Ada seorang pengemis, lengan kanannya sudah buntung, terlihat mengibakan, siapapun yang melihatnya pasti iba dan akan memberinya sedekah.
Suatu hari, dia mengemis ke sebuah keluarga petani, nyonya rumah menyuruhnya memindahkan dulu tumpukan batu bata di depan pintu itu ke halaman belakang. Mendengar itu, pengemis pun dengan emosi mengatakan kepada nyonya rumah : “Anda jelas-jelas melihat saya hanya punya satu lengan, tapi menyuruh saya memindahkan batu bata, bukankah anda sengaja mempermainkan saya ?”
Tak disangka, nyonya rumah berjongkok, lalu mengangkat batu bata itu dengan satu tangan, kemudian bolak-balik memindahkannya ke halaman belakang, lalu berkata pada pengemis : “Saya bisa memindahkannya dengan satu tangan, kenapa Anda tidak bisa ?” Mendengar itu, pengemis diam seribu bahasa, dan mau tidak mau secara perlahan-lahan ia menggunakan satu tangannya memindahkan batu bata itu, hingga akhirnya sekitar dua jam kemudian semua batu bata itu pun berhasil dipindahkannya, tampak keringat bercucuran di sekujur badannya.
Sang nyonya memberinya handuk putih, setelah menyeka keringat di leher dan mukanya, handuk putih dan seketika handuk itu terlihat kotor. Sang nyonya kemudian memberinya dua puluh dolar, pengemis pun mengambil uang pemberian nyonya sambil mengucapkan terima kasih. Sang nyonya berkata : “Anda tidak perlu berterima kasih kepada saya, ini adalah upah dari keringat Anda sendiri.” Pengemis mengatakan : “Saya tidak akan pernah melupakan Anda, tolong berikan handuk ini untuk saya sebagai kenang-kenangan.”
Singkat cerita, beberapa tahun kemudian, dengan stelannya yang rapi, sang pengemis itu kembali bertandang ke keluarga petani, dan dengan gejolak perasaan harunya ia berkata pada nyonya rumah yang sudah senja : “Saya yang dulu pengemis, sekarang adalah direktur perusahaan, Andalah yang telah membantu saya menemukan kembali harga diri saya yang hilang, membangun kembali rasa percaya diri saya, jika bukan karena Anda, mungkin saya masih berkeliaran di mana-mana.” “Ini adalah prestasi atas usahamu sendiri,” kata sang nyonya.
Direktur berlengan satu berminat memberikan sebuah apartemen untuk sang nyonya, tapi sang nyonya dengan halus menolaknya dan mengucapkan terima kasih. Sang direktur sempat bingung mendengar penolakan itu, namun, sang nyonya mengatakan sambil tersenyum : “Karena segenap keluara kami punya sepasang tangan.”
Seseorang harus punya harga diri dalam hidupnya, disamping menghormati diri sendiri, juga menghormati orang lain. Dapat menyadari akan nilai diri dari dalam kehidupan kita.
Hidup itu memiliki harga diri. Harga diri secara langsung mencerminkan konsep akan nilai dalam “kesetaraan” hidup manusia.
Menurut pandangan agama, manusia memiliki kehidupan masa lalu dan sekarang. Kehidupan di masa lalu sebagai karma balasan dalam kehidupan sekarang. Kehidupan di masa lalu tidak bisa diubah, karena telah berlalu, maka yang diperoleh dalam kehidupan sekarang ini juga tidak dapat dimohon sesuai dengan keinginan kita. Inilah yang dinamakan takdir.
Kaya, miskin, mulia maupun hinanya seseorang yang tampak secara permukaan, adalah karma balasan masing-masing individu dalam kehidupan masa lalunya, yang juga merupakan manifestasi nyata dalam konsep nilai dari “kesetaraan” hidup manusia.
Kita tidak boleh menilai seseorang berdasarkan berapa banyak ketenaran dan kekayaan yang diperoleh. Tidak menjilat pada orang yang berkuasa dan berpengaruh. Tidak berkomplot untuk kepentingan diri pribadi, tidak peduli kaya, miskin, mulia atau hina, semuanya bisa hidup dengan leluasa, dan diri kita sendiri mencerminkan nilai kehidupan dan harga diri/martabat sebagai manusia.
Seseorang yang bermartabat, akan menghormati dan melindungi kebebasan individu dan pandangan orang lain, sedangkan dirinya akan sangat berhati-hati menggunakan hak kebebasannya ini. Sementara mereka yang menyalahgunakan haknya ini justru kurang memiliki harga diri demikian, mengabaikan harga diri orang lain, mereka yang menempatkan dirinya di atas orang lain juga cenderung merupakan pemburu kepentingan ekstrim. Merampas kebebasan individu orang lain, menganggap nyawa manusia tak berharga, dan orang-orang maupun organisasi di daratan Tiongkok (termasuk perusahaan dan lembaga) banyak yang seperti ini. (Secretchina/Jhn/Yant)