Erabaru.net. Semasa dinasti Qing, di sebuah tempat yang disebut “She Shen Ya (jurang pengorbanan)” di Sai-wai (sekarang Chicheng County, Provinsi Hebei, Tiongkok), beredar sebuah kisah tentang seorang anak perempuan dan menantu perempuan yang memanjatkan do’a untuk menyelamatkan ibunya.
Alkisah di sebuah desa yang disebut Cang Shang Bao yang jaraknya sekitar 8 mil dari Kota Yun zhou, ada seorang wanita tua sakit parah. Mei Mei (nama samaran) anak perempun wanita tua itu tampak gelisah melihat ibunya dalam kondisi kritis, lalu ia berkata pada kakak iparnya : “Sudah lebih dari satu minggu, tapi penyakit ibu masih belum membaik juga. Ayo kita ke bawah lereng gunung memanjatkan do’a untuk kesembuhan ibu.” Kakak iparnya menganggukkan kepalanya, tanda setuju.
Lalu, Mei Mei dan kaka iparnya itu pun tiba di bawah lereng yang jauhnya beberapa mil dari desa. Tebing yang menjulang menembus awan itu ada beberapa kaki tingginya. Kedua lereng di sebelah barat dan timur tampak berdiri tegak saling berhadap-hadapan, gemercik air terdengar mengalir di bawah lereng, sejak dahulu kala, tempat itu dikenal sebagai jalur penting yang strategis, merupakan tempat yang diperebutkan para penyiasat perang.
Mei Mei kemudian berlutut di bawah lereng sambil memanjatkan do’a : “Para Dewa yang saya hormati, ibu saya sekarang sakit parah, dan dalam kondisi kritis. Jika ibu saya bisa sembuh, saya bersedia meloncat turun dari tebing ini, sebagai penggganti nyawa/hidup ibuku!”
Sementara itu, kakak iparnya yang berlutut di sebelahnya itu juga memanjatkan do’a : “Jika ibu mertua saya bisa sembuh, saya juga bersedia meloncat turun dari tebing ini, sebagai pengganti nyawa ibu mertua saya !”
Sejak setelah anak dan menantunya memanjatkan do’a, penyakit wanita tua itu memang benar-benar semakin baik dan sehat dari hari ke hari. Suatu hari Mei Mei berkata pada kakak iparnya : “Penyakit ibu sekarang sudah sembuh. Karena kita sudah berjanji, maka janji itu harus kita tepati, ayo kita penuhi janji kita?”
Singkat cerita, Mei Mei dan kaka iparnya itu mencapai puncak gunung dengan nafas terengah-engah dan basah bermandi keringat. Setibanya di puncak gunung itu, Mei Mei lalu berkata : “Kakak ipar, saya meloncat dulu.” Mei Mei segera meloncat seusai berkata pada kakak iparnya, bakti sang anak itu menyentuh perasaan para Dewa, saat tubuh Mei Mei melayang jatuh ke dalam jurang , tiba-tiba melayang sebuah takhta teratai. Anak perempuan itu mendapati dirinya sudah duduk di atas takhta teratai dengan stabil, dan perlahan-lahan naik ke angkasa.
Kakak ipar yang sedang gelisah dan tegang di atas lereng gunung itu, melihat adik iparnya sudah duduk di atas takhta teratai, baru berani berdiri dan meloncat turun ke jurang. Namun, tidak tampak adanya takhta teratai, dan ia justru tewas mengenaskan di bawah jurang. Tak lama kemudian, jasadnya berubah menjadi seekor burung dan terbang ke angkasa, sementara dari paruhnya terus berteriak : “ Adik, tunggu…tunggu.”
Demi memperingati bakti dari anak perempuan itu, generasi belakangan kemudian memahat sebuah patung batu dalam posisi duduk bersila dengan mengenakan kostum zaman dinasti. Sementara itu, di bagian bawah patung terukir 4 huruf besar “She Shen Da Shi (pahlawan yang mengorbankan diri), dan hingga kini masih terlihat jelas.
Orang-orang dari angkatan tua di sana mengatakan : “Rasanya aneh juga, karena hanya terdengar suara kicauan burung dari jenis itu di “jurang pengorbanan”, tidak ada di tempat lain.” “Memanjatkan do’a itu bukan mainan, kalau sudah mengucapkan janji, maka janji itu harus ditepati, tulus atau tidak akibatnya juga tidak sama.” Demikian kata orang-orang tua di sana.(Jhn/Yan)