JAKARTA – Peneliti Kebebasan Beragama/Berkeyakinan (KBB) dari SETARA Institute, Halili mengatakan hingga saat ini kondisi kebebasan beragama/berkeyakinan belum mendapat jaminan utuh dari negara dan praktik intoleransi, diskriminasi, dan kekerasan yang masih terus terjadi.
Hal demikian diungkapkan dalam Laporan Kondisi Kebebasan/Berkeyakinan yang diproduksi oleh SETARA Institute yang ditulis sejak 2007. Padahal negara telah meneguhkan komitmennya tentang Pengesahan Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik.
Sepanjang tahun 2016, Halili memaparkan bahwa SETARA Institute mencatat 208 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan dengan 270 bentuk tindakan, yang tersebar di 24 provinsi seluruh Indonesia.
“Sebagian besar pelanggaran terjadi di Jawa Barat, yaitu dengan 41 Pelanggaran dengan angka tinggi juga terjadi di DKI Jakarta 31 peristiwa dan Jawa Timur (22 peristiwa,” kata Halili dalam keterangan pers Minggu (29/1/2017).
Catatan SETARA Institute, dari 270 tindakan pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan, terdapat 140 tindakan pelanggaran yang melibatkan penyelenggara negara sebagai aktor. Rincinya, 123 dalam bentuk tindakan aktif dan 17 tindakan merupakan tindakan pembiaran.
Aktor-aktor negara yang paling banyak melakukan pelanggaran adalah Kepolisian sebanyak 37 tindakan diiuti pemerintah kabupaten/kota dengan 35 tindakan. Sedangkan institusi selanjutnya adalah pendidikan negeri 11 tindakan, Kementerian Agama dengan 9 tindakan, dan Kejaksaan dengan 8 tindakan.
Data SETARA menjelaskan, sebanyak 130 tindakan di antaranya dilakukan oleh aktor non negara. Pelaku terdiri individu warga negara maupun individu-individu yang tergabung dalam organisasi masyarakat. Aktor non negara yang melakukan pelanggaran dengan angka tertinggi adalah kelompok warga, dengan 42 tindakan.
Halili memaparkan, pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan sepanjang 2016 paling banyak menimpa Gafatar, yaitu sebanyak 36 peristiwa. Korban terbesar di posisi kedua adalah individu warga negara (33 peristiwa), Jemaat Ahmadiyah Indonesia (27 peristiwa), Syiah (23 peristiwa) dan individu (21 peristiwa). Dua kelompok minoritas lainnya yang menjadi korban dalam banyak peristiwa adalah umat Kristiani (20 peristiwa) dan aliran keagamaan (19 peristiwa).
Kelompok-kelompok minoritas keagamaan yang menjadi korban paling rentan berpola pada perlakuan intoleransi, penyesatan ajaran, pemaksaan keyakinan, pengusiran, ujaran/syiar kebencian serta aksi teror. Termasuk, penghentian paksa dan pelarangan kegiatan ibadah/keagamaan.
“SETARA Institute mengambil satu kesimpulan, sedang berlangsung saat ini dalam konteks kebebasaan beragama/ berkeyakinan dan perlindungan minoritas keagamaan adalah menguatnya supremasi intoleransi,” kata Halili.
Tindakan Kongkrit Jokowi
Pada kesempatan yang sama, Wakil Ketua SETARA Institute Bonar Tigor Naipospos berharap sudah semestinya pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla bertindak atas semakin rentannya perlindungan minoritas keagamaan/berkeyakinan.
Bagi SETARA, sebanyak empat langkah sebagai tindakan kongkrit stragis bagi pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla. Pertama, meruntuhkan supremasi intoleransi dengan menegakkan supremasi hukum dan konstitusi. Kedua, mencegah berulangnya tindakan-tindakan pelanggaran terhadap kebebasan beragama/berkeyakinan dan pelanggaran terhadap hak-hak minoritas keagamaan.
Langkah strategis Ketiga, mencegah berulangnya stagnasi dalam kehidupan beragama/berkeyakinan di Indonesia dalam dua periode Pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono. Keempat, menegaskan sikap zero tolerance terhadap segala tindakan yang bertentangan dengan kebhinekaan dan merongrong Pancasila dan Konstitusi RI. (asr)