Wabah TBC Diabaikan Membuat Siswa-siwa SMA Tiongkok Mencoba Bunuh Diri

Serangkaian kasus tuberkulosis (TBC) di sebuah sekolah menengah di Provinsi Hunan, Tiongkok selatan, telah menyebabkan kritik keras terhadap administrasi sekolah dan pihak-pihak berwenang setempat setelah upaya bunuh diri tiga siswa yang menderita penyakit tersebut.

Hanya beberapa hari sebelum upaya bunuh diri seorang siswa perempuan pada 9 September, seorang pengacara yang mewakili para korban wabah tersebut telah menerima ancaman dari otoritas hukum bahwa mereka akan mencabut lisensi prakteknya.

Pengacara, Chen Keyun, mengatakan kepada NTD Television bahwa gadis tersebut, seorang siswa kelas elit Sekolah Tinggi No. 4 di Kabupaten Taojiang, telah mengidap tuberkulosis paru-paru Agustus lalu dan kinerja akademisnya serta kondisi mentalnya sangat menderita.

Menurut Chen, semua siswa di kelas tersebut berada di bawah tekanan untuk mempertahankan nilai mereka agar dapat diterima di universitas-universitas terbaik. Namun gadis tersebut mengalami perforasi yang parah di kedua paru-paru serta beberapa efek samping dari obat yang dia butuhkan untuk mengendalikan penyakitnya. Pada bulan Juni, ia absen dari ujian masuk perguruan tinggi nasional Tiongkok, dan tidak dapat pindah ke sekolah menengah lain untuk melanjutkan studinya.

Chen mengatakan gadis tersebut adalah pasien tuberkulosis ketiga yang mencoba bunuh diri di sekolah. Semua orang terselamatkan, bagaimanapun, upaya Chen untuk mengajukan tuntutan atas nama mereka telah menyebabkan pihak berwenang melihatnya sebagai gangguan.

“Pada bulan Maret, Asosiasi Pengacara Guangzhou mengeluarkan pemberitahuan penghindaran pajak untuk saya untuk memaksa saya menghentikan upaya perwakilan [kasus ini],” kata Chen kepada NTD Television. “Pada 3 September, Departemen Kehakiman Provinsi Guangdong [yang berbatasan dengan Provinsi Hunan] memanggil saya dan mengatakan lisensi pengacara saya akan dicabut.”

Chen mengatakan dia tidak akan menyerah karena mendesaknya kasus tersebut. Sementara itu, otoritas kesehatan setempat belum mengeluarkan informasi tentang penyelidikan wabah yang terjadi, meskipun dua wakil direktur tingkat daerah dari lembaga kesehatan serta beberapa karyawan lainnya telah dipecat karena kelalaian mereka.

Wabah Diabaikan

Ding Ling, nama samaran seorang siswa perempuan dari kelas di Sekolah Tinggi Taojiang No. 4 tersebut mengatakan kepada The Epoch Times bahwa salah satu teman sekelasnya telah batuk di ruang kelas sejak Juni 2016, dan bahwa dia berkata, “Saya merasa sepertinya saya akan batuk paru-paru.”

Untuk mempertahankan nilainya, anak tersebut tidak periksa ke dokter sampai akhir Juli ketika kondisinya menjadi terlalu buruk untuk melanjutkan. Baik sekolah maupun rumah sakit tidak mengikuti peraturan hukum yang mengharuskan semua kasus tuberkulosis paru-paru, penyakit infeksi kelas C, dilaporkan dalam 24 jam setelah diagnosis, dan bahwa semua guru dan siswa menerima obat untuk mencegah penyebaran penyakit tersebut.

Ding Ling hanya tahu bahwa makin banyak siswa yang terjangkit tuberkulosis sepanjang tahun 2016 ketika seorang teman dekatnya jatuh sakit pada bulan Februari 2017. Namun sekolah tersebut hanya mengambil tindakan pada bulan Agustus, dimana banyak siswa sudah terinfeksi dan batuk. Siswa diberi beberapa obat dasar, tetapi tidak diizinkan meninggalkan sekolah atau memberi masker higienis.

“Kepala sekolah mengatakan bahwa kami tidak boleh mengambil jeda waktu belajar kecuali seseorang meninggal,” kata Ding Ling.

Menurut Ding Ling, 75 siswa didiagnosis dengan tuberkulosis paru pada November 2017. “Lebih dari 50 dari mereka berasal dari kelas saya, dan sebagian besar lainnya adalah siswa di kelas lain yang pindah dari kelas saya,” katanya.

Siswa lain di kelas tersebut, bermarga Liu, mengatakan kepada The Epoch Times bahwa ketika orang tuanya dan lebih dari 30 orang lainnya pergi untuk mengajukan petisi kepada pemerintah provinsi pada 15 November 2017, mereka dibubarkan oleh polisi. Satu orang tua ditangkap dan ditahan selama lebih dari 20 jam.

Huang, ayah dari salah satu siswa, mengatakan kepada Epoch Times, “Di Taojiang, 100 hingga 200 siswa didiagnosis tuberkulosis paru-paru. Banyak yang pindah ke kota lain setelah didiagnosis mengidap penyakit itu.”

Administrasi sekolah hanya peduli dengan tingkat penerimaan perguruan tinggi, kata Huang, karena hal itu akan mempengaruhi posisi dan gaji mereka. Akibatnya, siswa dipaksa untuk belajar tanpa istirahat yang cukup, bahkan jika mereka menghadapi perlakuan intimidasi dan menyebarkan penyakit tersebut ke orang lain. (ran)

https://www.youtube.com/watch?v=rvIS2eUnc7M