Oleh: Zang Shan
Sekitar 4 – 5 bulan lalu, penulis baru saja kembali dari Amerika Serikat ke Hongkong, segera ada teman bertanya tentang prakiraan hasil pilpres AS pada tahun ini. Meskipun menurut hasil survey dukungan Trump begitu tinggi, tapi saya tetap berpendirian lugas, sangat mungkin Hillary yang akan menang.
Ini bukan karena saya menyukai Hillary, melainkan banyak warga pemilih AS sangat antusias akan seorang “tokoh di luar kancah politik Washington” terpilih sebagai calon, tapi belum tentu akan memilihnya sebagai presiden, terutama jika capres itu ketika berbicara terdapat konten yang mengkhawatirkan.
Ada warga AS menilai, dalam pilpres kali ini, sebenarnya telah terjadi dua kali “revolusi”. Yakni revolusi pada Partai Demokrat, yang dikobarkan sendiri oleh Sanders, yang secara langsung mengakui dirinya seorang penganut “paham sosialis”, yang condong kepada kalangan bawah dan menengah dalam hal kebijakan ekonomi dan sosialnya, dan menaikkan pajak bagi kaum kaya, menghapus biaya kuliah, meningkatkan jaminan sosial dan lain-lain.
Sanders pun kemudian gagal, tapi sebenarnya ia mendapatkan dukungan dari banyak warga AS, terutama kaum minoritas, kawula muda dan kalangan berpendapatan rendah sangat mendukungnya. Dan revolusi lainnya dikobarkan oleh Trump dari Partai Republik, akhirnya Trump berhasil menumbangkan halangan dari banyak sesepuh internal partai, dan meraih kriteria capres AS dari Partai Republik.
Ada yang mengibaratkan Partai Republik dan Partai Demokrat sebagai ayah dan ibu AS. Partai Republik lebih seperti ayah yang mendorong anak-anaknya melanglang buana, suka akan generasi penerus yang lebih mandiri dan kuat, mencemooh anak-anak yang lemah dan tidak mampu. Sedangkan Partai Demokrat seperti ibu, yang memanjakan anak bungsunya, juga kerap memberikan bantuan ekonomi bagi generasi muda yang lemah, sekaligus meminta para kakaknya yang mampu untuk membantu adik-adik yang kurang mampu itu.
Perkembangan kemajuan sosial dicapai dengan dua kaki yakni efektivitas sosial dan keadilan sosial. Di dalam politik AS, Partai Republik kebetulan secara pas mewakili efektivitas sosial, mengurangi pajak dan mendorong pemilik modal untuk menciptakan usaha dan mendorong persaingan. Sedangkan Partai Demokrat mewakili keadilan sosial, menuntut agar memperhatikan yang lemah, meningkatkan pungutan pajak untuk memperbesar anggaran pemerintah, memeratakan kembali kekayaan masyarakat. Selama puluhan tahun terakhir, AS pada dasarnya melangkah maju dengan kedua kaki ini silih berganti, lalu beberapa kali mencapai kesimbangan dan kemajuan.
Dua ribu tahun terakhir, orang Tiongkok selalu menggunakan cara lain untuk menyelesaikan masalah ini. Umumnya orang Tiongkok membutuhkan waktu lebih dari dua ratus tahun, sebuah dinasti baru awalnya relatif adil terhadap masyarakatnya, lalu mendorong produktivitas, akhirnya memasuki “masa kejayaan.”
Kemudian kesenjangan kaya dan miskin semakin melebar, pada masa pertengahan dinasti tingkatan di tengah masyarakat semakin kaku. Kerajaan mulai melakukan reformasi, karena mendapat halangan dari para pejabat daerah dan desa, reformasi pun gagal, separasi sosial sangat serius kemudian timbul chaos (kekacauan), dan akhirnya masyarakat runtuh, maka terjadilah reshuffle (dinasti).
Kini baik Tiongkok maupun Hongkong menghadapi masalah yang sama, termasuk kesenjangan kaya dan miskin, separasi sosial, makin terbentuknya tingkatan sosial secara kaku, tidak puasnya kalangan menengah dan kalangan bawah semakin parah.
Pemerintahan RRT bukannya tidak memahami hal ini, sebenarnya di tahun 2006 pemerintah telah menyadari adanya masalah ini, jadi sejak saat itu dimulailah “reformasi sistem pemerataan sosial”. Akan tetapi sistem politik di RRT sangat minim akan mekanisme penyelarasan, kalangan konglomerat di Tiongkok terbentuk oleh kaum pejabat dan pengusaha, membuat mereka merampas kepentingannya sendiri adalah semacam cara yang bertentangan dengan hakikat manusia. Jadi selama 8 tahun ini, kesenjangan kaya dan miskin di Tiongkok kian hari kian menganga lebar, mungkin kecepatannya agak berkurang, tapi trennya tidak berubah.
Bicara kembali soal AS. Meskipun Trump tampil dengan citra tipikal Partai Republik, tapi di berbagai hal ia menonjolkan aura “kuat di luar keropos di dalam”, seperti ketika mengkritik sistem perdagangan bebas internasional yang dulunya dipertahankan oleh warga AS, seperti rencana kebijakan keimigrasian dan pungutan pajaknya dan lain-lain.
Walaupun memang telah mengutarakan kekhawatiran banyak warga AS yang sebenarnya, namun ia juga tidak memiliki cara penanggulangan yang benar-benar tepat. Jika tidak ada kejadian yang menyulut emosi, maka dikhawatirkan masyarakat AS hanya berharap adanya perubahan kecil saja, dan bukan perombakan struktural besar-besaran. (sud/whs/rmat)