JAKARTA – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menilai Indonesia merupakan negara tropik yang sebagian besar kawasannya memiliki iklim basah dengan curah hujan lebih dari 2.000 mm3 per tahun sehingga memiliki tutupan hutan dengan karakteristik hutan hujan tropik. Gambut sendiri tersusun oleh tanah hasil dekomposisi tidak sempurna dari vegetasi pepohonan yang tergenang air.
Menurut LIPI, material organik tersebut terus menumpuk sehingga membentuk lapisan-lapisan dengan ketebalan lebih dari 50 cm. Lahan jenis banyak dijumpai di Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Lahan ini pada dasarnya tidak bisa terbakar secara alami sekalipun pada daerah beriklim kering. Namun pengelolaan yang kurang tepat menyebabkan menurunnya kelembaban udara yang memicu kebakaran.
Oleh karena itu, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bekerja sama dengan Japan – ASEAN Science, Technology, and Innovation Platform (JASTIP), Kyoto University, Hokkaido University, Research Institute for Humanity and Nature (RIHN) Japan, Japan Peatland Society (JPS), serta Ministry of Environment Japan, melakukan kajian bersama terkait restorasi lahan gambut.
Deputi Bidang Jasa Ilmiah LIPI, Prof. Dr. Bambang Subiyanto mengungkapkan, berbagai alternatif terus diuji untuk membantu restorasi lahan gambut. ”Beberapa diantaranya yaitu pembasahan (rewetting), reboisasi (reforestation), pencegahan kebakaran (fire prevention), dan membangun sistem pemantauan, pelaporan, dan verifikasi,” ujarnya dalam keterangan pers LIPI.
Untuk reboisasi, pembentukan hutan di area non hutan, dan agro forestasi, pohon sagu dengan nama latin Metroxylon sagu merupakan tanaman kunci, karena dapat tumbuh baik di genangan air sehingga cocok ditanam di lahan gambut. “Dengan demikian, pohon sagu akan memiliki produktivitas yang tinggi dalam menghasilkan pati sagu. Selain itu, juga dapat menghasilkan biomassa setelah tutupan kanopi terbentuk,” sambung Bambang.
Sementara itu, Badan Restorasi Gambut (BRG) yang dibentuk pada 2016 harus mendorong restorasi lahan seluas 2 juta hektar dalam jangka waktu 5 tahun. Menurut Bambang, kegiatan restorasi harus memenuhi beberapa kriteria diantaranya biaya yang dikeluarkan sedapat mungkin rendah, dengan teknologi yang efektif.
Selain itu, harus memiliki nilai tambah dari pati sagu dan biomassa, serta sistem pengelolaan terintegrasi. Oleh karena itu, desain model dan road map restorasi lahan gambut dengan memanfaatkan ekosistem sagu sangat penting untuk dibuat.
Pembahasan mendalam atas restorasi lahan gambut disajikan dalam Joint Workshop on Utilization of Sago Ecosystem for Peatland Restoration pada Kamis, 11 Agustus 2016 di LIPI Pusat Jakarta. Beberapa pembicara yang turut hadir diantaranya Nazir Foead (Kepala BRG), Mamoru Kanzaki (Kyoto University and JASTIP), Mitsuru Osaki (Hokkaido University), Bambang Setiadi (Dewan Riset Nasional). (asr)