Wanita Uighur Tiongkok : Saya Tidak Akan Diam Setelah Kehilangan Segalanya

Erabaru.net. Seorang wanita Uighur berhasil meninggalkan penindasan dan penyiksaan yang dialaminya selama dia berada di pusat tahanan di Xinjiang.  Dia mengungkapkan berbagai macam dukanya selama diciduk hingga mendekam di penjara. Dia pun sudah bertemu dengan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Mike Pompeo. 

“Saya sudah kehilangan segalanya, pekerjaan saya, orangtua saya, kekasih saya, kampung halaman saya, mantan teman sekelas saya  dan hal-hal tidak adil yang saya temui di Tiongkok. Begitu banyak orang  yang tidak berdosa di tahanan.” Demikian pernyataan yang disampaikan oleh seorang wanita warga etnis Uighur Xinjiang, Mihrigul Tursun kepada Voice of America.

Ketika Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Mike Pompeo memegang erat tangannya dan berkata kepadanya : “Selamat datang di Amerika Serikat, terima kasih telah datang menemui saya.”

Mihrigul Tursun pun menangis mendengar sambutan seperti ini.

“Saya sangat tersentuh. Rasanya seperti masih ada orang mau menghormati saya, bersedia mendengarkan cerita saya dan mendengarkan permintaan saya, karena di Tiongkok, bahkan seorang polisi berpangkat rendah sekali pun tidak akan mendengarkan pembicaraan saya,” ujarnya.

Setelah Kehilangan Segalanya, Mihrigul  Tidak Akan Tinggal Diam

Voice of America melaporkan bahwa wanita Uighur Mihrigul Tursan yang juga dipanggil Mina, adalah seorang wanita etnis Uighur yang selamat dari kamp penahanan di Xinjiang. Kini telah tiba di Amerika Serikat.

Pada hari Selasa 26 Maret lalu, ia memberikan kesaksian apa yang pernah ia alami  ketika dijebloskan dalam kamp penahanan kepada sejumlah pejabat pemerintah Amerika Serikat, termasuk Mike Pompeo di gedung kantor Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat.

Mina mengatakan bahwa dia ditangkap sebanyak 3 kali di Tiongkok, mengalami penyiksaan  dan dikurung di dalam sel kecil dengan belasan wanita lainnya. Di sana ia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri 9 orang tahanan merenggang nyawa. Hal yang paling memilukan hatinya adalah selama ia ditahan itu salah satu putranya yang masih kecil meninggal dunia di luar nalar sehat karena sedang berada dalam “perawatan” pihak berwenang.

 Pada Rabu 27 Maret lalu, melalui sambungan telepon Mina berbicara dengan Voice of America bahwa, sebenarnya dirinya tidak memiliki keberanian untuk tampil. Ketika pertama kali tiba di Amerika Serikat ia masih hidup dalam bayang-bayang ketakutan besar. Mina menuturkan dalam 3 bulan pertama, dirinya tidak berani keluar rumah dan takut untuk bertemu orang.

Sekarang, ia memutuskan untuk bangkit dari masa lalu. Ia mengatakan bahwa setelah segalanya telah hilang, dia harus berani dan tak terpuruk dalam samudera ketakutan.

“Jadi saya tidak akan menutup mata dan membiarkan hal-hal ini berlalu begitu saja, karena saya juga seorang ibu dan seorang wanita,” kata Mina.

Suatu saat di dalam kamp tahanan di Xinjiang, ia pernah berputus asa. “Saya merasa bahwa saya tidak bisa lagi melihat terbitnya matahari, saya tidak bisa melihat dua anak saya. Saya harus mengakhiri hidup saya di usia 28 tahun, Saya ingin bunuh diri, tetapi tidak ada cara di penjara, tidak ada sesuatunya yang dapat membuat saya segera mati,” kata Mina.

“Hidup untuk mereka yang disiksa dalam kamp penahanan”

Atas bantuan pemerintah Amerika Serikat, pada 6 bulan lalu Mihrigul Tursan menetap di pinggiran kota Washington. Ia mengatakan bahwa sekarang ia tidak hidup untuk dirinya sendiri.

“Kehidupan saya yang kedua ini adalah kehidupan dari mereka yang masih mengalami penyiksaan dalam penjara di Xinjiang. Mereka membutuhkan saya untuk bersuara,” katanya.

Dalam konferensi pers di National Press Club Amerika Serikat pada 26 November 2018, wanita etnis Uighur Mina (tengah) saat menceritakan pengalamannya di “kamp pendidikan ulang”. Ia sampai beberapa kali sulit mengendalikan emosi sedihnya. (Voice of America)

“Tetapi ketika teringat kepada orang-orang yang disiksa dengan tidak bersalah, saya tidak bisa hidup seperti ini, karena setiap hari ketika saya diam dan memejamkan mata. maka wajah-wajah mereka muncul di hadapan saya,” lanjut Mina.

