakukan KPK. KY juga mendesak kepada MA agar lebih terbuka dalam proses pembenahan internal demi mencegah terulangnya kejadian serupa menjadi semakin relevan. “KY berpandangan, pengawasan tidak ditujukan untuk tujuan merusak, tetapi justru untuk mengembalikan kepercayaan publik yang telah semakin terpuruk,” ujar Farid di Jakarta.
Berdasarkan catatan KY pada 2 Januari hingga 24 Mei 2016, ada 11 orang aparat pengadilan yang terdiri dari 3 orang pejabat pengadilan dan 8 hakim yang kasusnya terpublikasi di media karena diduga melanggar kode etik. Belum lagi yang tidak terpublikasi, maka akan menambah jumlah pejabat pengadilan dan hakim yang terlibat pelanggaran kode etik. (asr)