Celakakan Anak Cucu, Para Pejabat Penindas Falun Gong Dalam Kegamangan

Yang Ning

Sehari menjelang 20 Juli 2019, dokumen yang pertama berisikan daftar nama 20 orang pelaku penindasan telah diserahkan kepada instansi terkait di Kemenlu Amerika Serikat. Dokumen tersebut diserahkan oleh praktisi Falun Gong.  

Daftar yang diserahkan, berisikan nama-nama sejumlah pejabat Komunis Tiongkok berikut catatan kejahatan mereka. Nama-nama tersebut antara lain, mantan pejabat politbiro Partai Komunis Tiongkok sekaligus mantan Menteri Propaganda, Liu Yunshan, mantan Menteri Kesehatan Huang Jiefu dan lain-lain.

Selain Liu Yunshan dan Huang Jiefu, pejabat lainnya adalah berstatus mantan anggota Komisi Politik Hukum, penanggung jawab Kantor 610, ada pula dokter yang terlibat perampasan organ tubuh praktisi Falun Gong. Pejabat lainnya adalah kepala sipir penjara. Nama-nama lainnya adalah hakim dan polisi di kamp kerja paksa. Mereka semuanya selama 20 tahun terakhir terlibat dalam penganiayaan terhadap para praktisi Falun Gong.

Penyerahan daftar nama tersebut, berdasarkan permintaan para pejabat Kemenlu AS. Di awal tahun ini, pejabat Kemenlu AS memberitahukan kepada sejumlah agama dan kelompok kepercayaan, bahwa pihak Kemenlu AS berniat memperketat permohonan visa dan menolak memberikan visa bagi para pelaku penindasan HAM dan agama. Termasuk visa imigran dan non-imigran seperti visa wisata, bisnis, kunjungan keluarga dan lain-lain. Bagi yang telah memperoleh visa termasuk Green Card kemungkinan juga akan ditolak masuk ke wilayah AS.

Perlu diketahui, selama 20 tahun terakhir ini, di seluruh negeri Tiongkok berbagai pejabat dari berbagai tingkatan sangat banyak terlibat penganiayaan keji terhadap Falun Gong.

Jadi, daftar nama berisikan 20 orang ini hanya suatu permulaan, di kemudian hari akan ada yang kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya. Selanjutnya, lebih banyak lagi daftar nama para pelaku penindasan akan diserahkan kepada pemerintah AS.

Menurut informasi dari Kemenlu AS, para pejabat dalam daftar hitam ini akan ditolak pengajuan visa mereka berdasarkan hukum yang berlaku di AS. Mereka juga dilarang masuk ke wilayah AS. Tak hanya nama-nama itu, pasangannya berikut keturunan para pelaku penindasan HAM juga masuk dalam daftar sanksi.

Tidak hanya itu, saat ini sebanyak 28 negara telah menetapkan atau mempersiapkan penetapan undang-undang seperti “Magnitsky Act” di Amerika Serikat, yang bakal menolak visa bagi para pelaku penindasan dan membekukan aset mereka di luar negeri.

Informasi ini selain mengguncang para pejabat komunis Tiongkok yang masih terlibat penindasan, terhadap para penindas di dalam daftar nama itu beserta keluarga mereka, adalah suatu pukulan keras.

Ini berarti para pelaku penindasan dan keluarga mereka tidak bisa lagi pergi ke Amerika, Eropa dan negara-negara yang memberlakukan aturan ini untuk melakukan kegiatan bisnis, wisata, studi, bekerja dan lain sebagainya.

Ada yang berkata, para penindas ini sejak dulu sudah berkeliling banyak negara.  Mereka mungkin dengan atau tanpa visa. Tapi prasyaratnya adalah mereka tidak mengalihkan asetnya ke luar negeri, maka tidak perlu khawatir asetnya akan dibekukan. Mereka kini tidak lagi dapat memimpikan menghabiskan dengan tenang masa pensiun di luar negeri.

Akan tetapi, dari data yang terungkap baik di dalam maupun luar negeri, banyak pejabat komunis Tiongkok yang keluarganya telah bermigrasi ke luar negeri atau anak-anak mereka yang studi di luar negeri. Mereka juga memiliki banyak tabungan di bank luar negeri.

Oleh sebab itu, bila Amerika dan banyak negara lainnya memberlakukan tindakan pembatasan visa dan membekukan aset mereka, hal ini akan membuat mereka ketakutan tak berdaya dan hidup tidak tenang.

