Erabaru.net. Kita menghabiskan banyak waktu dalam pekerjaan kita, sehingga mengharuskan kita untuk makan di sana, terutama makan siang.
Makan siang biasanya Anda lakukan di tempat kerja, entah makan sendiri atau makan bersama dengan rekan kerja Anda.
Di saat hendak makan siang, Anda mungkin pernah menemukan seseorang yang mengomentari pilihan makanan Anda.
Entah karena terlalu banyak karbohidrat, banyak lemak, makanan cepat saji, dan makanan lain yang menurutnya kurang sehat.

Seperti misalnya saat Anda hendak makan siang di McDonald’s, lalu rekan kerja Anda berkomentar bahwa makanan cepat saji tak sehat. Alhasil, ia hanya memesan salad untuk makan siangnya.
Efek langsung dari kebiasaan ini adalah gangguan ringan bagi mereka yang food-shaming.
Disuruh melihat orang yang makan makanan yang tak sehat dan diejek bahwa makanan mereka lebih buruk dari makanan lain.
Tapi bagi orang yang pernah mengalami gangguan makan atau masalah pencernaan, bisa jadi pemicu besar.
Kebiasaan makan food-shaming atau malu-malu dalam memilih makanan adalah cara untuk membuat orang-orang itu menjadi suka berpikir manakah menu yang tepat untuk dimakan, sehingga akan membuat diri kita depresi dan stress.

Badan amal gangguan makanan b-eat mengatakan kepada metro.co.uk, “Gangguan makan seperti food-shaming adalah penyakit jiwa dan bisa menjadi cara untuk mengatasi perasaan atau situasi yang membuat orang tidak bahagia, mudah marah, tertekan, cemas atau khawatir.”
Anda tidak bisa menjustifikasi apakah seseorang sedang mengalami gangguan makan secara langsung, apalagi saat ia membutuhkan waktu lama untuk memilih menu makanan yang tepat baginya.
Kebiasaan food-shaming ini bukanlah program diet untuk membentuk tubuh ideal.
Namun sebaliknya, tubuh dan pikiran akan menjadi tidak sehat karena terlalu menimbang-nimbang dan pilih-pilih makanan.
Namun jika food-shaming dilakukan bukan untuk tujuan diet, janganlah Anda mengejek bahwa dia tak mampu membeli makanan.
Ada suatu kejadian tertentu yang melibatkan rekan saya dari Eropa Timur yang diolok-olok karena makan hidangan daerah yang menampilkan ikan dan sayuran acar.
Di tempat kerja yang sama, kami berdua menjadi target bulian, karena suatu hari saya membawa nasi bungkus lebih kecil dan lebih murah dari biasanya.
Kami dibilang miskin dan tak mampu membeli makanan layak. Padahal memang sudah menjadi kebiasaan kami atau memang sedang melakukan penghematan.

Memang, food shaming menimbulkan pro dan kontra dari berbagai kalaangan.
Food shaming memang dapat membentuk tubuh ideal, namun jangan lupakan bahwa Anda akan dicap sebagai manusia yang miskin dan pelit makanan.
Namun di lingkungan kerja, dimana kamu akan diperhatikan oleh seluruh rekan kantormu, mulai dari pekerjaan, penampilan hingga masalah makanan, nampaknya akan menjadi beban tersendiri bagi Anda jika diejek oleh rekan kantor.
Anda bisa hidup dan mengaplikasikan pola makan sehat Anda setiap pagi dan malam, atau beberapa kesempatan saat Anda di kantor.
Anda tidak perlu terlalu mencolok dalam menerapkan kebiasaan makan seperti ini.
Jadi mengapa kita tidak bisa menggunakan kesopanan yang sama terhadap pilihan makanan orang lain? (intan/rp)