Mina tidak tahu di mana keluarganya berada sekarang, apakah mereka masih hidup di dunia? bahkan di Amerika Serikat. Mina masih khawatir tentang keselamatan dirinya terhadap tindakan apa yang mungkin dilakukan pemerintah komunis Tiongkok.

Sebelumnya, Mina telah beberapa kali menceritakan tentang pengalamannya di tempat-tempat umum seperti Kongres AS dan National Press Club.

Mina mengatakan bahwa pertemuan dengan para pejabat AS telah meningkatkan kepercayaan dirinya untuk berjuang memperbaiki situasi warga etnis Uighur di Tiongkok.

Genosida terhadap etnis dan budaya Uighur

Mengapa komunis Tiongkok menahan banyak warga etnis Uighur dalam “kamp pendidikan ulang” ?

Direktur Penelitian tentang Kebijakan publik dan Masyarakat di Mercator Institute for China Studies atau MERICS) di Berlin, Kristin Shi-Kupfer, mengatakan dalam sebuah wawancara eksklusif dengan kantor berita Jerman menyanggah pernyataan Beijing tentang tindakan mereka menangkap Uighur dengan dalih menentang ekstremisme dan terorisme.

“Tetapi saya harus mengatakan dengan jelas : Ini adalah usaha untuk menekan secara menyeluruh terhadap bangsa dan budaya Uighur,” kata Kristin.

Adrian Zens, sarjana asal daratan Tiongkok pada pertemuan Komisi Hak Asasi Manusia PBB di Jenewa mengemukakan bahwa diperkirakan tidak kurang dari 1,5 juta orang Uighur sedang berada dalam tahanan di “kamp pendidikan ulang” Xinjiang.

Namun, media resmi komunis Tiongkok nyaris tidak melaporkan masalah ini. Bahkan rakyat  Tiongkok sendiri pun tidak tahu apa yang terjadi di Xinjiang.

Sedikitnya ratusan orang dari sejumlah tahanan yang tidak tahu lagi keberadaannya adalah para intelektual Uighur. Seorang penghubung khusus bahasa Mandarin untuk Proyek Hak Asasi Manusia Uighur atau Uyghur Human Rights Project yang berlokasi di Washington Zubary Shamseden mengatakan kepada Radio Free Asia bahwa mereka telah mengumpulkan informasi terkait hal ini sejak tahun 2016. Hampir mencapai 300 orang kini masuk daftar tersebut.

“Bukan hanya memenjarakan fisik seseorang, tetapi bertujuan untuk menghancurkan pengetahuan, juga menghancurkan kekayaan budaya bangsa Uighur yang sudah tumbuh selama beberapa generasi.  Ini adalah genosida budaya dan identitas Uighur,” kata Zubary Shamseden.

AS Mendukung Gerakan yang Mengakhiri Penindasan Agama oleh Komunis Tiongkok

Pada 26 Maret lalu, Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo mengatakan bahwa penahanan besar-besaran terhadap warga etnis Uighur dan etnis minoritas lainnya di Xinjiang barat adalah sebuah tragedi kemanusiaan dan berlangsung keji.

Menjawab pertanyaan VOA, Mike Pompeo mengatakan jumlah tahanan tentu saja mencapai jutaan orang. Peristiwa ini adalah pelanggaran sejarah dalam hak asasi manusia danharus dihentikan.

“Kami menggunakan kata-kata seperti itu. Kami berusaha untuk meyakinkan semua orang etnis Tionghoa bahwa perilaku ini menjijikkan. Dan harus segera dihentikan,” kata Pompeo.

Pompeo juga bertemu dengan tiga orang jurnalis etnis Uighur yang bekerja untuk Radio Free Asia, Ketiganya memiliki beberapa anggota keluarga yang ditahan atau dihukum oleh otoritas Tiongkok.

Pompeo memuji keberanian mereka untuk menghadapi kebiadaban komunis Tiongkok dan berjanji bahwa Amerika Serikat akan memberikan dukungan kepada gerakan untuk mengakhiri penindasan komunis Tiongkok terhadap agama Islam dan agama lainnya.

Robert Palladino, Juru bicara Menlu AS pada 27 Maret lalu mengatakan kisah-kisah para korban yang masih beruntung hanyalah sebagian kecil dari kisah ratusan orang yang selamat dalam kampanye penindasan Tiongkok di Xinjiang.

Menurut Palladino, kisah-kisah itu telah mewakili suara dari ribuan bahkan jutaan warga Xinjiang yang kehilangan kebebasan untuk berbicara, bergerak, berpikir, dan kehilangan kebebasan menjalankan keyakinan.

Kementerian Luar Negeri AS meminta pemerintah Tiongkok untuk segera membebaskan keluarga mereka dan semua warga tidak bersalah yang ditahan secara sewenang-wenang di kamp-kamp penahanan. (Sin/asr)

Video Rekomendasi : 

RELATED ARTICLES
- Advertisment -

Most Popular