Oleh: Zhu Ming
Baru-baru ini media massa liberalis AS sedang panas-panasnya membombardir Trump dan timnya dengan tuduhan “konspirasi dengan Rusia”, seolah tak akan berhenti jika belum menyeret Trump lengser.
Di saat yang sama, sebuah buku yang baru terbit lengkap dengan bukti yang mengungkap skandal suami istri Clinton (termasuk “konspirasi dengan Rusia”) dan laris terjual, justru anehnya ditanggapi dingin oleh media massa.
Menurut surat kabar “Washington Post”, selama masa kampanye tahun lalu, Menteri Kehakiman Jeff Session pernah dua kali menemui Dubes Rusia Sergey Kislyak, dan membantah pertemuan ini pada forum dengar pendapat.
Kemudian media massa pun terus mengejar dan menuntut Sessions untuk lengser dan mereka juga “membongkar” putra sulung Trump, menantu, serta banyak anggota timnya terkait “konspirasi dengan Rusia”.
Surat kabar “New York Times” menyatakan, dua orang penasihat tim kampanye Trump bersama menantunya Jared Kushner yang merangkap sebagai penasihat senior presiden masing-masing pada Juli dan Desember bertemu dengan Sergey.
Surat kabar “Wall Street Journal” mennyebutkan, putra sulung Trump pada 11 Oktober 2016 lalu pada jamuan makan malam oleh Tim Pemikir Prancis “Politics and Foreign Affairs Center” di Ritz Hotel Paris mengatakan, mungkin menerima upah sedikitnya USD 50.000 (670 juta rupiah). Pendiri tim pemikir tersebut dituding “pro Rusia”.
Anggota Partai Demokrat AS juga terus menyerang gencar seolah tak akan mereda jika Trump tidak mencopot menteri kehakimannya. Trump tampil langsung menghadapi serangan itu.
3 Maret lalu di akun Twitter ia mengunggah foto senator negara bagian New York Charles Schumer bersama Putin, dan juga foto anggota kongres Nancy Pelosi sedang berbicara dengan pejabat Rusia, dalam rangka menanggapi tuntutan mereka menginvestigasi menteri kehakiman.
4 Maret di akun Twitter-nya Trump mengatakan, pertemuan pertama Sessions dengan Dubes Rusia “telah diatur oleh pemerintahan Obama”.
Di masa jabatan Obama, Dubes Rusia Kislyak pernah berkunjung ke Gedung Putih sebanyak 22 kali, dan tahun lalu sebanyak 4 kali. Dan oleh sebagian media, Kislyak telah diberitakan sebagai gembong nomor satu jaringan mata-mata Rusia di AS.
Dan banyak media massa mengungkapkan, tidak hanya Sessions, sangat banyak anggota Partai Demokrat juga pernah menemui Kislyak. Pada 2013 Kislyak pernah menemui tujuh orang anggota Dewan Kongres Partai Demokrat sekaligus pada suatu pertemuan.
Juru bicara wanita Gedung Putih Hope Hicks membenarkan menantu Trump memang menemui Dubes Rusia.
“Mereka banyak membicarakan hubungan kedua negara, melakukan komunikasi yang rasional dan wajar”, Hicks menambahkan, “Jared juga pernah bertemu dengan sejumlah perwakilan negara lain, mungkin sekitar dua hingga tiga puluh pemimpin maupun perwakilan negara lain.”
Sejumlah pertemuan normal, ternyata oleh media massa telah dipelintir menjadi “badai konspirasi dengan Rusia”. “Konspirasi dengan Rusia” pada dasarnya bukan kejahatan. Setelah Uni Soviet runtuh, Rusia sudah bukan lagi negara komunis. Interaksi dan komunikasi yang wajar adalah hal yang sangat lumrah.
Tapi Trump berniat menggandeng Rusia untuk mengatasi komunis, jadi berniat memperbaiki hubungan AS dengan Rusia, ini memang fakta. Namun jika “dekat dengan Rusia” dianggap sebagai “berkomplotan dengan musuh” sepertinya adalah penafsiran yang terlalu berlebihan.
Hal yang menjadi perbandingan sangat mencolok adalah, penulis buku laris AS Doug Wead tanggal 28 Februari lalu merilis buku barunya yang mengungkap hubungan erat antara Clinton beserta istrinya dengan pihak Rusia, media massa golongan liberal justru serempak tidak bersuara.
Buku itu mengungkap, ketika Hillary menjabat sebagai Menteri Sekretraris Negara, dia terlibat memberi ijin ekspor 20% Uranium dari AS kepada Rusia, dan Clinton Foundation mendapat keuntungan dari situ. Uranium adalah hasil tambang yang sangat vital, yang sangat berpengaruh terhadap keamanan nasional.

Buku yang berjudul “Game of Thorns: The Inside Story of Hillary Clinton’s Failed Campaign and Donald Trump’s Winning Strategy” itu ditulis oleh Doug Wead yang merupakan seorang sejarawan AS juga penulis buku laris di surat kabar “New York Times”.
Ia pernah menjadi penasihat kepresidenan bagi dua presiden AS, juga menjadi asisten khusus Gedung Putih bagi Presiden Bush Junior, pernah mewawancarai enam orang presiden, dan tujuh orang ibu negara.
Di dalam buku diungkap Hillary mengepalai Kementerian Sekretariat Negara mengijinkan sebuah transaksi yang memperbolehkan pemerintah Rusia mengendalikan 20% produksi Uranium Amerika.
Perusahaan yang terlibat adalah Uranium One yang kemudian memberikan sumbangan senilai jutaan dolar AS kepada Clinton Foundation.
Hubungan antara Uranium One dengan Clinton Foundation pertama kali ditemukan oleh Peter Schweizer dari Hoover Institution, yang menuliskannya menjadi sebuah buku berjudul “Clinton’s Cash”.
Surat kabar “New York Times” kemudian melakukan investigasi lebih lanjut, dan memberitakannya panjang lebar pada tanggal 24 April 2015. Tapi kejadian ini justru tidak menjadi sorotan kalangan media, sementara pemerintahan Obama juga tidak melakukan investigasi lebih lanjut terkait masalah ini.
Beberapa hari setelah pihak Rusia mengumumkan niatnya mengendalikan Uranium One, Clinton memenuhi undangan bank Rusia yang memiliki hubungan khusus dengan pemerintah untuk berpidato terkait bank investasi, dengan upah USD 500.000 (6,7 miliar rupiah), ini adalah upah pidato Clionton tertinggi yang pernah diterimanya.
Di saat media massa memprovokasi “kejahatan konspirasi dengan Rusia” oleh Trump, buku baru karya Wead pun dengan cepat menduduki posisi buku terlaris di Amazon, tapi media massa seolah tidak melihatnya.
Membandingkan kedua kejadian, “konspirasi dengan Rusia” atau tidak, apakah “konspirasi dengan Rusia” merupakan kejahatan, mungkin beda orang akan beda penafsiran pula.
Berbagai rumor terkait Clinton Foundation sudah banyak terungkap, dan di dalamnya melibatkan pelanggaran hukum, di bawah perlindungan pemerintahan Obama dan media massa liberalis, yayasan ini seolah berjirah besi yang tidak bisa ditembus pedang dan tombak. Setelah Trump menjabat, suami istri Clinton mulai kehilangan pamornya, dan dikhawatirkan cepat atau lambat akan mendapat masalah. (sud/whs/rmat)