Di tengah kondisi masyarakat yang menua dan tingkat kelahiran yang rendah, setiap anak ibarat harta karun bagi orang tua. Saat anak berobat, kebanyakan diantar oleh orang tuanya, kadang kala bahkan dikawal oleh kakek nenek.
Ketika memeriksa kondisi si anak, saya selalu mengamati kondisi kesehatan dan psikologis orang tua anak, dan hal seperti ini sangat mudah terlihat dari wajah, pembicaraan, serta gerak geriknya, cukup dilirik sebentar kira-kira sudah bisa memperoleh gambaran kasar. Setelah dilakukan pemeriksaan medis beberapa lama, didapati penyakit banyak anak-anak umumnya disebabkan oleh orang tuanya sendiri.
Seorang anak perempuan berusia 5 tahun yang lincah dan polos juga lucu, sangat pintar bermanja-manja, sungguh seorang anak yang manis. Ayahnya sangat penuh perhatian, ibunya sangat lemah lembut. Dalam hati saya berpikir: Sungguh suatu keluarga yang bahagia, penyakit anak ini akan mudah diobati. Saat saya bertanya ternyata si anak manis demam, orang tua yang tidak ingin melihat putri mereka terkontaminasi oleh obat-obatan Barat, maka putri mereka diberi obat dari Pengobatan Tradisional Tiongkok (PTT).
Di AS sebenarnya ada ketentuan tertulis dari FDA, bahwa anak berusia kurang dari 6 tahun tidak boleh diberikan obat demam, karena tak sedikit anak-anak keracunan setelah meminum obat itu, bahkan bisa memicu sakit jantung dan menyebabkan kematian.
Memang benar, demam si manis sembuh dengan cepat. Beberapa hari kemudian, gantian sang ibu yang berusia 34 tahun datang ke klinik, karena ingin menyelaraskan tubuhnya sebagai persiapan bagi kehamilan kedua, ingin memberikan adik bagi putri sulung mereka. Dulu ketika mempersiapkan kehamilan pertama, dia juga meminta saya untuk menyelaraskan tubuhnya, sehingga bisa hamil dan melahirkan dengan baik, jadi kali ini pun tidak terkecuali.
Setelah sebulan diselaraskan, mulai uji kehamilan, saya mengajarkannya bagaimana berhubungan suami istri disaat masa ovulasi dan teknik membantu kehamilan, serta hal-hal yang harus diperhatikan. Setelah saya selesai menjelaskan, dengan pandangan termangu dia berkata pada saya, “Dokter, Anda lupa kehamilan pertama saya dengan cara bayi tabung, kali ini kami juga ingin melakukan hal yang sama.”
Ini sudah lebih dari 5 tahun lalu, saya sendiri tidak ingat lagi, dengan agak terheran saya bertanya, “Alat reproduksi kalian berdua sangat normal, juga masih muda, mengapa harus dengan bayi tabung?” Sambil tertawa dia berkata, “Setelah menikah kami berdua sangat sibuk, jarang berhubungan suami istri, juga sudah terbiasa dengan keadaan ini, lama kelamaan menjadi tidak ada kehidupan seks. Meskipun sekarang ingin punya anak, tapi kami sama-sama tidak ingin berhubungan intim, jadi diputuskan untuk melakukan bayi tabung saja.”
Dengan keheranan saya bertanya, “Pasti banyak teman dan kerabat bertanya, kalian berdua masih sangat muda, apakah tidak takut suami melirik wanita lain, mencari langit biru di luar jendela.” Dia cepat menjawab, “Di keluarga kami ini, langit biru ada di dalam jendela (rumah), suami saya berkata ia bukan tipe orang yang berpikir dengan testosteron, juga tidak dikendalikan oleh hormon, dan setiap hari ia selalu pergi dan pulang kerja tepat waktu, juga sangat menyayangi saya dan anak.” Dari nada bicaranya saya menangkap suara yang penuh akan kebahagiaan.
Di tengah masyarakat modern ini banyak pakar masalah pria dan wanita selalu membesar-besarkan betapa pentingnya kehidupan seksual bagi kesehatan dan pernikahan, bahkan banyak produk-produk yang mempromosikan pentingnya kebahagiaan seks, tapi bagi banyak tokoh kultivator, pastor, suster, bhiksu dan bhiksuni yang hanya memiliki kehidupan spiritual, tidak ada kehidupan seksual, namun tetap dapat hidup dengan sehat dan panjang umur. Apalagi sepasang suami istri ini, meskipun belum berkultivasi, tapi sudah berada di dalamnya, kebahagiaan seperti ini nampaknya tak terpengaruh oleh kekeruhan dunia fana ini. (Epochtimes/Sud/Yant)