JAKARTA – Memasuki bulan Ramadhan dan menjelang perayaan lebaran setiap tahunnya mengalami kejadian rutin yakni kenaikan harga kebutuhan pokok. Bahkan harga ini melonjak tinggi hingga beberapa kali lipat dan tak turun secara drastis usai lebaran. Presiden Joko Widodo menegaskan penurunan harga seperti harga daging sapi dipasarkan harus sekitar Rp 80.000 per kilogram.
Direktur Sayuran dan Tanaman, Kementerian Pertanian, Yanuardi mengklaim Kementerian Pertanian sudah memiliki langkah pasti untuk menghentikan gejolak harga pangan. Program-program Kementan, ujar Yanuardi, dimaksudkan untuk mengatasi pasokan pangan yang menipis agar tak langka di pasaran.
Menurut Yanuardi, langkah Kementan berupa manajemen tanam seperti bawang dan cabe agar terjadi peningkatan produksi pada saat hari-hari besar. Menurut Yanuardi, pihaknya secara langsung memantau harga di pasaran, namun demikian terjadi perbedaan pada level ritel dibandingkan dengan pasar induk. Lebih jauh Kementan sudah mengkomfirmasi bahwa penurunan harga juga terjadi pada level petani.
“Hanya ritelnya masih tinggi, karena harga tinggi mau menurunkan susah, jadi pelan-pelan,” ujarnya dalam diskusi di Jakarta, Sabtu (4/6/2016).
Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, Daniel Johan menilai kenaikan harga naik harga sembako menyambut hari raya masih dikatakan normal jika tak menimbulkan gejolak di pasar. Jika kemudian harga kenaikan sudah tak lazim seperti harga gula dan bawang yang melambung tinggi, maka ditenggarai adanya terjadinya kekeliruan pada data dan regulator pemerintah.
Politisi Partai Kebangkitan Bangsa itu menilai ada dua akar persoalan yakni soal data dan perencananan dalam konteks negara dan pemerintah. Jika kemudian data dan pemerintah sudah benar, namun masih saja harga melambung maka ada perencanaan pemerintah yang keliru. Oleh karena adanya kekeliruan data, maka harus diperbaiki dengan data yang baik dan pemerintah melaksanakannya dengan benar.
Sementara, Ketua Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia, Ismed Hassan Putro menilai ada empat faktor menyebabkan ketika suplai berlimpah namun harga di pasaran tetap melambung. Faktor pertama adalah desain pasar yang masih konvensional dibandingkan sistem modern yang dimiliki Jepang, Kedua proses produksi dan distribusi masi bersifat feodlalitsik, ketiga infrstruktur dan distribusi pangan masih menggunakan sisa Orde Baru, keempat regulator yang terperangkap kepentingan pemburu rente.
Menurut Ismed, sebanyak empat faktor tersebut yang membuat problem pangan di Indonesia selama 30 tahun tak terselesaikan. Akibatnya konsumen selalu dihantui permainan pemburu rente dan elite politik secara laten oleh karena itu harus ada solusi jangka panjang untuk menekan gejolak pangan di pasaran.
“Presiden harus tegas apakah mau terperangkap permainan mafia rente, kalau tidak, birokrasi atau parpol dipenjarakan saja, serahkan kepada KPK,” harap Ismed. (asr)