Filsuf asal Inggris, Herbert Spencer mengatakan, “Mengajar anak-anak itu dimulai dengan menghormati anak-anak.”
Loh kok menghormati anak-anak? Gak salah? Lalu bagaimana cara menghormati anak-anak?
Coba tanyakan pada diri Anda, Anda ingin bagaimana orang lain menghormati Anda, maka Anda akan mendapatkan jawabannya.
Semua anak-anak yang nakal itu sangat polos dan rapuh.

Orangtua mencintai anak-anak mereka, namun, karena harga diri atau pengaruh eksternal, acapkali marah bahkan memukul anak-anaknya, sehingga membuat batin anak-anak terluka.
Dalam proses pertumbuhan, akan ada rasa ingin tahu atau penasaran.

Perilakunya dalam menemukan jawabannya kadang tak bisa dihindari akan membuat marah seseorang atau memicu konsekuensinya, sehingga orang dewasa memarahi anak-anak.
Lalu kadang memukul di depan orang banyak.
Akibatnya anak-anak menjadi murung, mengasingkan diri dan bertingkah laku aneh atau sulit menghadapi masalah yang membelitnya.

Perasaan anak-anak yang apabila “melakukan kesalahan lantas dimarahi dan dipukul” itu tersumbat di dalam hati.
Selalu merasa tidak bisa mencapai harapan orang dewasa, sehingga membuatnya tidak berani melakukan segala sesuatu itu dengan bebas tanpa beban.
Akibatnya anak-anak tidak tahan hidup di lingkungan masyarakat saat ini.
Banyak yang selalu beranggapan, bahwa “menghormati” anak-anak itu apa tidak berlebihan memanjakannya?
Namun sebenarnya menghormati bukan berarti memanjakan.
Jika orangtua memanjakan atau memberikan kasih sayang yang berlebihan pada anak-anak, akan membuat mereka terjebak (salah kaprah) bahwa dalam proses pertumbuhan itu menyenangkan dan tanpa beban.

Dalam hati ada suatu sikap yang angkuh (berbuat semaunya) dan sesosok yang merusak.
Hal itu merupakan suatu beban bagi keluarga setelah terjun ke masyarakat, dan ini adalah kegagalan pendidikan.
Menghormati anak-anak itu sejatinya harus bersabar, penuh kasih dan kemurahan hati.
Tidak seharusnya berkata pada anak-anak, “Sesuatu yang bisa dilakukan orang lain, mengapa kamu tidak bisa? Setiap hari tahunya hanya main saja, tidak belajar (sekolah), kelak mana bisa berhasil?”
Kita mungkin telah berusaha semaksimalnya.
Setiap orang memiliki bidang (bakat), watak atau keahlian yang tidak sama, jadi, wajar saja jika ada sesuatu yang tidak mampu dilakukannya.
Ibarat pribahasa, “Bagaimana orangtuanya (watak/perilaku), begitu juga dengan anak-anaknya. Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya.”
Sebenarnya anak-anak akan mengamati perilaku orangtua mereka dan menirunya.
Keluarga adalah lingkungan belajar, sekaligus merupakan tempat pertama dalam pendidikan.
Semua orang suka dihormati, selaksa makhluk hidup memiliki keunikannya masing-masing, hargai dan hormati perbedaan anak Anda dengan orang lain
Bantu anak-anak mengisi kekurangannya, dan percayalah bahwa anak-anak ini juga akan lebih terdidik. (jhony/yant/rp)