Memahami ‘Republik Soviet’ yang Pernah Bercokol di Tiongkok Masa Lalu (1)

Oleh Cai Hong

Islamic State (IS) yang haus darah diakui secara internasional sebagai organisasi teroris. Namun, 80 tahun silam di dalam negeri Tiongkok juga muncul orang-orang berideologi komunis ala Uni Soviet yang kemudian membentuk dan bergabung dalam ‘Republik Soviet’. Orang-orang ini juga berperilaku tidak berbeda dengan anggota IS sekarang.

Mereka membantai warga yang dianggap memiliki keyakinan berbeda, yang berani menentang mereka. Berbagai cara pembunuhan mereka lakukan, dari menembak mati sampai memenggal kepala, memotong leher, membakar hidup-hidup, menenggelamkan ke dalam air, mengubur hidup-hidup, merajam, menggilas korban dengan buldozer.

Pembunuhan dilakukan dari skala satu orang sampai satu keluarga, bahkan bisa mencapai puluhan atau ratusan orang dalam waktu bersamaan.

Para anggota yang bergabung dengan ‘Republik Soviet’ itu membunuh warga sipil di lapangan terbuka dan memaksa warga datang untuk menonton adegan eksekusi. Jasad korban kemudian digantungkan di tempat terbuka dengan tujuan untuk menumbuhkan rasa takut dan patuh kepada mereka.

Adegan serupa kini muncul kembali di wilayah yang dikuasai IS. Organisasi ekstremis Islam yang mengumumkan pembentukan negara yang berada dalam negara antara Irak dan Suriah pada Juni 2014. Organisasi ini mengaku percaya pada doktrin yang ketat dari Islam Sunni, dengan membawa bendera ‘perang suci’ para anggota organisasi tersebut menganiaya, membunuh secara brutal warga sipil beragama Islam yang berlainan sekte dengan mereka.

Masyarakat internasional umumnya sepakat beranggapan bahwa IS memiliki karakteristik ganda berupa fanatisme terhadap kepercayaan dan terorisme, dan tak satupun negara yang mengakui mereka sebagai negara yang berdaulat, termasuk Tiongkok sendiri juga menyebut mereka sebagai organisasi teroris atau ekstremis.

Dewan HAM PBB dalam laporannya menyebutkan bahwa Islamic State diduga telah melakukan kejahatan perang, kejahatan kemanusiaan dan genisida.

Tindakan IS selain mengingatkan kita pada ‘Republik Soviet’ di Tiongkok pada 80 tahun lalu. ‘Republik’ ini juga tidak diakui eksistensinya oleh dunia kecuali kejahatan yang mereka lakukan.

Sejak pecah perang melawan invasi Jepang akibat ‘Peristiwa 18 September’ pada 1931, tentara Jepang berhasil menguasai dan menduduki 3 provinsi di bagian timur laut Tiongkok. Di saat negara sedang menghadapi situasi kritis seperti itu, sejumlah pembangkang politik Tiongkok malahan menerima instruksi dari Partai Komunis Internasional di Uni Soviet untuk membentuk negara boneka Soviet di kota Ruijin, Jiangxi, Tiongkok yang mereka namakan ‘Republik Soviet’ dengan ketuanya yang dijabat oleh Mao Zedong.

Organisasi itu kemudian bergerak di bawah bendera ‘ideologi komunis’ dan mempersenjatai diri untuk membela Uni Soviet melakukan serangkaian perilaku biadab seperti pembantaian, pembakaran dan penjarahan harta warga sipil. Republik Tiongkok yang didirikan pada 1912 dan dipimpin oleh Chiang Kaishek itu, sampai menjuluki mereka sebagai kaum bandit komunis atau bandit merah.

Sejarahwan Tiongkok menemukan bukti bahwa jumlah penduduk kota Ruijin telah berkurang sebanyak 20 % sejak kota tersebut dikuasai oleh ‘Republik Soviet’ antara 1931 – 1935. Sekitar 700.000 orang warga sipil mati secara tidak wajar dengan separo diantaranya dibunuh sebagai musuh kelas oleh orang-orang berideologi komunis itu.

Komunisme menganggap pembunuhan sebagai cara untuk melenyapkan perbedaan ideology. Teror merah itu diciptakan guna memaksa warga sipil demi keselamatan lalu tunduk dengan mereka dan bersedia masuk menjadi anggota partai komunis untuk kemudian menularkan ideology. Mereka berupaya mempengaruhi orang lain sampai bila perlu juga membunuh orang yang menentang. kegunaan lainnya adalah untuk menghimpun dana, seperti yang dilakukan IS pada saat ini.

Untuk mendapatkan dana operasional, IS melakukan pengambilalihan sumur minyak dengan cara kekerasan. Minyak mentah kemudian dijual di pasar dengan harga miring, namun secara diam-diam mereka juga menerima bantuan dana dari beberapa orang kaya dunia, selain melalui penjarahan kekayaan warga sipil termasuk uang tebusan penculikan. IS telah berulang kali menculik warga dan wartawan asing untuk menuntut negara yang bersangkutan membayar sejumlah tebusan yang diminta. (Sound of hope/Sinatra/rmat)

BERSAMBUNG

RELATED ARTICLES
- Advertisment -

Most Popular