‘Jubah Gaib’ Salah Satu Sorotan Masalah Spionase Akademis Diberlakukannya Pembatasan Visa untuk Warga Tiongkok

Pada akhir Mei, Gedung Putih mengumumkan rencana untuk mempersingkat jangka waktu visa yang dikeluarkan untuk beberapa warga negara Tiongkok, sebagai cara untuk mencegah rezim Tiongkok agar tidak mendapatkan kekayaan intelektual yang dikembangkan di Amerika Serikat.

Dalam beberapa tahun terakhir, otoritas federal AS telah menuntut beberapa warga negara Tiongkok yang bekerja di akademisi Amerika yang mencuri teknologi eksklusif atas nama entitas di Tiongkok.

Mulai tanggal 11 Juni, Departemen Luar Negeri AS akan mulai menerapkan batasan-batasan ini, termasuk membatasi warga Tiongkok yang belajar di bidang tertentu, seperti robotika, penerbangan, dan manufaktur berteknologi tinggi, hingga visa satu tahun.

Semua itu adalah bidang-bidang yang rezim Tiongkok katakan merupakan tujuan-tujuan prioritas tinggi untuk sektor manufakturnya, yang digariskan dalam rencana ekonomi 10 tahunannya, Made in China 2025. Kebijakan industri ini juga menjadi target investigasi dari Kantor Perwakilan Perdagangan AS (USTR) baru-baru ini terhadap praktik pencurian kekayaan intelektual Tiongkok, yang ditugaskan oleh Presiden Donald Trump.

Ditemukan bahwa Tiongkok secara strategis mengarahkan perusahaan-perusahaan swasta dan milik negara untuk mengakuisisi perusahaan-perusahaan teknologi asing untuk memperoleh inovasi teknologi mereka; akhirnya, Tiongkok ingin mendominasi rantai pasokan teknologi global dan menggantikan pesaing-pesaing asing.

Untuk tujuan ini, beberapa warga negara Tiongkok yang bekerja di universitas-universitas AS telah mencuri teknologi yang bermanfaat bagi rezim Tiongkok.

Kasus Jubah Gaib

Kasus yang paling menonjol mungkin di Duke University, dijelaskan secara rinci dalam buku, “Spy Schools: How the CIA, FBI, and Foreign Intelligence Secretly Exploit America’s Universities” oleh jurnalis Daniel Golden, yang menceritakan bagaimana CIA, FBI, dan intelijen asing secara rahasia mengeksploitasi universitas-universitas Amerika

Pada tahun 2006, Liu Ruopeng datang ke Amerika Serikat untuk belajar PhD di Duke University, bekerja di laboratorium profesor David Smith, seorang ahli metamaterial, atau bahan-bahan yang memperlihatkan sesuatu yang berwujud atau tidak berwujud yang tidak ditemukan di alam.

Laboratorium Smith telah menciptakan prototipe jubah tembus pandang yang dapat menyembunyikan objek-objek dari gelombang mikro, memberinya penggunaan-penggunaan potensial untuk ponsel dan antena, menurut The Duke Chronicle, publikasi berita universitas tersebut. Faktanya, penelitian Smith didanai oleh Kantor Penelitian Ilmiah Angkatan Udara.

Liu mampu membawa teknologi itu saat pulang ke Tiongkok dan mendirikan institut penelitian dan perusahaan yang terdaftar di Hong Kong berfokus pada metamaterial, yang disebut KuangChi Science. Perusahaan tersebut saat ini bernilai sekitar $2 miliar. Media Tiongkok menyebut Liu sebagai ‘Elon Musk of China,’ sementara perusahaannya secara pribadi telah dikunjungi oleh pemimpin Tiongkok Xi Jinping dan pejabat tinggi lainnya.

Pada bulan Agustus 2017, perusahaan tersebut menginvestasikan 4 miliar yuan ($600 juta) untuk membeli 1,88 persen saham di operator telekomunikasi milik negara, China United Network Communications.

Pada awalnya, Liu menyarankan agar laboratorium Smith berkolaborasi dengan seseorang di Tiongkok, di Universitas Tenggara di Kota Nanjing. Rekomendasi yang tampaknya polos tersebut akhirnya menyebabkan tim laboratorium universitas Tiongkok mengunjungi Duke, mengambil foto laboratorium Smith, mereproduksi peralatan, dan menciptakan laboratorium di Tiongkok. Liu juga menyampaikan data dan ide-ide penelitian yang dikembangkan oleh rekan-rekan Duke-nya, dan menyimpan informasi tentang eksperimen-eksperimennya di situs web yang dihosting oleh server Tiongkok, menurut buku Golden.

“Aktivitas-aktivitasnya telah merusak keunggulan Amerika Serikat dalam teknologi baru yang suatu hari nanti dapat menyembunyikan jet tempur, tank, atau drone (pesawat tanpa awak), yang mempengaruhi hasil dari perang atau operasi rahasia. Begitu Liu kembali ke Tiongkok, pemerintah yang berterima kasih telah menginvestasikan jutaan dolar dalam usaha awalnya,” tulis Golden.

Biro Investigasi Federal (FBI) menyelidiki aktivitas Liu tetapi pada akhirnya tidak menuduhnya melakukan kejahatan.

Golden juga menemukan bahwa Liu meyakinkan Smith untuk bergabung dengan Proyek 111 rezim Tiongkok, sebuah inisiatif untuk merekrut para ilmuwan dari luar Tiongkok untuk bekerja di kampus universitas Tiongkok. Sementara itu, laboratorium universitas Tiongkok didanai oleh Proyek 111 dan sebuah yayasan ilmu pengetahuan nasional Tiongkok.

Smith semakin waspada terhadap muridnya. Pada bulan April 2009, Smith menyita kunci Liu untuk laboratorium. Meskipun demikian, Liu telah menerima gelar doktornya.

Golden percaya bahwa kasus tersebut adalah di luar kasus sederhana tentang spionase ekonomi. “Ada hubungan-hubungan antara dia dengan pemerintah asing yang harus meningkatkan pengawasan,” katanya kepada Duke Chronicle.

Kasus-kasus lain yang telah melibatkan akademisi yang kemudian dipekerjakan di Amerika Serikat dan mencuri teknologi untuk dibawa ke Tiongkok, termasuk kasus 2015 yang melibatkan enam warga negara Tiongkok yang bekerja di perusahaan-perusahaan AS, Avago Technologies dan Skyworks Solutions. Mereka berkomplot untuk mendirikan usaha patungan di Tiongkok untuk memproduksi dan menjual peralatan dengan menggunakan teknologi nirkabel (wireless) yang dicuri, menurut sebuah surat dakwaan. (ran)

ErabaruNews