JAKARTA – Laporan akhir tahun 2016 pelapor khusus Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) Komisi Nasional HAM meyebutkan bahwa sepanjang tahun lalu Pemerintah Daerah (Pemda) merupakan pihak yang paling banyak diadukan dalam pelanggaran kebebasan beragama.
“Jika dilihat pada aspek pelaku itu terjadi sebagaimana pada masa lalu, pemda tetap menjadi pelaku utama pelanggaran atas KBB, belum ada perubahan,” kata Koordinator Desk Kebebasan Berekspresi dan Beragama (KBB) Komnas HAM, Jayadi Damanik didampingi Pelapor Khusus KBB Komnas HAM, Imdadun Rahmat, di Gedung Komnas HAM, Jakarta, Selasa (10/1/2017).
Menurut Jayadi, sebanyak 52 pengaduan terkait Pemda sepanjang 2016 ini yang bertambah dibandingkan pada 2015. Setahun sebelumnya, jumlah pihak yang diadukan yakni Pemda hanya berjumlah 36 pengaduan.
Data Laporan Akhir Tahun 2016 KBB menyebutkan, aktor berikutnya yang banyak diadukan adalah Organisasi berjumlah 13 pengaduan yakni kategori pelaku yang memiliki nama atau identitas organisasi baik berbadan hukum maupun tidak.
Ormas yang diidentifikasi dilaporkan kepada Komnas HAM adalah MUI sebanyak 5 pengaduan, FJI DIY 2 pengaduan, FGGJ, GMIM, DOBRAK, LPI, AGIB dan GMAHK Jemaat Zen Li masing-masing 1 pengaduan. Pelaku berikutnya yang banyak diadukan pada tahun ini adalah kelompok masyarakat berjumlah 12 pengaduan.
Catatan KBB menyebutkan kelompok masyarakat yang dimaksud biasanya berupa sekelompok orang atau warga yang tidak memiliki atribut atau organisasi definitif. Kedua kategori pelaku di atas adalah aktor masyarakat sipil yang diduga melakukan pelanggaran hak atas KBB.
Lebih rinci Jayadi menelaskan bahwa khususnya Jawa Barat, Komnas HAM menyatakan harus menjelaskan kenapa dan bagaimana bisa terjadi banyak aparatus yang dilaporkan. Berdasarkan penelitian di Jawa Barat, tercatat di 6 daerah Jawa Barat tertinggi terkait pelanggaaran atas hak KBB. Daerah-daerah itu adalah Kota Bekasi, Kota Bogor, Kota Bandung, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Kuningan.
Tingginya angka ini disebutkan bukan tak memiliki penyebab hingga angkanya terus meningkat setiap tahun. Pada kasus ini diketahui dipengarahi atas tiga faktor utama, Pertama lemahanya dan pengetahuan kesadaran aparatus pemda terhadap norma-norma HAM, Kedua tekananan kelompok intoleran yang tak mampu diatasi pemimpin tingkat lokal dan Ketiga masih banyak aturan tingkat pusat yang tak sejalan dengan norma HAM untuk diwujudkan di daerah.
Diantaranya terjadi di Kabupaten Kuningan, ditemukan ada 2 kebijakan positif dan 3 kebijakan negatif-fiktif yang berpotensi melanggar hak atas KBB dan diskriminatif. Warga yang paling banyak terkena dampak kebijakan tersebut adalah warga Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) terkait adanya kebijakan setempat yang membatasi aktivitas warga JAI.
Kelompok ini mengalami diskriminasi pelayanan KTP dan pelayanan perkawinan oleh aparat KUA yang mensyaratkan adanya surat pernyataan keluar dari Ahmadiyah dari warga JAI untuk dapat dilayani pencatatan perkawinan.
Selain itu juga terdapat kebijakan yang berpotensi mendiskriminasi warga non-muslim terkait adanya kebijakan tentang Diniyah Takmiliyah yang tergolong mengistimewakan umat muslim. Komnas HAM juga menemukan adanya diskriminasi pencatatan perwakinan bagi warga Sunda Wiwitan di Cigugur dengan alasan mereka tidak memiliki organisasi yang tercatat oleh pemerintah.
Selanjutnya, forum klarifikasi laporan tersebut pada 9 Februari 2016, Pemerintah Kabupaten Kuningan meminta agar hasil kajian tidak menjustifikasi Pemerintah Kuningan tidak melakukan tindakan apapun untuk mengatasi masalah JAI, misalnya bekerjasama dengan MUI untuk melakukan pembinaan. Terkait dengan
Dalam pertemuan tersebut, Komnas HAM telah merekomendasikan agar Pemkab Kuningan segera menerbitkan KTP bagi warga JAI dan memberi pelayanan perkawinan. Komnas HAM juga meminta agar pelayanan pencatatan perkawinan bagi warga Sunda Wiwitan dapat diberikan secara adil. (asr)