Erabaru.net. Saat ayah meninggal karena kecelakaan kerja aku baru berusia tiga tahun. Ibu menikah lagi dan kami tinggal bersama dengan ayah tiriku hingga kini.
Ayah tiriku adalah seorang petani yang sederhana. Karena bertambahnya anggota keluarga, maka ekonomi keluarga otomatis bertambah berat. Selain menggarap sawahnya, ayah juga bekerja di pabrik semen dekat desa. Setiap hari banting tulang dari pagi sampai malam.
Meskipun ayah tiri, tapi dia selalu memberi perhatian padaku. Dia selalu membelai kepalaku dan menanyakan tentang pelajaranku setiap saat pulang sekolah.
Karena takut aku merasa diabaikan, ibu dan ayah tiriku baru merencanakan untuk memiliki anak setelah aku cukup dewasa nanti.
Saat aku berusia 10 tahun, aku kehilangan ibu yang meninggal karena kecelakaan lalu lintas. Sejak itu, aku tinggal bersama ayah tiri, kakek dan nenek.
Karena kondisi kakek-nenek yang sakit-sakitan, sama-sama memiliki penyakit jantung, jadi harus selalu minum obat sepanjang tahun, dan daya tahan tubuh yang buruk, sehingga kerap bolak balik ke rumah sakit. Ditambah lagi, aku akan segera masuk sekolah menengah, sehingga biaya pengeluaran pun semakin besar, jadi ayah tiriku memutuskan untuk bekerja di di luar daerah.
Setelah ayah bekerja di daerah, dia selalu mengirim uang setiap bulan. Namun, sejak kepergiannya ke kota untuk bekerja sampai sekarang, sudah lima tahun dia tidak pernah pulang.
Aku benar-benar merindukannya, aku berencana untuk mencari ayah. Sebelum berangkat untuk mencari ayah, aku berpesan pada kakek-nenek tentang obat-obatan yang harus mereka makan yang telah aku siapkan sebelumnya.

Ketika aku pergi mencarinya berdasarkan alamat yang tertulis dalam suratnya, aku melihat itu adalah pabrik tambang batu bara.
Dari kejauhan, samar-samar aku melihat bayangan sesosok pria, terlihat agak familiar sekaligus asing, mirip ayahku, tetapi jauh lebih kurus dari ayah sebelumnya.
Dia duduk di depan pintu sambil mengunyah roti kukus. Aku melihat lagi lebih seksama, dan ternyata itu memang ayahku.
Di sebelahnya, tampak sesosok pria lain yang wajahnya juga hitam penuh dengan abu batubara, mereka mengobrol santai, seperti berbicara tentang Tahun Baru.
“Tahun Baru kami biasanya makan pangsit isian kubis, daging cincang dan sebagainya, enak sekali,” kata ayah.
“Kalau Tahun Baru kami di kampung, biasanya makan hot pot, makan dalam keadaan panas mengepulkan asap, badan pun terasa hangat,” kata teman ayah.
“Ah, lima tahun sudah aku tidak pulang, entah bagaimana keadaan putriku sekarang, aku juga tidak tahu bagaimana dengan kondisi orangtuaku, apakah sehat-sehat saja” kata ayah seakan bergumam sambil memasukkan roti ke mulutnya.
“Bang, apa belum berencana mau pulang juga tahun ini? Aku tahu abang mau kerja lagi saat tahun baru nanti demi bayaran 3 kali lipat itu, tapi bang sudah bertahun-tahun abang tidak pulang, sebaiknya abang pulang dulu untuk melihat-lihat keluarga di kampung,” kata temannya, seperti mengingatkan ayah.

“Ah, siapa yang tidak rindu keluarga, putri tiriku sekarang mungkin sudah duduk di sekolah menengah. Nasibnya benar-benar malang, sejak kecil ditinggal mati ayah kandungnya, lalu disusul dengan kepergian ibunya, aku harus membuatnya bahagia, tunggu nanti setelah mengumpulkan uang yang cukup untuk kuliahnya, akun baru pulang, aku tahu putriku tidak mengecewakanku,” katanya kepada rekan kerjanya.
Melihat pria yang sedikit pun tidak memiliki hubungan darah denganku, tapi juga seperti ayah kandung itu, aku pun tak kuasa untuk tidak menangis.
Namun, tak kusangka, ayah mendengar isak tangisku yang tertahan dan menatapku. “Susan. kenapa kamu ke sini?”
“Ayah,” panggilku lirih dan segera berlari ke dalam pelukannya. Dia berdiri di sana sambil memegang setengah roti sisanya. “Susan, pakaian ayah kotor,” kata ayah.
Aku melepaskan pelukanku, kemudian aku berikan pangsit yang dibuat nenek untuknya, dan hatiku serasa teriris sedih ketika melihatnya memakan pangsit yang sudah dingin itu dengan lahap.
“Anak bodoh, kenapa menangis, bukankah ayah baik-baik saja ?” kata ayah, kemudian memintaku untuk segera pulang, dan dia berjanji akan pulang tahun ini jika aku berhasil meraih juara pertama.
Diam-diam dalam hatiku bertekat harus menjadi juara pertama, kemudian menjemput ayah dan pulang bersama merayakan tahun baru bersama dengan segenap keluraga.
“Nak, jangan lupa belajar yang rajin, jaga baik-baik kakek-nenek di rumah!” pesan ayah.
“Yah, tahun baru nanti, ayah harus pulang, kakek-nenek rindu sama ayah! Aku sendiri akan belajar dengan rajin, dan aku yang akan mencari uang untuk membahagiakan ayah, kakek-nenek setelah nanti aku dewasa” kataku sambil menatap mata ayah.

Ayah mengelus-elus kepalaku sambil tersenyum dan berkata,: “Pulanglah, ayah kerja dulu !” Lalu ayah kembalai ke tempat kerja, kulihat tangan ayah menyeka air matanya saat berjalan ke tempat kerjanya.
Perlahan-perlahan bayangan ayah menghilang dari pandanganku. Lima tahun sudah ayah tak pernah pulang hanya demi untuk mengumpulkan uang yang cukup untuk biaya kuliahku.
Aku berdiri di tempat sambil sesekali mengusap air mataku dan berteriak ke arah tambang,
“Ayah, penderitaan hidup kita akan segera berakhir !” (jhn/yant)
Apakah Anda menyukai artikel ini? Jangan lupa untuk membagikannya pada teman Anda! Terimakasih.
Video Rekomendasi:
https://www.youtube.com/watch?v=6aUeYkMal7M