Erabaru.net. Sebagai anak, kita memang sudah sepantasnya untuk berbakti kepada orangtua yang sudah melahirkan kita. Dan sebagai orang Timur, kita diajarkan tata krama untuk menghormati mereka yang lebih tua.
Ada seorang pemuda bernama Xiao Khai. Saat berusia tujuh tahun, ayahnya pergi meninggalkannya selamanya, tak lama kemudian ibunya pun kabur meninggalkannya. Sejak saat itu, dia hidup bersama neneknya yang sudah tua dan sakit-sakitan.
Karena ditinggal pergi kedua orangtuanya, Xiao Khai dan neneknya pun hidup dalam kesusahan, sehari-hari hanya makan sayuran acar dan lobak. Sangat jarang bisa menikmati daging, kalau pun ada, cucu dan nenek ini merasa sayang memakannya, sang nenek memberikan daging ke cucunya, kemudian cucunya memberikan lagi untuk neneknya.
Meski hidup serba memprihatinkan, tapi nenek masih sanggup menyekolahkan Xiao Khai hingga SMP dari hasil memulung.
Saat Xiao khai duduk di bangku kelas tiga SMP, kondisi kesehatan neneknya menjadi semakin buruk. Untuk mengurus neneknya, Xiao Khai pun berhenti dari sekolah, namun beberapa bulan kemudian nenek nya meninggal.
Kepergian neneknya menjadi kesedihan terbesar bagi Xiao Khai, karena saat itu dia belum bisa memberikan hidup yang lebih baik untuk neneknya meski sehari pun.
Setelah neneknya meninggal, Xiao Khai berkelana dan bekerja, namun, karena berpendidikan rendah, upah yang didapatkan pun tidak seberapa.
Belakangan seorang rekan kerjanya mengatakan kepadanya bahwa gaji kerja di tambang sangat tinggi, rekan kerjanya menawarkan pekerjaan itu karena melihat Xiao khai memiliki tenaga yang kuat.
Tanpa banyak pertimbangan lagi, Xiao Khai menerima tawaran rekannya, kerja di pertambangan. Dan sejak itu Xiao Khai kerja di pertambangan selama lebih dari sepuluh tahun.
Beberapa hari yang lalu, Xiao Khai bermimpi didatangi neneknya dan memberitahunya: Xiao Khai, nenek tidak punya uang lagi, nanti kalau pulang kamu bawakan untuk nenek ya .
Xiao Khai terbangun seketika dari tidurnya. Sebelumnya dia juga pernah bermimpi tentang neneknya, tapi mimpi tentang hari-hari yang dilalui bersama neneknya, namun, kali ini mimpinya agak beda.
Xiao Khai pun merenungi mimpinya, dia berpikir mungkin neneknya benar-benar tidak punya uang. Sebelum Festival Qing Ming (ziarah kubur) dia minta izin untuk sembahyang di makam neneknya, tapi ditolak mandor. Namun, bagaimana pun juga, kali ini dia harus pulang untuk sembahyang di makam nenek dan membakar “uang hantu” untuknya.
Paginya, saat fajar menyingsing, dia mengajukan izin lagi ke mandornya, tetapi lagi-lagi ditolak. Akhirnya Xiao Khai menceritakan tentang mimpinya, namun, sang mandor tidak menggubrisnya.
”Sekarang masa konstruksinya sangat ketat, kamu hanya mencari-cari alasan untuk bermalas-malasan ya, konyol, kau tipu saja anak-anak, huh…dasar, pakai alasan mimpi lagi, mana ada hal-hal konyol seperti itu, sudah sana kerja saja,” kata mandornya.
Xiao Khai tidak bisa berbuat apa-apa, dia pikir nanti saja minta izin lagi setelah kerjaan hari ini selesai. Malamnya, Xiao Khai bermimpi lagi dengan suasana yang sama, dan dalam mimpinya itu neneknya seakan memelas :” Xiao Khai, nenek mohon cepatlah beri nenek uang, kalau tidak nenek akan mati kelaparan.”
Xiao Khai tidak bisa tidur lagi setelah terbangun malam itu, dia mengenang kembali masa-masa susah bersama neneknya yang dengan susah payah membesarkannya ketika itu, dan air matanya pun berlinang tanpa bisa ditahannya. Seketika itu dia pun memutuskan untuk pulang apa pun risikonya.
Keesokan harinya, dia minta izin lagi, dan menunjukkan tekadnya meski sang mandor tidak menggubrisnya. Hingga akhirnya mandornya pun emosi, dan berkata dengan lantang : “Saya tidak akan mencegahmu kalau mau pulang, tapi gajimu akan saya potong setengah bulan kalau pulang, jadi pikirkanlah sendiri.”
Xiao Khai merasa sudah kerja mati-matian, hanya minta izin selama dua, tiga hari saja mau potong setengah bulan gaji. Xiao Khai bermaksud berdebat dengan mandornya, tapi dia berusaha menahan gejolak perasaannya yang hampir meluap.
Gaji yang tidak seberapa itu tidak ada artinya dibandingkan dengan nenek, gumamnya. Lalu dia bergegas mengemasi barang-barangnya dan segera naik kereta pulang ke kampung.
Keesokannya, Xiao Khai tiba di rumah, dia mengambil sekantong besar “uang hantu” dan pergi ke kuburan neneknya.
Xiao Khai membersihkan makam neneknya dan membakar sekantong besar “uang hantu” untuk neneknya di alam sana. Di depan batu nisan neneknya, Xiao Khai meminta maaf kepada neneknya karena tidak berbakti dan membuat nenekmya susah semasa masih hidup.
Setelah menginap satu malam di kampung. Xiao Khai bergegas kembali ke pertambangan. Namun, pemandangan di depan matanya membuatnya terperangah, dia melihat banyak excavator sedang sibuk mengais reruntuhan, dan beberapa mobil polisi tampak diparkir tidak jauh dari lokasi.
Xiao Khai bertanya kepada seseorang yang berjalan di depannya, dan baru tahu ternyata pada hari kedua sore saat dia meninggalkan lokasi pertambangan untuk pulang ke kampung, pertambangan itu tiba-tiba runtuh.
Para pekerja yang sedang bekerja masih terjebak di dalam, dan excavator yang telah menggali selama satu malam juga tidak menemukan seorang pekerja pun, entah bagaiamana dengan nasib mereka, apakah masih hidup atau mati, tidak diketahui secara pasti.
Xiao Khai bergidik dan tak bisa menahan ngerinya membayangkan tragedi di depan matanya. dan tiba-tiba saja dia teringat mimpi didatangi neneknya. Mungkinkah nenek telah tahu sebelumnya akan kejadian itu, sehingga sengaja berulang kali mengunjungiku dalam mimpi, agar aku terhindar dari bencana, gumam Xiao Khai.
Berpikir sampai disitu, Xiao Khai segera berjongkok ke arah rumah, dan berseru kencang : “Nenek, Neneeek …”(jhn/yant)
Apakah Anda menyukai artikel ini? Jangan lupa untuk membagikannya pada teman Anda! Terimakasih.
Video Rekomendasi:
https://www.youtube.com/watch?v=WrPVonnK2qI