Jerman Khawatir Tentang Serangan Siber ‘Sleeper’ dari Tiongkok dan Penyerang Lain

BERLIN — Semakin banyak negara dapat meretas ke jaringan-jaringan komputer pribadi dan memasang perangkat lunak berbahaya untuk menyabot infrastruktur negara lain, kata kepala mata-mata domestik Jerman.

Tiongkok, Rusia, dan negara-negara lain terus mencoba masuk ke komputer perusahaan-perusahaan Jerman untuk mencuri informasi industri yang berharga, kata Hans-Georg Maassen, kepala badan intelijen domestik BfV, pada konferensi keamanan.

Namun para pejabat intelijen semakin khawatir tentang apa yang disebut “cyber bombs” (bom maya) yang dapat ditanam di jaringan perusahaan yang tidak menaruh curiga dan kemudian diledakkan.

“Dalam kasus Tiongkok, Rusia, kami jelas melihat tindakan-tindakan seperti spionase, tetapi itu bisa juga menjadi sabotase dengan tujuan menyerang perusahaan-perusahaan di Jerman, perusahaan-perusahaan infrastruktur dalam kemampuan paling luas, di beberapa titik masa depan,” kata Maassen. “Itu adalah skenario yang kami lihat dengan penuh perhatian.”

Para ahli siber (cyber) ​​memperingatkan bahwa Jerman, dengan keahlian teknologinya yang tinggi, adalah sasaran yang sangat menarik bagi para penyerang dunia maya, termasuk aktor-aktor negara.

Sebuah perusahaan dapat benar-benar tidak menyadari serangan siber yang telah digunakan untuk menanam malware, juga dikenal sebagai “bom maya,” kata Maassen. Kemudian bom itu dapat mematikan jaringan listrik, misalnya, mungkin selama masa ketegangan geopolitik.

Dia mengatakan serangan semacam itu bisa datang dari berbagai negara yang telah memperluas keahlian siber mereka. Dalam laporan tahunannya, badan tersebut menyebut kemajuan-kemajuan pesat dalam teknologi siber oleh Iran, meskipun ia tidak secara khusus menguraikan kekhawatiran tentang serangan-serangan tak terduga (sleeper attack) seperti itu.

Sleeper attack adalah istilah untuk serangan, sabotase atau mata-mata yang ditanam di wilayah musuh terlebih dahulu untuk digunakan di masa depan, tetapi saat ini tidak aktif, sampai diaktifkan oleh sinyal atau isyarat yang sudah diatur sebelumnya.

Jerman juga semakin khawatir bahwa Tiongkok sedang berusaha untuk mendapatkan posisi dominan di sektor teknologi utama dengan berinvestasi di perusahaan-perusahaan Jerman sebagai bagian dari penggerak rencana “Made in China 2025“-nya yang lebih besar, kata Maassen. Rencana tersebut, dirilis oleh Beijing pada tahun 2015, telah membuat daftar 10 sektor teknologi tinggi untuk pembangunan yang ditargetkan sehingga Tiongkok dapat menjadi raksasa manufaktur berteknologi tinggi pada tahun 2025.

“Itu adalah proyek politik di mana pemerintah tersebut menghabiskan banyak uang, tidak hanya untuk berinvestasi, tetapi untuk membeli informasi demi kemajuan teknisnya sendiri, atau untuk meraih posisi di bidang tertentu yang akan membuat tidak mungkin bagi negara-negara lain untuk melanjutkan perkembangan-perkembangan di sana,” katanya.

Pernyataan Maassen datang di tengah dorongan oleh Jerman dan negara-negara Uni Eropa lainnya untuk melindungi teknologi-teknologi sensitif dari pengambilalihan Tiongkok.

Pada bulan Desember, BfV juga memperingatkan tentang upaya-upaya Tiongkok dalam menggunakan akun-akun palsu LinkedIn untuk merekrut para eksekutif dan peneliti bisnis Jerman sebagai mata-mata. (ran)