Bagi penulis, yang menakutkan bagi mereka bukan semata karena tidak memperoleh visa dan ganjaran yang bakal mereka alami di kemudian hari. Akan tapi juga kekhawatiran akan reaksi anak cucu mereka setelah mengetahui penyebab mereka tidak bisa lagi ke Amerika dan Eropa. Setelah anak cucu mereka mengetahui fakta sebenarnya, tentu sulit menahan rasa malu.

Beberapa tahun lalu, saat Amerika, Jerman, Israel dan negara lain berturut-turut menayangkan film dokumenter berjudul “Hitler’s Children” karya sutradara Israel Chanoch Ze’evi.  Pertama kalinya dalam sejarah keturunan para penjahat Nazi yang menciptakan tragedi terbesar dalam sejarah manusia itu dikumpulkan. Mereka mengungkapkan perasaan dalam hati Nurani mereka sesungguhnya.

Seperti yang dinyatakan oleh Reiner Höss, cucu dari komandan pertama kamp konsentrasi Auschwitz bernama Rudolf Höss yang membunuh tak terhitung banyaknya kaum Yahudi, satu-satunya alasan dirinya tetap hidup adalah menanggung dosa kakeknya. Untuk itu didatanginya gedung arsip di seluruh Jerman, mengumpulkan semua bukti kejahatan kakeknya di masa itu. Ia kemudian mengunggahnya di internet.

Selama menemukan kejahatan tak terampuni yang dilakukan oleh keluarganya, dirinya sempat dua kali mengalami serangan jantung, bahkan dua kali berusaha bunuh diri.

Seorang lainnya yang jiwanya diinterogasi sepanjang masa adalah Niklas Frank yang waktu itu berusia 71 tahun. Ia adalah putra Gubernur Jendral di Polandia saat diduduki oleh Nazi yakni Hans Frank. Hans pernah ikut andil dalam aksi “mengakhiri kamp konsentrasi” yang menghabiskan nyawa 6 juta orang Yahudi. Niklas mengatakan, “Sampai sekarang ini, saya tidak bisa melepaskan diri dari kenangan tentang ayah. Saya merasa sangat berdosa atas perbuatan yang telah dilakukannya.”

Tokoh nomor dua yang paling bengis di Nazi yang juga merupakan pendiri pasukan polisi rahasia Gestapo Jerman yakni Herman Wilhelm Göring. Ia memiliki cucu ponakan bernama Bettina Göring. Bisa dikatakan tidak berani menatap masa lalu. Ia merasa sangat jijik terhadap yang dilakukan leluhurnya. Dia menyatakan dirinya dan kakaknya dengan suka rela melakukan operasi sterilisasi agar tidak memiliki keturunan. Mereka khawatir akan melahirkan lagi seorang iblis.

Selain itu, di tahun 2005, stasiun TV Jerman menayangkan sebuah film dokumenter yang mengungkap latar belakang keluarga Hitler yang jarang diketahui masyarakat berjudul “The Hitler’s Family.”  

Film itu mengungkap seorang keponakan Hitler bernama William Patrick Hilter yang telah bermigrasi ke Amerika setelah Hitler berkuasa.  Selama PD-II, William telah bergabung dengan militer Amerika dalam perang melawan Hitler.

Pasca perang, ia mengubah marganya, dan memiliki 3 orang putra. Pembuat film menyatakan, ketiga cucu keponakan Hitler tersebut setelah mengetahui dosa kejahatan Hitler, saling menyatakan sepakat untuk tidak menikah dan tidak memiliki keturunan lagi, agar garis keturunan keluarga Hitler ini terputus.

Kita tidak menutup mata bahwa di antara anak cucu para pejabat Komunis Tiongkok yang tertera dalam daftar hitam tersebut ada yang masih memiliki hati Nurani. Oleh karena itu, kita pun tidak bisa mengabaikan kemungkinan mereka tidak akan memikul beban atas kejahatan yang dilakukan leluhur mereka.

Namun, ada pepatah Tiongkok kuno mengatakan “banyak melakukan kejahatan, akan mencelakakan anak cucu sendiri”, mereka pun mau tidak mau harus menanggung akibatnya.

Mungkin bagi beberapa penganiaya yang terdapat dalam daftar, tudingan dan cemooh dari keluarga sendiri, dan penderitaan yang dialami oleh keluarga sendiri, baru dapat menyadarkan mereka, baru menyesali perbuatan yang tak terampuni. Hanya saja semuanya sudah terlambat. (SUD/WHS/asr)