Latihan Perang Kehormatan NATO Bersebelahan dengan Agenda Militer Rusia

Tbilisi – Latihan perang bersama bertajuk ‘Noble Partner 2018’ digelar oleh Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) di wilayah Georgia. Latihan gabungan yang berakhir pada 15 Agustus 2018 ini adalah yang keempat dari latihan militer pimpinan NATO.

Latihan berskala besar itu berlangsung di wilayah pangkalan militer Vaziani di pinggiran ibukota Tbilisi. Latihan perang melibatkan 1.300 pasukan Georgia, 1.170 pasukan AS, dan 500 tentara gabungan dari 11 negara lain.

Selain Georgia, sejumlah peserta non-NATO juga turut serta. Mereka adalah Ukraina, Armenia, dan Azerbaijan, yang semuanya adalah negara merdeka bekas bagian dari Uni Soviet.

Latihan itu berlangsung selama dua minggu pertama pada bulan Agustus. Waktunya bertepatan dengan peringatan 10 tahun perang Georgia-Rusia. Berbicara pada upacara penutupan, Menteri Pertahanan Georgia, Levan Izoria menegaskan kembali bahwa Georgia ingin mengembalikan wilayah yang diakui sebagai wilayah Georgia.

Bagian itu adalah negara-negara separatis Abkhazia dan Ossetia Selatan. Namun, Georgia hanya akan melakukan upaya integrasi dengan cara damai.

Pada saat yang bersamaan, Rusia juga mengadakan latihan militer sendiri. Rusia memulai latihan militer pada 1 Agustus dan berakhir pada 17 Agustus.

Latihan taktis Rusia melibatkan 6.000 prajurit darat, udara, dan air. Sekitar 2.000 unit perangkat keras militer digunakan, seperti dilaporkan oleh kantor berita TASS.

Latihan yang berlangsung di sejumlah wilayah Rusia termasuk Volgograd, Rostov, Kuban, Stavropol, dan Krimea. Kaukasus Utara Adyghea, Ossetia Utara, Dagestan dan Ingushetia juga terlibat.

Jadi, ketika NATO dan negara-negara non-NATO berlatih bersama di Georgia, Rusia juga menjalankan latihan militer tepat di sebelah mereka di Ossetia Selatan dan Abkhazia.

Ossetia Selatan secara khusus memiliki hubungan yang sangat sensitif dengan Georgia dan Rusia.

Kemerdekaan Ossetia Selatan dari Georgia
Zviad Gamsakhurdia terpilih sebagai presiden Georgia pada tahun 1990. Dia memimpin dengan slogan ‘Georgia untuk Georgia’, yang menginginkan kemerdekaan dari Uni Soviet.

Sementara itu Ossetia Selatan, ketika masih menjadi bagian dari Uni Soviet mengupayakan penyatuan dengan Ossetia Utara, daerah otonomi dari Georgia yang merdeka. Namun, Ossetia Selatan ingin tetap bergabung dengan Uni Soviet.

Georgia menolak keinginan itu, dan dalam tanggapannya melarang semua partai politik Ossetia Selatan menjadi peserta pemilihan parlemen pada tahun 1990.

Untuk memboikot pemilu Georgia, Ossetia Selatan menggelar pemilihan-umum-nya sendiri di tahun yang sama, yang tidak memiliki dasar hukum dalam sistem hukum Georgia. Oleh karena itu tidak ada pengakuan atas kemerdekaannya, menurut laporan Human Rights Watch.

USSR kemudian mengirim tentaranya ke Ossetia Selatan untuk membantu menjaga ketertiban. Pemerintah Georgia menganggap upaya ini sebagai campur tangan Rusia. Ketika Georgia menuntut Rusia menarik pasukannya dan menggantikan mereka dengan militer Georgia, Rusia mengabaikannya.

Ketika perang saudara pecah di Ossetia Selatan pada tahun 1991, puluhan ribu orang meninggal. Gencatan senjata disetujui pada tahun 1992.

Georgia Bertempur untuk Mengambil Kembali Ossetia Selatan
Ketika Presiden Mikheil Saakashvili memenangkan pemilihan dan menjabat pada tahun 2004, dia menegaskan ingin memulihkan wilayah asli Georgia.

“Kami akan bebas (merdeka) hanya setelah bendera paling indah di dunia, berada berkibar di atas Roki Tunnel dan Psou,” kata Saakashvili, mengacu pada bendera Ossetia Selatan dan Abkhazia, lapor Civil.ge.

Pada 8 Agustus 2008, Georgia memimpin serangan artileri berkelanjutan terhadap Tskhinvali, ibu kota Ossetia Selatan. Angkatan bersenjata Rusia membantu Ossetia Selatan dan mendorong mundur kembali pasukan Georgia. Mereka kemudian terus menyerang pasukan Georgia, jauh setelah mereka mundur ke utara.

Sebuah laporan investigasi independen oleh Max Planck Institute menyalahkan Saakashvili karena memicu perang dengan Ossetia Selatan pada tahun 2008. Tetapi mereka juga mempertanyakan apakah Rusia melakukan pembelaan diri terlalu jauh.

“Tampaknya aksi militer Rusia jauh melampaui batas pertahanan yang wajar. Ini berlaku untuk semua jenis tindakan besar dan diperpanjang.”

Konflik mengakibatkan kerugian besar di kedua belah pihak.

“Pada akhirnya, pihak Georgia mengklaim kehilangan 170 prajurit, 14 polisi, dan 228 warga sipil tewas dan 1.747 terluka. Pihak Rusia mengklaim kehilangan 67 prajurit yang tewas dan 283 orang lainnya terluka.” (Alan Cheung dan Reuters/The Epoch Times/waa)

Video Pilihan :

https://youtu.be/fTKcu82AtsA

RELATED ARTICLES
- Advertisment -

Most Popular