Tiongkok Bujuk dan Satukan Rakyat di Tengah Perang Perdagangan AS

Sejak perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok secara resmi dimulai pada 6 Juli setelah tarif diberlakukan, media pemerintah Tiongkok telah menjadi terlalu bersemangat untuk mempengaruhi opini publik.

Secara khusus, media negara telah menyalakan rasa nasionalis untuk membujuk rakyat mendukung Tiongkok “selama pertempuran ini berada di dalam nasib bangsa” yang seperti China Media Group, radio negara dan televisi, gambarkan.

Dalam serangkaian artikel yang diterbitkan oleh China Media Group sejak 10 Juli, penyiar mendesak warga untuk “menahan kerugian sementara dalam kehidupan sehari-hari mereka” untuk “mengatasi masalah bersama dengan negara,” mengacu pada setiap kenaikan harga atau kekurangan barang yang dapat timbul setelah tarif diberlakukan.

Dikatakan bahwa, karena “hanya dengan negara akan ada sebuah rumah,” para warga Tiongkok harus menanggung beban dari konsekuensi-konsekuaensi adanya perang perdagangan tersebut.

Meskipun Beijing telah memerintahkan media negara untuk mengecilkan kabar perang dagang dan menahan diri dari menghina Presiden AS Donald Trump, seperti dilaporkan oleh Reuters dan South China Morning Post, tanggapan resmi telah agresif dalam menegur Amerika Serikat dan menyangkal bahwa Tiongkok telah terlibat dalam praktik-praktik perdagangan yang tidak adil.

Pada 12 Juli, kementerian perdagangan Tiongkok mengeluarkan pernyataan yang secara tegas menolak bahwa mereka telah mencuri teknologi AS, sambil menuduh bahwa Amerika Serikat telah melanggar ketentuan kesepakatan timbal balik “guna melayani kebutuhan politik negara.”

Juru bicara kementerian luar negeri Hua Chunying mengikuti pada 13 Juli dengan upaya yang secara logis telah cacat dalam menyanggah bahwa Tiongkok telah melakukan pencurian properti intelektual, seperti yang diklaim Amerika Serikat dalam laporan pukulan berat oleh Kantor Perwakilan Perdagangan AS.

Hua mengatakan bahwa pada bulan Desember 2017, laporan oleh Organisasi Kekayaan Intelektual Dunia (WIPO), sebuah badan PBB, menyimpulkan bahwa Kantor Kekayaan Intelektual Negara Tiongkok telah menerima 1,3 juta aplikasi paten (pengajuan tentang hak paten tunggal untuk sebuah penemuan), menjadikannya jumlah tertinggi dunia. Dan pada Maret 2018, angka WIPO mengungkapkan bahwa Tiongkok telah mengajukan lebih banyak aplikasi paten internasional pada tahun 2017 daripada negara lain, selain Amerika Serikat.

“Ini berarti Tiongkok telah menjadi negara adikuasa yang secara independen menciptakan kekayaan intelektual,” kata Hua, menurut media yang dikelola pemerintah Xinhua.

Namun para netizen tidak menerima kebenaran argumen tersebut. Pada Sina Weibo, sebuah platform yang mirip dengan Twitter, seorang pengguna dengan nama “Wei zhi yan” mencatat bahwa ketika warga Tiongkok menderita dari kebijakan satu-anak yang gagal atau dari harga yang terlalu tinggi pada obat-obatan, rezim Tiongkok tidak berbicara tentang “mengatasi masalah bersama-sama,” hanya ketika “pemerintahan-pemerintahan asing mengancam untuk melakukan sesuatu.”

Salah satu posting blog yang beredar luas sebelum dihapus oleh sensor internet berbunyi, “Jika Anda benar-benar menginginkan rakyat mengatasi masalah dengan tulus bersama pemerintah, maka segera publikasikan aset-aset pribadi milik para pejabat pemerintah dan status-status pekerjaan dari keluarga dan anak-anak mereka,” menunjuk pada korupsi dan kronisme yang merajalela yang telah membuat frustrasi rakyat biasa.

Pembalasan

Sementara itu, sebuah lembaga penelitian di Universitas Tsinghua, universitas elit yang memiliki hubungan erat dengan negara, merilis laporan pada bulan Juli menganalisis “strategi-strategi perdagangan” dalam hubungan AS-Tiongkok.

Center for China in the World Economy tersebut mengisyaratkan bahwa Tiongkok dapat membalas dengan memberi sanksi kepada Apple.

Banyak produk Apple, seperti iPhone, diproduksi di Tiongkok dan dengan demikian tidak akan dikenakan tarif.

Laporan tersebut mencatat bahwa pada tahun 2016, konsumen Tiongkok membeli lebih dari 44 juta iPhone, terhitung 21 persen dari penjualan global.

Jika Amerika Serikat “terus menghukum [perusahaan telekomunikasi Tiongkok] Huawei dan perusahaan Tiongkok lainnya, Tiongkok dapat memberikan sanksi kepada Apple untuk menyerang balik terhadap perusahaan-perusahaan Amerika,” tulis laporan tersebut.

Mary Lovely, seorang profesor ekonomi di Syracuse University, mengatakan kepada The Wall Street Journal bahwa rezim Tiongkok dapat menunda produk-produk Apple ketika melewati pabean, atau memprovokasi para konsumen untuk memboikot Apple.

Seorang mantan pejabat obat AS juga berspekulasi bahwa Tiongkok dapat melakukan serangan balik dengan menolak bekerja dengan pasukan AS dalam memerangi pembuatan dan penjualan opioid sintetis ilegal, yang sebagian besar berasal dari Tiongkok. Amerika Serikat saat ini menghadapi epidemi opioid.

Pemimpin Tiongkok Xi Jinping telah bersumpah untuk bekerja sama dengan Amerika Serikat ketika Trump mengunjungi Tiongkok November lalu.

“Pada akhirnya, mereka [agen-agen penegak obat-obatan Tiongkok] akan menjadi pion politik apapun yang ingin dilakukan oleh pemerintah Tiongkok,” kata Jeffrey Higgins, mantan agen khusus pengawas Administrasi Penegakan Obat-Obatan, dalam wawancara dengan Kaiser Health News. (ran)

ErabaruNews